Chairun Nisa (Dok Fajar) |
Bambang Satriaji/teraslampung.com
JAKARTA–Semua manusia normal, diyakini memiliki cita-cita mulia. Chairun Nisa, anggota DPR RI dari Partai Golkar yang menjadi terdaksa dalam kasus suap Akil Mochtar, misalnya, obsesinya mencerdaskan masyarakat Kalimantan Tengah. Maklum, meskipun lahir di Klaten, Jawa Tengah, dalam Pemilu 2009 lalu Chairun Nisa memang berasal dari daerah pemilihan Kalteng.
Sampai sekarang Chairun Nisa membantah berperan aktif dalam kasus dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah di Mahkamah Konstitusi (MK). Itu terungkap ketika pembacaan nota keberatannya (eksepsi) oleh tim penasehat hukum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin, dua pekan lalu (13/1).
Tim penasehat hukum menyatakan Nisa mengaku sejak awal tak pernah menawarkan diri atau berniat membantu pengurusan perkara tersebut. Bahkan disebutnya, Charun Nisa, terpaksa urus perkara di MK
“Peran terdakwa sejak awal bukanlah orang yang aktif. Terdakwa hanyalah orang yang pasif dan terpaksa karena sejak awal sebenarnya sudah tidak berkehendak untuk membantu mengurus perkara,” ujar kuasa hukum Nisa, Soesilo Aribowo saat membacakan berkas eksepsi.
Soesilo menyatakan inisiatif awal untuk pemberian suap kepada Ketua MK saat itu, Akil Mochtar, berasal dari Bupati Gunung Mas terpilih Hambit Bintih. Hambit meminta tolong kepada Nisa agar menghubungkannya dengan pejabat di MK. Tujuannya agar dalam putusannya, hakim menolak keberatan hasil Pilkada Gunung Mas sehingga kemenangan Hambit tetap dinyatakan sah.
Tim penasehat hukum dalam hal ini juga menilai jaksa penuntut umum KPK keliru dalam pada penerapan pasal 12 huruf c Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Menurutnya, Nisa bukan pihak yang turut serta atau bersama-sama melakukan korupsi.
“Surat dakwaan tidak jelas, penuntut umum tidak dapat merumuskan dengan tepat peranan terdakwa. Peranan terdakwa lebih tepat sebagai pembantu orang yang melakukan atau turut serta melakukan. Bukan yang aktif,” sambung Soesilo.
Atas keberatan itu, tim penasehat hukum Nisa menolak dakwaan yang disusun Jaksa Penuntut Umum KPK.
Sebelumnya Nisa didakwa menerima suap sebesar Rp 3,075 miliar untuk Akil terkait pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas. Uang itu diterima Nisa dari Hambit dan pengusaha bernama Cornelis Nalau Antun.
Berikut profil Chairun Nisa seperti yang terdokumentasi di DPR RI:
Ramah, bersahaja, energik dan cerdas, itululah kesan pertama kali jika kita melihat sosok politikus yang satu ini. Siapa yang tidak kenal dengan Chairun Nisa, politikus dari Fraksi Partai Golkar ini biasa kita lihat memimpin rapat-rapat di Komisi VIII DPR.
Sebagai Wakil Ketua Komisi VIII yang membidangi kesejahteraan sosial dan agama rasanya jabatan ketua ini sangat pantas disandangnya. Chairun Nisa sangat concern dengan masalah-masalah di bidangnya.
Sedari kecil bercita-cita ingin menjadi Guru, padahal biasanya anak-anak kecil seumurannya, mayoritas ingin menjadi Dokter, Pilot, Polisi, Insinyur atau bahkan Presiden. Keinginan itu terinspirasi dari tokoh idolanya ketika ia duduk di bangku Sekolah Dasar. Seorang guru bernama Mustahsanah, juga sangat pintar, rapi, dan bijaksana. Nisa bersyukur karena telah berhasil mewujudkan cita-citanya menjadi Guru.
