WAJAH Kang Wowok berkerut-kerut. Lehernya terasa kaku-kaku,
kemeng-kemeng kenceng. Wajahnya tak kalah seru. Dahinya berhias kerut lintang
kiri-kanan. Terlihat lipatan yang lain, kerut mengeras tegak dari atas
hidungnya, membelah antara kedua mata. Kulit wajahnya berminyak. Mukanya yang
cakep bersegi empat tampak menahan lelah. Menahan sakit dari denyut di
pelipisnya. Suatu hari ia menggerutu “…ada saja yang kupikirkan, dari harga
cabe, sampai soal capres” katanya kepada diri sendiri. Peci hitam yang
memahkotai, tak mampu membuatnya melembut.
temanku Wowok yang nampak stress itu, tak ada dapat yang kukatakan. Kata tak
cukup mereda ketegangan. Getar-getar bibir, keluarkan senandung lagu riang
“Dunia ini panggung sandiwara, semuanya mudah berubah”. Potongan bait yang
kudendangkan meniru gaya Ahmad Albar. Kang Wowok melirikku, mendengar lagu yang
populer puluhan tahun yang lalu itu. Lagu yang digemarinya juga.
Masing-masing diri ini menelisik dan merenungi bait-bait pada lagu berjudul
“Panggung Sandiwara” tersebut. Kini, Wowok sensitif, karena sedang “perform” di
atas panggung. Bukan panggung sandiwara yang sesungguhnya, tetapi “panggung
politik” di negeri impian. Lakonnya, Wowok dan Joko berebut kekuasaan.
harus dapat mengubah wajah dan peran. Dunia penuh basa-basi, dan kepura-puraan.
Pagi hari ini, Wowok bersama temannya bemesraan dengan ulama. Sore harinya ia
saksikan temennya itu menjadi sangkaan badan anti ruswah. Kemarin, ia dan “awak
kapalnya” harus menampung tumpangan partai rimbun. Padahal penghuni pohon itu,
kemarin masih nampak gagah dan bersikukuh tetap menjadi calon presiden. Hari
ini, menjelang pagi hari, dia harus puntang-panting cari tumpangan yang
mengarah ke istana. Di sana ditolak, disini dipatok. Itulah panggung politik,
dunia yang penuh sandiwara. Tidak gratis.
ini, Kang Wowok teringat sebuah buku, karangan Erving Goffmann. Buku yang
dibacanya sambil lalu, ingatkan pada teori dramaturgi. Sungguh, sadar atau
tidak, setiap kita selalu melakukan “pertunjukkan” bagi orang lainnya. Setiap
hari kita berakting, bertopeng atau tidak. Berganti topeng, berganti peran,
sungguh melelahkan. Kali ini, Kang Wowok baru percaya teori itu, ternyata kini
aku adalah aktor yang sesungguhnya. Tak hanya, aktor dalam kehidupan
sehari-hari. Yang cerita tentang manusia sedih dan bahagia, yang silih
berganti.
saja, karena peran yang begitu besar. Setiap hari, ia harus bertopeng ria dalam
berakting. Setiap hari Kang Wowok harus menjadi sutradara bagi dirinya. Agar
selalu prima “perform” pribadi dan
timnya, harus selalu dipelihara dan dijaga kesan “Si Kuat”. Setiap orang adalah
aktor kehidupan, dalam sebuah panggung besar bernama dunia. Kali ini, Kang
Wowok bukan saja aktor dalam dunia politik. Tetapi sutradara, dan pemilik
perusahaannya.
tikus dan monyet, tak segan dan malu di sekitarnya. Susahnya, sandiwara itu tak
lagi dapat ditutupi. Dengan enaknya penonton saksikan sandiwara politik, setiap
saat setiap hari. Kang Wowok harus meladeni, mulut-mulut jahil “kuli tinta”,
sesuatu yang dibencinya, tetapi untuk saat ini amat sangat dibutuhkan. Televisi
di mana saja ada. Di rumah, di dalam mobil. Dengan “smartphone”, tontonan itu
ada di genggaman. Dunia terus berubah. Teringat masa, ketika orang hendak
menikmati panggung sandiwara, harus menunggu musim panen. Tonil, ketoprak,
ludrug dan “sandiwara rakyat” tampil menunggu musim “panen”.
sajikan menu yang kian beragam. Kini, tersadar ia. Menjadi politisi itu, siap
menjadi selebritis. Dunia politik, memang mencetak orang dari bukan
siapa-siapa, menjadi orang terkenal. Kini, banyak orang yang beredar dari
panggung ke panggung seminar. Menjadi pembicara masalah pendidikan, padahal
sekolahnya entah bagaimana. Menjadi pembicara kesehatan, padahal tak pernah ke
puskesmas. Pokoknya ngomong di depan corong dan kamera.
di simak, dicatat, disimpan. Catatan kelakuannya, dengan bangga disimpan oleh
pengagumnya. Tetapi juga oleh musuh-musuhnya. Politisi sekelas Kang Amin, tentu
saja ucapan dan kelakuannya disimak, disimpan dan dipelajari. Musim panen
berselang, Kang Amin mencak-mencak dengan Kang Sutris. Gara-gara Kang Sutris
bertandang ke rumah Kang Wowok. Kang Amin gusar. Kang Sutris pun memilih bebas
dan melepas jaket.
dalam musim panen 2014, Kang Amin yang rajin bertandang ke rumah Kang Wowok.
Dalam taraf tertentu, Kang Amin bertindak sebagai benteng, alias “satpam”
moral. Ia memberi peringatan “…jangan lagi ungkit-ungkit masa lalu Kang
Wowok”. Itulah politisi. Sekaliber Kang Amin seenak jidatnya bermanuver. Kang
Amin pasti memiliki alasan yang kuat untuk mengubah dari pembenci menjadi
pengagum. Tapi membingungkan dan meresahkan pengagumnya.
“smartphone”. Sebagai politisi, ucapan dan tindakannya ditafsirkan dan dimaknai
tak lepas dari motif politik. Bisik pada dirinya “mampus lo, gue kerjain”. Tahun
lalu, ia ingat saat Kang Amin gencar menyerang Kang Joko “ Bagi kalian, dia hebat. Tapi, maaf dia gagal. Prestasinya di kota
Bengawan, lebih karena wakilnya.”
meredakan regang kulit wajahnya. Serangan Kang Amin, kian sistematis sejak kang
Joko dipopulerkan sebagai calon Raja. Ini kata-kata ajaib dari kang Amin, yang
disenangi Kang Wowok dan pengikutnya. Kata Kang Amin “jangan memilih Raja, hanya
karena populer. Nanti seperti Bintang film yang menjadi presiden. Kisah negeri
tetangga, yang oleh people power pada
2001 dipaksa lengser dari
kursi Kerajaan.
Amin telah dalam dekapanya. Partai Gergaji, merasa di dholimi oleh penyepakat perjanjian
“Batu Tulis”. Kecewa berat. Kini terhibur dengan bukan saja oleh Kang Amin. Tetapi
Amin dengan gerbongnya. Kini, Kang Amin masuk jebakan, sedang menjalankan
politik Laundry, dengan “rinso” ditangannya, Kng Amin siap menjadi “pencuci”
dosa-dosa. Ah, politik.
* Dr. Jauhari Zailani, dosen Universitas Muhammadiyah Lampung (UML)