Zainal Asikin|teraslampung.com
BANDARLAMPUNG-Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto mengatakan, kasus pembunuhan yang melibatkan MK (14) sebagai pelaku yang masih seorang anak-anak dan pelajar ini, perlu adanya perbedaan penangannya dengan pelaku orang dewasa.
“Pelaku juga sebagai korban dari lingkungan yang tidak kondusif. Kasus ini memang perlu ditangani secara serius, para penegak hukum perlu memperhatikan hak-hak anak meski sebagai pelaku juga sebagai korban,”kata Kak Seto kepada teraslampung.com, Senin (20/2/2017) malam.
Menurutnya, proses hukum tetap dan hukuman memang perlu diberikan, akan tetapi hukuman yang diberikan bagaimana cara mengubah prilaku anak tersebut agar tidak melakukan tindakan kriminal. Karena itu juga, ada undang-undang sistem peradilan anak.
“Artinya pelaku anak harus dihukum sudah pasti ya, tapi dihukumnya juga dalam bahasa anak. Hal ini dilakukan, supaya anak ini benar-benar belajar dan tidak mengulangi perbuatannya lagi,”ujarnya.
Psikolog dan juga pakar pendidikan anak-anak ini mengutarakan, masa depan terhadap pelaku anak perlu menjadi perhatian untuk semua dan perlu adanya rehabilitasi atau terapi terhadap pelaku anak. Rehabilitasi itu sendiri, bisa dilakukan dengan biaya dari Dinas Sosial.
Hal tersebut perlu dilakukan, kata Seto, agar hak-hak pelaku anak untuk belajar dan rasa kasih sayang masih diperolehnya. Selain itu juga harus diajarkan bagaimana cara-cara menghadapi teman-temannya, agar tidak lagi melakukan tindakan yang melanggar hukum.
“Harus ada rehabilitasi, jangan ada tekanan-tekanan yang menyudutkan anak yang akan mengakibatkan anak menjadi prustasi dan hilang hak-hak sebagai anaknya. Jadi harus merubah mindset, bagaimana Lapas anak tidak lagi menjadi tempat mereka untuk menjalani hukuman karena tindakan kriminal. Tapi menjadi suatu tempat pendidikan khusus untuk anak-anak,”ungkapnya.
Kak Seto menilai, tindakan kekerasan hingga berujung pembunuhan yang dilakukan MK (14) terhadap teman sekolahnya bernama Anisa Putri (10). Kejadian tersebut, karena adanya faktor tekanan psikologis diri pelaku. Faktor tersebut, karena pengaruh dari keluarga, pergaulan, lingkungan sekitar, sekolah dan televisi. Karena
dapat memicu dampak psikologis anak jadi agresif, dan mudah untuk melakukan tindakan berbahaya yang tidak semestinya dilakukan diluar batas kewajaran usianya.
“Peran orangtua dan keluarga sangat penting, jangan berikan tindakan kasar terhadap anak, memarahi, apalagi sampai memukul. Karena akan mengganggu syaraf otak anak, ajarkan prilkau yang lebih positif dan berikan kasih sayang. Sangat penting dalam pendidikan, baik orangtua dan keluarga harus menjadi idola bagi anak-anaknya,”terangnya.

Dikatakannya, masyarakat pun harus peduli dan berperan aktif, agar tidak terjadi tindakan kekerasan atapun adanya pelecehan seksual terhadap anak-anak baik pelaku ataupun korbannya di lingkungannya. Para orangtua, harus terus berperan aktif melakukan pengawasan dan pendekatan terhadap anak-anaknya.
Jangan sampai anak-anak melihat televisi tontonan orang dewasa, apalagi dengan kemajuan teknologi sekarang ini. Orangtua harus lebih hati-hati, anak-anak jangan diberikan ponsel pintar. Karena banyak situs-situs terlarang di media sosial (daring), yang dengan mudah dapat diunggah. Hal tersebut juga, dapat memicu anak-anak melakukan yang mengarah ke tindakan kriminal.
“Harapannya, tidak ada lagi kejadian kekerasan terhadap anak baik pelaku ataupun korbannya. Ataupun adanya kejadian pelecahan seksual terhadap anak-anak,”pungkasnya.