Berawal dari cita-cita itu, hingga kini (setelah menjadi Anggota DPR) ia tetap concern dibidang pendidikan. Motivasinya menjadi Anggota DPR tidak lain ingin menyalurkan aspirasinya yaitu ikut mencerdaskan masyarakat, terutama masyarakat Kalimantan Tengah.
Karena itu, ketika resmi menjadi Anggota DPR, Chairun Nisa langsung memilih Komisi yang membidangi pendidikan. “Ketika masuk di DPR, komisi yang saya pilih adalah komisi yang membidangi pendidikan. Kebetulan waktu itu komisi pendidikan dan Agama bergabung menjadi satu,” katanya. “Untuk menyalurkan aspirasi Masyarakat, kita harus masuk ke dalamnya, kita tidak bisa berdiri di luar. Jadi supaya dapat lebih mudah, saya masuk ke Komisi pendidikan,” kata ibu dari satu anak ini.
Semenjak menikah tahun 1983, ia diboyong suaminya ke Kalimantan Tengah. Ia mengaku sempat merasa bingung, juga kesepian, karena terbiasa hidup di Kota Solo dan Yogyakarta yang ramai. Namun karena terbiasa aktif, ia tidak ingin larut dalam situasi itu.
Untuk menghibur diri, dia tidak mau berlama-lama menganggur. Hanya beberapa bulan setelah tinggal di Kalteng, ia langsung diangkat menjadi guru honor di Madrasah Tsanawiyah, dan dosen honor di Universitas Palangkaraya. Setahun kemudian resmilah ia diangkat menjadi Dosen di Universitas Palangkaraya.
Seiring berjalannya waktu, Nisa begitu panggilan akrabnya melihat ada peluang politik yang bagus, karena waktu itu, perempuan yang aktif dipolitik masih sangat sedikit dan kebanyakan perempuan PNS tidak mau aktif di kancah politik. Tapi, hal itu tidak berlaku buat Nisa, karena latar belakangnya memang aktifis, maka ia merasa ada tempat penyaluran. Ia aktif di partai yang berlambang beringin sejak 1985, dua belas tahun kemudian barulah berhasil menjadi anggota DPR RI.
Namun perjalanan politiknya menuju kursi DPR RI tidak diraihnya dengan mudah. Dua kali gagal mencalonkan diri sebagai Caleg DPRD Provinsi, periode 1987-1992 dan periode 1992-1997 tak membuatnya patah arang. Setelah mendapat izin dan dukungan dari keluarga besar, terutama suami, ia kembali mencoba mencalonkan diri untuk yang ketiga kalinya pada pemilu 1997. Tapi pada periode ini, ia menjadi Caleg DPR RI
Sembari mengenang masa lalunya, ia berkisah, ia mendapat nomor urut 5, dan Kalimantan Tengah waktu itu mendapat 5 kursi. “Sehingga pas, saya bisa masuk jadi Anggota DPR RI sampai sekarang,” katanya.
Tidak Ngoyo
Istilah inilah yang tepat untuk menggambarkan perjalanan karir politik seorang Chairun Nisa. Meski ia sudah menjadi aktivis sejak Mahasiswa, namun ia menjalani karir politiknya seperti air mengalir.
Meskipun menjadi Anggota DPR memang merupakan keinginannya tapi ia tidak terlalu ambisius dalam meraihnya. “Prosesnya mengalir seperti air saja. Saya tidak pernah mengharuskan ini-itu. Tidak.Pokoknya saya ga ngoyo. Tapi yang benar-benar jadi impian saya itu, ingin jadi guru. Itu cita-cita saya dari kecil,” kenang alumni S3 UNJ Program Studi Manajemen Pendidikan.
