Kamus Berjalan Itu Telah Pergi

Bambang Eka Wijaya (Foto: Dok/Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Firman Seponada

Informasi berpulangnya Pak Bambang Eka Wijaya saya peroleh pertamakali dari sebuah pesan grup Whatsapp SAHABAT EKS LAMPOST, Senin 13 Maret 2023. Rekan Ilham Djamhari yang mem-forward kabar duka tersebut. “Innalillahi wa innailaihi rojiun telah berpulang ke rahmatullah Pak Bambang Eka Wijaya Ayahanda Dede Safara siang ini pukul 13.25 di RS Abdoel Moeloek”. Demikian bunyi pesan yang kemudian viral dan menyebabkan grup-grup WA banjir ucapan belasungkawa atas berpulangnya tokoh pers Lampung itu.

Mendapat kabar berpulangnya Pak Bambang ingatan saya segera melesat ke masa-masa masih menjadi anak buah beliau di Lampung Post. Kesan yang menancap kuat di bagasi memori saya mengenai sosok Pak Bambang adalah rendah hati, humoris, dan sangat pintar. Kerendah-hatian beliau saya buktikan sejak pertamakali mengenalnya pada pertengahan tahun 1995, masa-masa awal saya menjadi wartawan. Lampung Post saat itu masih berkantor di Jalan A. Yani, Durian Payung. Di Balai Wartawan itu, ruang redaksi Lampung Post menempati lantai 2, sedangkan lantai 1 dipakai PWI dan kantin yang dikelola IKWI.

Suatu hari, usai meliput, saya berpapasan dengan Pak Bambang di tangga naik menuju ruang redaksi. “Sudah pulang, Man?” tanya Pak Bambang dengan muka ramah dan senyum jenakanya. “Iya, Pak. Dari liputan,” jawab saya. Kepala dan hidung saya rasanya membesar karena disapa oleh orang yang paling kami hormati di kantor ini. Sebab, saat itu saya bukanlah siapa-siapa di Lampung Post. Baru bergabung beberapa hari, masih anak bawang, anak kemarin sore di dunia jurnalistik. Tapi Pak Bambang sudah kenal nama saya. Rupanya, memang demikianlah Pak Bambang. Dia hafal nama anak buahnya satu per satu, karena Tuhan menganugerahi beliau ingatan yang kuat dan tajam.

Pada September 1998, saya berkesempatan mengikuti pelatihan jurnalistik di Medan Sumatera Utara. Pada sesi istirahat saya berbincang dengan beberapa wartawan. Salah satunya Choking Susilo Sakeh, wartawan senior yang pernah menjadi Ketua Panwaslu Provinsi Sumatera Utara pada Pemilu 2004. “Apa kabar Pak Bambang?” tanya Bang Choking. “Alhamdulillah kabar baik,” jawab saya.

Dia kemudian bercerita banyak tentang Pak Bambang. Tentu saja mengenai kehebatan dan keberanian Pak Bambang selagi menjadi wartawan di Medan. Bagaimana Pak Bambang sampai masuk penjara gara-gara tulisannya menyentil tentara. Juga tentang Pak Bambang yang karena kepandaiannya, menjadi mentor dan pusat rujukan bagi banyak wartawan di Tanah Batak. “Di Medan ini, Pak Bambang kami juluki Kamus Berjalan karena sangat pandai. Dia tahu apa saja,” tutur Bang Choking. Pengakuan itu terang saja membuat kekaguman, kebanggaan, dan kecintaan saya kepada Pak Bambang kian menebal.

Selain berpengetahuan luas, Pak Bambang juga dikenal humble, rendah hati. Dia tak pernah menjaga jarak dengan siapapun, termasuk dengan wartawan ingusan macam saya. Alih-alih pasang lagak jumawa, Pak Bambang selalu melupakan bahwa dia adalah orang nomor satu di koran paling berpengaruh di Lampung. Egaliter. Demikianlah Pak Bambang. Kepada semua karyawan, perlakuannya sama. Baik terhadap sopir, peramu kantor, tim percetakan, reporter, maupun redaktur semua diperlakukan sama: hangat dan sayang.

Di ruang redaksi, Pak Bambang bisa tertawa lepas ketika bercengkerama dengan para anak buahnya. Sebuah pola relasi dan komunikasi antara atasan dan bawahan yang jarang terjadi di kantor manapun. Di banyak ruang kerja, biasanya para anak buah akan rikuh ketika bos datang. Ada yang menyapa bosnya dengan basa-basi, ada yang pura-pura sibuk supaya dibilang rajin, ada juga yang cari muka. Itu berbeda dengan ruang redaksi Lampung Post ketika Pak Bambang mampir. Suasananya cair dan hangat karena Pak Bambang mampu menciptakan hubungan kekeluargaan dan persahabatan di ruang kerja. Kami terkekeh-kekeh ketika mendengar Pak Bambang melontarkan joke-joke ringan yang cerdas. Begitupun beliau, ikut tertawa terbahak mendengar balasan humor dari anak buahnya.

