Kasus Pemerasan, Herman Kodri Divonis 9 Bulan Penjara

Terdakwa Herman Kodri di ruang isolasi PN Kotabumi
Bagikan/Suka/Tweet:

Feaby/Teraslampung.com

Kotabumi–Meski diklaim tak sesuai fakta persidangan, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kotabumi Lampung Utara (Lampura) akhirnya memvonis 10 bulan penjara kepada terdakwa dugaan pemerasan, Herman Kodri (35), Kamis (9/7) siang.

Tak pelak, vonis 10 bulan penjara ini membuat warga Kali Cinta, Kotabumi Utara itu ‘meradang’ dan langsung mengajukan banding. Herman menilai banyak kejanggalan dalam putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) tersebut.

“Jelas, saya sangat keberatan karena saya nilai ada yang tidak ‘beres’ dalam putusan tersebut,” tegas dia, Kamis (9/7).

‘Ketidakberesan’ dalam putusan 10 bulan penjara itu, menurut Herman, yakni majelis hakim memutus perkaranya tanpa mengindahkan berbagai fakta persidangan. Majelis hanya memutus perkaranya hanya berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik, dan tak membacakan seluruh pembelaannya dalam putusan tersebut, serta tak disebutkannya surat pernyataan Amron Lubis (35) selaku saksi pelapor dalam perkara ini.

“Majelis hakim memutus perkara ini hanya berdasarkan BAP Polisi. Sementara faktanya, saksi terlapor sama sekali tak pernah membuat laporan terkait dugaan pemerasan itu!” tandasnya.

Keyakinan Herman bahwa ada yang tidak ‘beres’ dalam putusan majelis hakim semakin menguat manakala mendapati putusan asli atas perkara yang menimpanya ternyata sama sekali belum ditandatangani dan dicap. Sedangkan, salinan asli putusan yang diterimanya sudah ditandatangani dan dicap.

“Gimana enggak saya bilang tidak beres kalau putusan asli belum ditandatangani dan dicap sementara salinannya sudah dicap dan ditandatangani. Ada apa dan kenapa bisa seperti ini?” tanya dia.

Di sisi lain, Humas PN Kotabumi, Indra Lesmana mengatakan tak dapat memberikan komentar terkait putusan hakim kepada terdakwa dikarenakan terdakwa Herman Kodri masih akan melakukan banding. Dengan demikian, Putusan majelis hakim  dinilai belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah).

“Ketika putusan itu belum inkrah, Hakim (kami) enggak boleh komentar putusan itu. Tapi yang jelas, putusan itu sudah didasarkan berbagai pertimbangan yang terdapat dalam putusan atau salinan putusan,” paparnya.

Sementara mengenai temuan salinan putusan yang telah ditandatangani dan dicap sedangkan putusan aslinya sama sekali belum ditandatangani dan dicap, Indra mengakui hal itu tak dapat dibenarkan. Karena semestinya baik putusan asli maupun salinan putusan harus sudah ditandatangani. Ia mengatakan akan melaporkan temuan ini kepada pimpinannya agar dapat dilakukan investigasi supaya penyebab ‘keteledoran’ ini dapat diketahui.

“Memang seharusnya tidak seperti itu. Ketika salinan resmi putusan ke luar, yang asli harus sudah ditandatangani. Kami akan lapor ke pimpinan,” terang dia.