Kata-Kata

Bagikan/Suka/Tweet:
Asarpin*
Pada suatu
hari ada orang bertanya kepada Nabi: “Wahai baginda Nabi, kalau aku boleh tahu,
kenapa Alquran diwahyukan kepada baginda kata demi kata, dan tidak bab demi
bab?” Mendengar pertanyaan itu, Nabi diam sejenak, kemudian menjawab:
“Seandainya Alquran diwahyukan semuanya kepadaku secara serentak, aku akan
meleleh hancur dan mati”.
Mendengar
jawaban Nabi itu, si penanya makin penasaran, namun ia sungkan untuk bertanya kembali.
Singkat cerita, jawaban Nabi telah menimbulkan berbagai penafsiran di antara
orang-orang yang hadir dalam majelis pumpun tersebut.
Sahih atau
tidak kisah di atas, tidak teramat penting di sini. Cerita itu saya temukan
dalam sebuah buku karya Jalaluddin Rumi, Fihi ma fihi dalam versi
Indonesia. Dan saya kira bukan soal benar dan tidakbenarnya kisah di atas yang ingin disampaikan Rumi dalam buku tersebut. Cerita
itu menggambarkan proses turunnya wahyu yang diterima Nabi secara bertahap,
atau lebih dikenal dengan proses evolusi.
Wahyu
pertama dalam Islam turun dalam bentuk kata demi kata yang berbicara tentang
perintah membaca. Dengan cara begitu Nabi tak sekadar mengerti, tapi ia merasakan
cara itu sungguh efektif untuk meyakinkan Nabi yang buta huruf dalam menerima
wahyu dari Tuhan lewat perantara Jibril, yang kemudian disampaikan kepada
sahabat-sahabatnya.  
Proses
penerimaan wahyu yang dirasakan Nabi itu sungguh berat. Ada sebuah riwayat
menyebutkan: Nabi menggigil, tertegun dan gemetar, bahkan menanggung perih yang
tak terlukiskan. Bayangkan jika wahyu turun sekaligus:”Aku akan meleleh hancur
dan mati”, kata Nabi.
Wahyu datang
menghampiri Nabi dengan kata-kata. Tapi bukan dalam kata-kata yang seperti kata
Syahrini, ”cetar-membahana”. Wahyu sampai ke Nabi melalui suara yang hening,
kadang dengan bisikan. Kata-kata dalam wahyu hanya bayangan realitas, bukan
realitas itu sendiri. Kata-kata merupakan cabang dari kenyataan. Kata-kata hanyalah
pra-teks. Kata-kata hadir ke dunia diperuntukkan kepada mereka yang
memerlukannya untuk sampai pada pemahaman. Apa perlunya kata-kata bagi yang
mampu memahami tanpa kata-kata? Apa perlunya teriakan bagi yang mampu mendengar
bisikan?
Semua
pengetahuan, kata Jalaluddin Rumi, berasal dari dunia tanpa bunyi, tanpa suara,
tanpa kata-kata. Tuhan telah berbicara kepada Musa di Sinai yang sepi. Nabi
Muhammad menerima wahyu di gua Hira yang sunyi. Sepi dan sunyi tak lain adalah
maqam tertinggi untuk mencapai khusuk dan kemudian sampai kepada Tuhan.    
Suara—apalagi
suara yang keras dan melengking—lebih sering melahirkan kegaduhan, kebisingan, hingga
mampu menghilangkan ketentraman dalam diam. Bagaimana mungkin kita bisa khusyuk
menghadap Tuhan dalam kebisingan?

* Esais