Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Pada waktu Sekolah Rakyat tahun 1960-an ada mata pelajaran bercerita. Mata pelajaran ini selalu ditunggu-tunggu oleh kami, karena guru kelas kami bernama Pak Guru Abunawas selalu menampilkan cerita-cerita menarik atau mendongeng.
Tema cerita atau dongengan-pun beraga. Ada tentang dunia binatang, ada pula cerita epos sejarah. Dari Pak Nawas itulah kami mengenal kisah Petualangan Don Quixote. Tentu saja Don Quixote versi beliau. Sebab, begitu penulis membaca buku aslinya setelah duduk di bangku SLTA, ternyata Don Quisote yang saya baca tidak sama persis dengan yang diceritakan Pak Nawas. Namun, itulah guru. Ia banyak improvisasi dalam mendidik anak-anaknya. Dari semua itu ada satu kata kunci yang masih membekas pada ingatan: Pak Nawas selalu membuka ceritanya dengan kata baku “Pada Suatu Hari”.
Kata itu selalu diucapkan dengan wajah khas sebagai pendidik yang ihlas. Kami semua tidak menyadari bahwa pada waktu itu beliau menyampaikan pesan moral dan ajaran budi pekerti yang sangat luhur pada murid-muridnya. Penulis baru menyadari setelah sekian lama. Sayangnya, saat tahun 2006 pengukuhan penulis sebagai guru besar beliau tidak bisa hadir karena sudah uzhur.
Sementara sekarang dengan Kurikulum Merdeka, pendidikan seperti itu tidak diperlukan lagi. Beda zaman beda tantangan, dan juga beda permintaan. Dan, sebentar lagi juga akan berubah entah berentitas apa, karena perubahan itu adalah keniscayaan yang harus dilakoni manusia didunia ini. Sesuai hukum sosial yang dicanangkan oleh Profesor Selo Sumardjan seorang sosiolog Indonesia yang mengatakan “tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan”. Sesuatu yang tidak berubah pun sebenarnya sudah berubah, karena ketidakperubahannya itu sendiri sudah berubah.
Kita tinggalkan “Pada Suatu Hari” pada jamannya, dan sekarang pembuka itu telah berganti dengan “Jika saya jadi nanti”; ini menjadi pembuka siapa saja saat ini manakala yang bersangkutan ada pada posisi sentral sebagai pembawa cerita. Sementara mereka yang berada disekelilingnya sebagai pendengar, akan berguman “mau memberi apa dia nanti”. Keadaan yang sering diingkari oleh banyak pihak, tetapi tidak untuk redaktur media online yang kita baca ini. Menggunakan referensi yang valid sang redaktur membeberkan secara lugas dengan gayanya. Bahkan beliau berani mengatakan bahwa ketidakjujuran dalam pemilihan seolah sudah menjadi asam garam di negeri ini, tentu dengan bahasa khas nya.
Logika “Jika saya…” dengan “mau memberi apa ….” Semua kita sepakat bahkan diatur dalam perundangan formal yang memberi dan menerima mendapatkan sanksi. Persoalannya menjadi beda saat dilapangan. Si pemberi mengatakan bahwa mereka bukan membeli akan tetapi sekedar berbagi. Sementara sipenerima mengatakan “kami tidak minta, jika diberi masak harus menolak, rasanya tidak etis….”
Sempurnalah perubahan kata pembuka disuatu hari menjadi jika saya jadi. Dengan demikian thesis yang mengemuka bahwa pemilih tidak peduli siapa yang akan jadi, tetapi dia dapat manfaat apa dari memilih, itu jauh lebih penting; tampaknya kebenarannya perlu diukur signifikansinya.
Mendekati hari-hari akhir ini ternyata ada variasi yang bervariatif pada kalangan bawah. Variasi pertama, mereka yang gencar mendekati konstituen untuk membuka cerita “jika saya…” dengan berbagai cara. Variasi kedua, mereka berhitung matematis keluar berapa dapat berapa; sehingga kalkulasi bisnis sangat diperhitungkan, tidak gegabah mengeluarkan rupiah; per-sen-pun mereka perhatikan dengan seksama.
Biasanya kelompok ini mereka yang sudah pengalaman, atau jam terbangnya tinggi. Sementara kelompok pertama biasanya yang baru pertama masuk gelanggang. Kelompok kedua ini agak sedikit irit untuk bicara “Jika saya..”; karena sudah paham akan penggorengan di atas tungku yang siap menunggu korbannya.
Beda lagi yang variasi tiga, kelompok ini menunggu durian jatuh, usaha yang dilakukan sangat strategis, bahkan sampai pada titik akhir jika perlu tidak perlu banyak modal tetapi jadi. Kelompok ketiga ini adalah mereka-mereka yang memang hidup dan matinya bernapaskan politik, sehingga jargon “tidak ada teman abadi, yang ada kepentingan abadi” betul-betul mereka gunakan sedemikian rupa.
Politikus ulung ini memang tidak banyak jumlahnya, tetapi sekali turun gunun. Semua yang di bawah akan berkata “silakan”, meskipun ada yang berguman dibelakang “rusak deh punya gua”. Sekelas mereka ini jumlahnya tidak banyak, bisa dihitung dengan jari. Namun aura yang mereka usung bisa membawa suasana berubah seratus delapanpuluh derajat. Setiap daerah atau wilayah memiliki orang-orang seperti ini; sabdanya bagai raja dewa yang memiliki titah.
Salam waras!