Menjadi “Watchdog”

Satu prinsip dari Pak Bambang yang tak sudi saya lepaskan sampai hari ini bahwa wartawan itu harus menjadi watchdog, anjing penjaga. Pers adalah salah satu dari empat pilar demokrasi, kata Pak Bambang dalam salah satu sesi in-house training yang digelar Lampung Post bagi para wartawan mudanya. Dalam pilar itu, pers berfungsi sebagai pemantau kekuasaan. Supaya kekuasaan yang cenderung korup tidak dijalankan secara semena-mena. Di situlah peran watchdog dimainkan. Sebagai anjing penjaga, yang menjadi tuannya tentu saja publik. Penguasa wajib diawasi agar kebijakannya tidak merugikan publik. Wartawan mestinya memang hanya mengabdi kepada kepentingan publik.

Pak Bambang memegang dengan teguh idealisme itu. Beliau rela menerima nasib untuk hidup sederhana secara ekonomi. “Kalau mau jadi kaya, jangan jadi wartawan. Jadilah pengusaha,” kata Pak Bambang suatu hari. Hidup bersahaja beliau lakoni sampai akhir hayatnya. Pak Bambang hanya memiliki sebuah rumah kecil sederhana di Bataranila, kawasan sub-urban Lampung Selatan yang berbatasan dengan Bandar Lampung. Padahal, beliau pernah menjadi orang berpengaruh besar dan disegani kalangan pemegang kuasa di daerah ini. Kalau saja mau menggadaikan idealisme dengan meminta-minta proyek kepada pemerintah, tentu beliau bisa hidup bergelimang harta. Juga, andai beliau mau memeras orang-orang bermasalah yang malu terekspose kasusnya, saldo rekening bank beliau barangkali sudah sangat tebal. Tapi Pak Bambang tak mau melakukan pekerjaan nista itu. Beliau kukuh berdiri sebagai watchdog meski harus hidup sederhana.

Harapannya yang besar terhadap independensi kaum akademisi juga terpantul lewat kebijakan-kebijakan redaksi. Saat itu, Lampung Post berkeyakinan bahwa kampus merupakan benteng terakhir mencari kebenaran. Karena itu, citra kampus sebagai sumber kebenaran ilmiah harus senantiasa dijaga. Itu sebabnya, Lampung Post kala itu tak pernah memberitakan skandal-skandal yang terjadi di kampus-kampus. Misalnya, kasus jual-beli nilai, dosen yang ada affair dengan mahasiswi. Peristiwa-peristiwa itu mungkin ada, tapi tak pernah menjadi berita. Sebab, Lampung Post tak ingin akibat ulah segelintir oknum kemudian nama baik kampus menjadi tercemar. Pada gilirannya kampus menjadi kurang dipercaya dan syiar keilmuannya meredup.

Itulah yang menjelaskan mengapa pada masa duet kepemimpinan Bambang Eka Wijaya dan Syamsul Bahri Nasution, Lampung Post begitu dekat dengan kalangan akademisi. Banyak pula nama dosen yang terorbit berkat kebijakan itu. Kita bisa menyebut beberapa nama seperti Dr. Fadel Djauhar, Dr. Wahyu Sasongko, Armen Yasir, Dr. Nanang Trenggono, Asrian Hendi Caya, Marselina, Prof. Mohammad Mukri. Lampung Post ikut punya andil membesarkan nama mereka.

Pak Bambang senang sekali jika ada akademisi yang potensial. Beliau akan support sebatas yang bisa dilakukan Lampung Post. Itulah kenapa ketika Edy Irawan Arief akan ujian doktor di IPB tahun 1997, Pak Bambang meluangkan waktu menghadirinya. “Firman, besok kau ikut saya. Kita ke IPB, Bang Edy Irawan akan ujian doktor,” katanya. “Siap, Pak!” jawab saya. “Pulangnya kau buat laporan khusus satu halaman. Perginya Firman dengan saya, tapi pulangnya bersama rombongan Bang Edy. Sebab, dari Bogor saya akan mampir ke Jakarta,” katanya lagi. “Iya, Pak,” jawab saya yang saat itu menjabat Redaktur Ekonomi.