Cita-cita Nisa menjadi seorang politikus juga terinspirasi dari tokoh idolanya ketika ia beranjak remaja dan masih tinggal bersama orang tuanya di Solo. Ketika itu, dia masih sekolah di Solo, dan ada perempuan seorang mubaliq, aktivis, yang menjadi Anggota DPR RI. Menurut Nisa, anggota tersebut sangat pintar, dan dia mengidolakan tokoh tersebut dan berkeinginan seperti idolanya itu. Untuk itu ia bertekad ingin menjadi anggota DPR, entah DPR RI, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.
Setelah resmi menjadi Anggota DPR, iapun berupaya segera mewujudkan mimpinya ingin mencerdaskan masyarakat Kalteng. Yang pertama kali disoroti adalah perkembangan pendidikan di Kalimantan Tengah.
Sesuai latar belakangnya sebagai dosen dan pendidik, maka visinya selalu ingin mencerdaskan masyarakat Kalimantan tengah. Karenanya, ia berpendapat jika tidak diperjuangkan lewat DPR, kemungkinan untuk mewujudkan itu akan kesulitan.
Duduk di Komisi yang membidangi pendidikan, sesuai dengan tugas dan fungsi sebagai anggota DPR, mantan Dosen Universitas Palangkaraya ini berusaha untuk menaikkan anggaran pendidikan, khususnya di Kalimantan Tengah.
“Alhamdulillah berkat perjuangan saya bersama teman-teman Panitia Anggaran lainnya, anggaran pendidikan dari APBN bisa meningkat, begitu juga dari APBD, kita selalu menyarankan supaya ditingkatkan baik APBD Provinsi maupun APBD Kabupaten,” katanya bangga.
Perempuan kelahiran Surakarta, 27 Desember 1958 ini berpendapat, ada beberapa hal yang harus dibenahi dalam masalah pendidikan, antara lain sarana dan prasarana. Namun dengan adanya amanat UUD 1945, yang mengharuskan 20 persen anggaran pendidikan, maka Gubernur dan Bupati telah meningkatkan APBD nya untuk memenuhi amanat tersebut. Upaya ini harus selalu kita gaungkan dan perjuangkan agar angka 20 persen APBN bisa tercapai.
Berkat perjuangan bersama serta tidak mengenal lelah, akhirnya kondisi sarana dan prasarana pendidikan di Kalteng seperti kelas dan juga fasilitas-fasilitas pendukung lainnya sudah jauh lebih baik.
Bahkan untuk Program Wajib Belajar 9 Tahun yang dicanangkan Pemerintah tuntas tahun 2008 sudah berjalan dengan baik di Kalteng. Meskipun untuk mencapai wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun itu dengan cara SD-SMP satu atap.
“Karena anak-anak sekarang diharuskan mengeyam pendidikan wajib belajar 9 tahun, kita memetakan dimana saja yang ada penduduknya untuk dibuat SD-SMP satu atap. Itu saya perjuangkan ketika saya duduk di Komisi X,” terangnya
Wakil Ketua DPD Alhidayah Tingkat I Kalteng Th.1985-1995 ini sekarang ditunjuk Fraksinya untuk menjadi salah satu pimpinan di Komisi VIII. Walaupun bukan lagi di Komisi X yang membidangi pendidikan, namun niatnya tetap ingin mencerdaskan masyarakat Kalteng.
Di Komisi ini Nisa juga dapat memperjuangkan pendidikan karena Departemen Agama membawahi masalah pendidikan terutama untuk sekolah Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah dan Perguruan Tinggi agama.
Untuk itu, mantan Dosen Universitas Muhamadiyah Palangkaraya ini tetap akan memperjuangkan sekolah-sekolah madrasah yang notabene mayoritas (80 persen) berstatus swasta. Jadi kita mengupayakan supaya Depag mendapat anggaran lebih tinggi, supaya bisa mengurusi madrasah yang swasta. Tidak harus dinegerikan tapi minimal ada bantuan untuk mereka. Karena jika madrasah mau dinegerikan, terlalu banyak,” katanya.