Kapal Milik Perusahaan Penambang Pasir di Lampung Dibakar Massa, Ini Kata Walhi

Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Kapal penyedot pasir yang diduga milik PT. Sejati 555 Sampurna Nuswantara (SSN) dibakar massa, Sabtu (7/3/2020). Pembakaran kapal tersebut diduga sebagai bentuk kemarahan warga yang selama ini menolak aksi rencana penambangan pasir di laut kawasan pesisir Lampung Timur, tetapi perusahaan tetap nekat akan beroperasi.

Terkait hal itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Lampung meminta Pemerintah Provinsi Lampung agar segera menindak tegas perusahaan yang menambang  pasir laut di pesisir Lampung Timur.

“Walhi mengecam PT Sejati 555 Nuswantara yang akan melakukan aktivitas eksploitasi pasir di perairan laut Kabupaten Lampung Timur,” kata Direktur Eksekutif Walhi Lampung, Irfan Tri Mursi, Senin (9/3/2020).

Menurut Irfan, PT Sejati 555 Sampurna Nuswantara selalu mencoba untuk melakukan pertambangan pasir laut di perairan laut Kabupaten Lampung Timur meskipun mendapat penolakan dari masyarakat dan nelayan. Masyarakat dan nelayan menolak keras penambangan pasir di laut Lampung Timur karena mereka tidak mau wilayah tangkap mereka dan kelestarian pesisir laut Lampung Timur terganggu.

“Kalau ada penambangan pasir, otomatis wilayah tangkap para nelayan terganggu. Dan itu berarti mengancam periuk nasi para nelayan. Laut di kawasan pesisir Lampung Timur merupakan sumber penghidupan para nelayan,” katanya.

Menurut Irfan,berdasarkan catatan Walhi pembakaran kapal milik PT Sejati 555 Nuswantara bukan kali ini terjadi.

Sebelumnya, pada 11 Agustus 2016 masyarakat pesisir perairan Syahbandar, Kecamatan Labuhanmaringgai, Kabupaten Lampung Timur juga menyandera  kapal milik PT Sejati 555 Nuswantara yang akan melakukan eksploitasi pasir laut.

“Kedua kejadian tersebut merupakan bentuk penolakan masyarakat dan merupakan protes kepada Pemerintah Provinsi Lampung yang telah menerbitkan Izin Usaha Pertambangan – Operasi Produksi (IUP-OP) di wilayah tangkap nelayan,” kata Irfan.

IUP-OP PT Sejati 555 Sampurna Nuswantara dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Lampung pada tahun 2015.

Dalam Penerbitan Izin tersebut WALHI Lampung menilai Pemerintah Provinsi Lampung cacat administrasi dan mengabaikan partisipasi masyarakat.

“Sebab, dalam proses pembahasan Amdal yang dilaksanakan oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Lampung tahun 2015 lalu masyarakat pesisir Pulau Sekopong, Perairan Syahbandar dan sekitarnya menyatakan menolak rencana penambangan pasir laut tersebut. Mereka menolak karena penambangan pasir akan merusak wilayah tangkap nelayan pesisir Kabupaten Lampung Timur, merusak ekosistem budidaya kepiting rajungan,dan berpotensi menenggelamkan Pulau Sekopong,” kata Irfan.

Selain itu, kata Irfan,  rencana penambangan pasir laut tersebut juga dianggap tidak memiliki landasan hukum dalam penerbitannya.

“Karena tidak mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Lampung tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3). Lokasi penambangan tersebut juga berbatasan langsung dengan kawasan Hutan Konservasi Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Ironisnya, ternyata di kemudian hari Pemerintah Provinsi Lampung justru menerbitkan Izin LIngkungan sampai dengan Izin Usaha Pertambangan – Operasi Produksi (IUP-OP) untuk PT Sejati 555 Nuswantara di Perairan Laut Kabupaten Lampung Timur,” kata dia.

PT Sejati 555 Nuswantara mengantongi dua Izin Usaha Pertambangan – Operasi Produksi (IUP-OP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Lampung. Pertama, izin Nomor : 540/12979/KEP/II.07/2015 seluas 1.000 hektare di Desa Margasari,Sukorahayu, Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur.

Kedua,  izin Nomor : 540/12980/KEP/II.07/2015 seluas 1.000 Hektare di Desa Margasari, Sukorahayu, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur.

Irfan menegaskan, kasus PT Sejati 555 Nuswantara ini merupakan bukan satu-satunya kasus pertambangan pasir laut yang cacat administrasi dalam penerbitannya serta ditolak masyarakat. Selain di Lampung Timur, ada juga izin dari Pemprov Lampung kepada PT Lautan Indonesia Persada (LIP untuk menambang pasir Gunung Anak Krakatau (GAK) di Lampung Selatan. PT LIP mengantongi izin dengan nomor  540/3710/KEP/II.07/2015. Perusahaan tersebut diperbolehkan menambang di kawasan “perbatasan” perairan GAK dengan perairan Pulau Sebesi seluas 1.000 hektare.

Selain 3 izin diatas, Pemerintah Provinsi Lampung di tahun 2015 juga menerbitkan izin pertambangan pasir laut untuk Pusat Koperasi Nelayan Indonesia (PUSKONELI) dengan nomor izin : 540/3604/KEP/II.07/2015 seluas 997 hektare di wilayah perairan Desa Way Teladas,Kecamatan Dente Teladas,Kab Tulang Bawang.

Pada 2017 Pemerintah Provinsi Lampung menerbitkan izin pertambangan untuk PT Makmur Anugerah Mandiri Sejahtera dengan nomor : 540/14496/KEP/V.16/2017 seluas 996 hektare di perairan laut Kecamatan Dente Teladas Kabupaten Tulangbawang.

Menurut WALHI Lampung ke-5 Izin Usaha Pertambangan – Operasi Produksi (IUP-OP) Pasir laut tersebut cacat administrasi dalam penerbitannya karena tidak sesuai dengan Amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, selain itu di dalam Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Lampung Tahun 2018 – 2038 juga tidak ada peruntukan ruang laut untuk pertambangan kecuali pertambangan minyak dan gas bumi di Provinsi Lampung.

“Pemerintah Provinsi Lampung tidak serius mencabut izin perusahaan pertambangan pasir laut,” kata Irfan.