Berangkatlah saya dan Pak Bambang ke Bogor untuk menyaksikan ujian doktor Bang Edy Irawan Arief. Dengan mobil dinasnya, sedan Hyundai Elantra warna ungu terong, terpaksa Pak Bambang yang menjadi sopir. Sebab, saat itu saya belum mahir menyetir. “Dari sini kita jalan pelan dulu. Nanti sampai by-pass baru kita ngebut,” kata Pak Bambang kepada saya yang duduk di kursi sebelah kirinya.

Sedan anyar bikinan Korea keluaran tahun 1996 itu melaju dari kantor Lampung Post di Durian Payung dengan pelan, kecepatan rata-rata 30-50 km per jam. Masuk ke jalan by-pass Panjang, saya pasang sabuk pengaman karena mengira Pak Bambang akan mulai menjejak pedal gas lebih dalam. Ternyata, sampai Pelabuhan Bakauheni tidak juga kebut, kecepatan maksimal cuma 70 km per jam. Begitupun di jalan tol, sedan dengan 115 tenaga kuda itu berjalan lamban saja, di bawah 100 km per jam. “Ah, katanya mau ngebut, ternyata Pak Bambang kurang jago nyetir,” kata saya sambil senyum dalam hati.

Usai meliput ujian Bang Edy, Pak Bambang pamit ke Jakarta dan menitipkan saya. Sementara saya meminta waktu mewawancarai Prof. Bungaran Saragih untuk memperdalam isu cukai tembakau yang menjadi topik penelitian Bang Edy Irawan. Saat mewawancarai Guru Besar IPB yang kemudian menjadi Menteri Pertanian era Magawati itu, Andi Arief menunggui saya. Saat itu Andi Arief belumlah sebesar sekarang. Dia baru lulus dari FISIP UGM dan menjadi aktivis SMID dan PRD. Nama Andi Arief besar pasca insiden bom rumah susun Tanah Abang tahun 1998 dan penculikan aktivis prodemokrasi oleh tentara.

Skandal Motor Seken

Pak Bambang sangat membela anak buahnya. Saya salah seorang yang pernah dia bela. Saat menggawangi desk ekonomi saya pernah terpeleset. Memeriksa foto-foto kiriman wartawan, saya tertarik melihat satu foto: di sebuah gardu ada motor-motor terpajang. Ya, itu foto penjualan motor seken (bekas). Saya ambil foto itu dan menjadikannya berita foto di halaman ekonomi. Saya buat caption: Pembeli harus berhati-hati dalam membeli motor seken. Suaranya masih halus tapi mesinnya belum tentu bagus karena sudah diakali penjualnya.

Besoknya, beberapa orang bertampang sangar menyatroni Lampung Post. Mereka tidak terima atas terbitnya foto penjualan motor seken itu. Mereka meminta Lampung Post memecat wartawan yang menerbitkannya. Pak Bambang yang menerima para makelar itu segera menengahi dan berjanji memberi sanksi kepada wartawannya. Pak Bambang kemudian membuat surat sanksi skorsing kepada saya. Tetapi sanksi itu tak harus saya jalani. Sebab, surat itu dikeluarkan hanya untuk menenangkan mereka yang protes terhadap pemberitaan Lampung Post. Dia tak mau membikin pelanggan kecewa, pada saat sama dia menyelamatkan anak buahnya. Hikmah buat saya, sejak saat itu saya selalu berhati-hati dalam melansir sesuatu agar tidak kena masalah.

Pada suatu malam tahun 1999 saya pernah minta izin ke Pak Bambang. “Pak kami mau mendirikan AJI, bagaimana pendapat Bapak?’ kata saya. Saat itu AJI (Aliansi Jurnalis Independen) sudah legal setelah dipaksa menjadi organisasi wartawan bawah tanah karena melawan Soeharto. “Ah, buat apa dirikan AJI. Paling yang mau cuma Subur, Firman, dan Oyos,” katanya sembari tertawa. Saat itu Pak Bambang Sekretaris PWI Cabang Lampung.

Karena tak mendapat “lampu hijau” dari Pak Bambang, kami menunda mendirikan AJI di Lampung. Padahal, komunikasi antara Mas Oyos (Lampung Post), Mas Budi (Antara), dan Fadilasari (Tempo) dengan pengurus AJI Indonesia sudah terjalin intens. Mereka siap datang kapan saja untuk mendeklarasikan AJI di Bumi Ruwa Jurai.

