Nezar Patria/CNN Indonesia
Ada jarak sepuluh ribu kilometer lebih dari Buenos Aires ke Jakarta. Tapi suara yang pedih dan murung itu, terdengar begitu akrab, baik di Plaza de Mayo, Buenos Aires, dan dari seberang Istana Merdeka, Jakarta.
Pada setiap Kamis, suara itu menyelinap di antara deru aneka peristiwa, di Beunos Aires, dan begitu juga di Jakarta. Sekumpulan ibu-ibu turun ke jalan pada siang hari. Mereka melawan sengatan matahari, dan juga ingatan yang mulai lapuk.
Di Plaza de Mayo, Uranga Almeida mengenang putranya, Alejandro. Pada 17 Juni 1975, Alejandro berkata pada ibunya, “Aku keluar sebentar, dan segera kembali”. Saat itu Argentina tengah dikoyak kekerasan politik. Sekelompok militer hendak berkuasa. Mereka membabat semua kekuatan kiri, dan mencurigai semua kelompok pro demokrasi.
Itu suara Alejandro terakhir didengar Almeida. Setelah itu putranya tak pernah kembali. Ia lenyap. Tak ada satu petunjuk pun apa yang terjadi pada dirinya. Di Argentina, ia dicatat sebagai satu dari kasus “orang hilang” yang terjadi sepanjang 1970an-1980an.
Seperti dilaporkan BBC, para pembela hak asasi di sana mencatat lebih 30 ribu orang diculik dan dibunuh sebelum, dan lebih parah lagi ketika kelompok sayap kanan atau pemerintahan militer berkuasa di Argentina lewat kudeta 1976. Sepanjang tahun itu hingga 1983, rezim militer di negeri itu berkuasa dengan brutal.
Hingga rezim bengis itu turun, dan pemerintah lebih demokratis muncul, para ibu di Plaza de Mayo tetap mencari anak mereka. Pada 30 April 2012, pencarian itu sudah berlangsung 35 tahun. Almeida berumur 45 saat putranya hilang. Pada peringatan Plaza de Mayo tiga tahun silam, dia sudah berusia 80 tahun. Ia tak menuntut banyak hal. Keinginannya hanya satu: “Aku ingin menyentuh tulang Alejandro, sebelum aku mati”.
Di depan Istana Merdeka, Jakarta, sekumpulan ibu-ibu melakukan hal sama. Mereka para ibu dan keluarga korban pelanggaran berat hak asasi manusia saat rezim Orde Baru berkuasa. Rentang kasusnya beragam: penculikan aktivis mahasiswa 1998, penembakan mahasiswa di Trisakti 1998, Tanjung Priok, Lampung, Aceh, dan Papua, hingga korban tragedi 1965.
Mereka berkumpul setiap Kamis di seberang Istana Merdeka, di sebuah ceruk aspal ke arah pintu Monas. Para ibu dan keluarga korban itu tak pernah lelah. Sejak 2007, aksi yang disebut sebagai Kamisan itu bergulir terus. Pekan lalu ia sudah berlangsung 396 kali. Setiap kali aksi, mereka mengirimkan sepucuk surat ke Istana. Isinya selalu sama: menanyakan nasib para korban.
Tak jelas apakah surat itu selalu dibaca sang presiden. Mungkin ia tersangkut di meja gardu para penjaga pintu Istana. Atau setiap pekan dia hanya dibiarkan terselip di antara ribuan kertas lain, dan menjadi berkas yang tak perlu lagi dibaca presiden.
Setelah 17 tahun reformasi, dan rezim berganti dari Abdurrahman Wahid ke Megawati, lalu Susilo Bambang Yudhono hingga Joko Widodo, penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia itu masih jauh dari terang. Aksi Kamisan itu sendiri telah berjalan delapan tahun. Tahukah kita apa yang terjadi pada keluarga korban selama penantian panjang itu?
Dulu di acara aksi itu kerap hadir Tuti Koto, ibu dari Yani Afri. Putranya masuk daftar orang hilang menjelang pergolakan mahasiswa 1998. Yani bukan mahasiswa. Ia simpatisan Megawati yang memimpin PDI Perjuangan saat melawan orde baru. Yani juga bukan seorang politisi, ia hanya seorang supir angkot. Pada suatu hari setelah aksi demonstrasi, Yani tak pernah kembali. “Ia anakku, tulang punggung keluarga kami,” ujar Tuti saat itu.
Tuti mencarinya ke mana-mana. Ia perempuan yang keras, seorang ibu yang militan. Ia datangi kantor polisi militer, kementrian politik, hukum dan keamanan, hingga markas komando pasukan khusus. Ia rela berdiri berjam-jam di luar pagar lembaga berwenang, sambil membawa foto anaknya, dan juga korban hilang lainnya. Ia tahu hasilnya nihil, tapi dengan segala keterbatasan—ia misalnya kerap kesulitan ongkos, ia terus berjuang, antara lain dengan hadir di aksi Kamisan itu.
Suatu kali Tuti sakit, dan ia mulai jarang terlihat. Pada 2012, si ibu yang gigih itu meninggal. Sampai ia pergi menutup mata, Yani tak juga kembali.
Atau kisah keluarga Noval Alkatiri, seorang korban penculikan. Ia hilang bersama Dedi Hamdun, suami artis Eva Arnaz, yang juga aktif di politik menjelang badai politik 1998. Almarhum Munir, pendiri Kontras dan pendekar pembela hak asasi manusia yang sulit dicari gantinya itu, pernah bercerita betapa ayah Noval, lelaki berusia senja itu, sangat ingin putranya pulang.
Hampir setiap malam, pada masa awal Noval hilang, dia setia menunggu di rumah. Di bawah tudung saji meja makan, selalu ada segelas kopi buat Noval. Juga sepiring lauk dan nasi. “Mungkin saja Noval pulang hari ini,” ujar si ayah. Ia menunggu sampai malam turun. Begitu berhari-hari, dengan akhir yang sama: segelas kopi itu menjadi dingin, dan dia tertidur di kursi.
Tapi Noval tak pernah pulang, hingga si ayah meninggal.
Lalu apa yang ditunggu oleh para ibu dan keluarga yang setia hadir setiap Kamis di seberang Istana Merdeka itu? Kasus itu sendiri sudah berulangkali ditelisik Komnas HAM. Bahkan DPR telah menyimpulkan, berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, terjadi pelanggaran berat dalam kasus penghilangan paksa kepada para aktivis mahasiswa 1998. Jaksa Agung diminta menyidik dan mengadili para pelaku. Presiden juga diminta mencari 13 aktivis yang masih hilang, dan memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada keluarga korban.
Mugiyanto, seorang korban penculikan aktivis mahasiswa dan mantan ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, mungkin punya kata yang tepat tentang apa yang diinginkan oleh para keluarga itu. Pada 5 Mei lalu, dia mengirimkan surat terbuka. Kali ini tidak lagi ke Istana, melainkan ke laporpresiden.org, sebuah situs yang mencoba menyerap semua harapan dan hal-hal serius yang nyaris terlupakan.
Mugiyanto mengingatkan kembali presiden tentang pidato kampanye Nawacita, dan janjinya untuk menyelesaikan kasus orang hilang. “Mereka tidak memiliki kuburan, tetapi mereka juga tidak ada di sekitar kita,” tulis Mugiyanto di surat terbuka itu. Mewakili keluarga korban, dia mengatakan hal paling mendesak agar kasus ini selesai bukanlah Pengadilan HAM.
Dengan tajam Mugiyanto memberi alasan. Dalam sistem pengadilan yang korup, dan “belum bisa dibereskan oleh Pak Presiden,” kata Mugiyanto, “Kami tidak yakin akan bisa mendapatkan keadilan dari sana.” Mereka, kata dia, hanya ingin kepastian apakah keluarganya telah meninggal, atau masih hidup. Jika telah meninggal, mereka ingin tahu di mana dikuburkan. “Kalau masih hidup, tolong kembalikan pada kami, keluarganya”.
Pada Mei 2015 ini, suara itu sudah 17 tahun diteriakkan. Kian lama, Kamisan yang telah bergulir delapan tahun itu, seperti berjalan dalam kesunyian. Mereka yang berkuasa hari ini, mungkin menganggapnya kurang penting. Ia seakan sebuah gaung dari masa lalu yang kian sayup dan mungkin akan hilang.
Tapi sampai pekan lalu, mereka yang berkuasa tampaknya keliru. Seperti di Plaza de Mayo, para ibu itu akan tetap berdiri di seberang Istana Merdeka setiap Kamis siang menggugat keadilan yang hilang. Pekan demi pekan mereka terus melawan sengatan matahari, dan melapuknya ingatan.