Baru setelah kami keluar dari Lampung Post persiapan mendirikan AJI di Bandar Lampung kami matangkan. Pada 31 Maret 2001 di Hotel Indra Puri (sekarang Emersia) kami mendeklarasikan AJI. Kami meminta Pak Bambang sebagai tokoh pers hadir memberi sambutan. Dari 15 deklarator AJI Bandar Lampung, sebagian besar mantan wartawan Lampung Post. Mereka orang-orang yang belum lama ini melukai hati Pak Bambang. Tapi dasar orang baik. Beliau hadir dan memberi sambutan atas nama Pemimpin Redaksi Lampung Post dan Sekretaris PWI Cabang Lampung. “Kita harus menyambut gembira kelahiran AJI di Lampung. Nanti bersama-sama PWI membangun kehidupan pers yang lebih sehat. AJI mengambil jalur modern dan PWI di jalur tradisionalnya,” kata Pak Bambang dalam sambutannya.

Begitulah Pak Bambang. Dia dihormati dan disegani orang karena pandai. Dan, dia disayangi karena kebaikan hatinya. Dia tidak pernah marah dan berkata kasar kepada kami, para anak buahnya. Bahkan, ketika terjadi insiden yang berpengaruh besar terhadap reputasinya sebagai pemimpin. Pak Bambang tidak marah dan tetap menganggap kami sebagai anak-anaknya meski sudah tidak satu perahu.

Insiden kelabu itu bermula ketika pada awal November 1999 aparat Polresta Bandar Lampung menangkap tiga orang petinggi Lampung Post dari jajaran usaha. Seorang polisi menelepon redaksi melaporkan baru saja menangkap tiga orang yang sedang berjudi di mess Lampung Post, Kedamaian, Tanjungkarang Timur. Malam itu para redaktur menggelar rapat untuk memutuskan langkah terhadap karyawan Lampung Post yang ditangkap polisi itu. Hasilnya, redaksi sepakat masalahnya diselesaikan secara hukum. Tetapi diam-diam Pak Bambang mengutus Sabam Sinaga, wartawan kriminal yang biasa meliput di kepolisian. Polisi kemudian membebaskan ketiga orang Lampung Post. Mendengar itu tim redaksi marah. Pak Bambang menengahi dan meminta kawan-kawan redaksi setia kawan. Kami berkukuh bahwa karyawan yang nakal harus diberi sanksi. Tidak ada titik temu antara kami dan Pak Bambang. Bahkan tim dari Media Indonesia dipimpin Elman Saragih datang menengahi, tetap tidak ada titik temu. Elman Saragih yang datang dari Jakarta merasa sebagai bos besar dan seperti memandang enteng kami para wartawan daerah. Akhirnya, kami memutuskan keluar serentak dari Lampung Post dan menyisakan karyawan bidang usaha dan segelintir kru redaksi.

Sesungguhnya, atas musibah itu Pak Bambang boleh membenci kami dan mencoret nama kami dari daftar sahabatnya. Sebab, hengkangnya 100 orang lebih kru redaksi boleh jadi merupakan tragedi paling kelam dalam karier kepemimpinannya. Kewibawaannya diuji, reputasinya dipertaruhkan. Tetapi hati Pak Bambang mungkin terbuat dari emas. Dia tidak menaruh dendam. Komunikasi dan silaturahmi terus beliau jalin dengan kami yang pernah membangkang. Even-even yang diselenggarakan Lampung Post, beberapa dari kami rutin diundang untuk memberi evaluasi dan masukan terhadap perkembangan Lampung Post. Mungkin Pak Bambang juga tahu bahwa kemarahan kawan-kawan redaksi tidak ditujukan kepada beliau. Melainkan terhadap sistem PT Masa Kini Mandiri yang tidak adil. Tertangkapnya petinggi bidang usaha karena berjudi hanya menjadi trigger, pemantik, hengkangnya hampir seluruh tim redaksi. Masalah-masalah lain sudah lama ada dan bertumpuk. Ada disharmonisasi antara bidang usaha dan redaksi. Bagi perusahaan, bidang usaha adalah anak emas karena tim ini yang menghasilkan uang. Sementara redaksi tidak sudi selalu menjadi anak tiri. Sebab, koran bisa laku terjual dan mendatangkan pengiklan karena mutu produk yang dihasilkan oleh kerja keras redaksi.

Itu semua masa lalu. Sekarang sudah tidak ada lagi residunya. Saya berharap Allah memaafkan segala kesalahan saya kepada Pak Bambang, orang baik yang penuh cinta. Saya percaya, almarhum sudah tenang di alam sana. Ilmu bermanfaat dan amal jariah berupa karya-karya jurnalistiknya pasti menjadi ladang amal subur pemberat timbangan pahala. Selamat jalan guru dan panutan kami….

*Firman Seponada, mantan Redaktur Ekonomi Harian Lampung Post