Kebakaran Jenggot

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial pada Pascasarjana FKIP Unila

Kebakaran jenggot adalah peribahasa yang memiliki arti panik secara berlebihan. Jadi, orang yang dikatakan kebakaran jenggot bisa dibilang orang tersebut sedang panik dan bingung secara berlebihan. Penggunaan ungkapan kebakaran jenggot bisa ke siapa saja tidak harus ke kaum laki-laki, karena kaum laki-laki yang memiliki jenggot. Karena kebakaran jenggot adalah  sebuah ungkapan,  maka bisa digunakan pada laki-laki dan perempuan dan tidak ada batasan usia. Ciri umum orang yang sedang panik berlebihan yaitu tidak bisa berpikir secara jernih. Jika orang tersebut panik tetapi tetap bisa mengontrol emosi maka orang tersebut tidak bisa dikatakan sedang kebakaran jenggot. Keadaan seperti ini bisa menimpa siapa saja, bisa redaktur bisa kondektur, bisa bupati bisa walikota, bisa gubernur bisa juga inspektur; jadi siapa saja, termasuk rakyat maupun pejabat.

Akhir-akhir ini kata kebakaran jenggot sedang mengemuka pada pengguna media masa, terutama berkaitan dengan komentar miring tentang kinerja pemimpin. Walaupun yang kebakaran jenggot “paling parah” bukan pemimpinanya, akan tetapi “para cantrik” pengiring, karena merasa “bendoro”-nya dibuat tidak nyaman oleh banyak orang. Kelompok Cantrik ini tidak jarang bermufakat jahat dengan cara apapun agar Sang Bendoro tetap bisa berkibar, termasuk sanggup menjadi tameng hidup.

Apakah kita tidak boleh kebakaran jenggot ? Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan konyol. Sebab, semua makhluk ciptaan Tuhan sah-sah saja untuk kebakaran jenggo — seperti telah disinggung di atas. Hanya saja, bisa jadi suatu peristiwa membuat seseorang sampai kebakaran jenggot, namun untuk orang lain biasa biasa saja. Menjadi kebakaran jenggot adalah anugerah yang harus kita syukuri. Berarti kita dianugerahi Tuhan untuk peka dengan keadaan. Dengan demikian dapat mengambil langkah-langkah kongkrit. Bukan berarti harus bereaksi emosional dengan berbuat membabibuta, lebih cenderung mencari pembenaran dari pada perbaikan.

Jika ditilik dari persoalan, mana persoalan yang membuat orang kebakaran jenggot. Jawabannya, pada umumnya persoalan yang berkaitan dengan periuk nasi, jabatan atau kesenangan duniawi; dan cantiknya itu dibungkus dengan “harga diri” atau martabat; sementara membedakan martabat dengan martabak sering beda tipis saja. Apalagi jika sudah dihadapkan seolah-olah bakal mati jika tidak bereaksi. Sementara semua kita paham bahwa “kematian” itu bukan kita yang menentukan. Namun, itulah manusia:  dalam mengejar dunia sampai sanggup berbuat apa saja, sampai sampai kebakaran jenggot. Belum pernah terdengar dan atau mungkin sangat jarang sekali, ada orang kebakaran jenggot karena tidak melaksanakan pertintah agamanya. Bahkan mungkin jika ini terjadi, menggunakan istilah Rocky Gerung menjadi “dungu”; karena dalih yang dipakai adalah agama urusan pribadi, kebakaran jenggot urusan umat. Pola pikir demikian ini merasuk secara bebas saat ini seiring dengan libralisasi di segala bidang, terutama informasi.

Kebakaran jenggot menjadi masalah manakala melanda pemimpin negeri, dan pada umumnya mereka menjadi terbawa perasaan bahkan emosional; sehingga tidak mampu berpikir jernih. Namun demikian ada hal positif yang dapat kita ambil manfaat, yaitu aslinya perilaku pemimpin akan tampak manakala sedang kebakaran jenggot seperti ini. Pemimpin yang semula jaga image, ternyata aslinya brutal dan mulutnya berisi semua penghuni kebun binatang.

Sisi lain ternyata ada yang mengambil manfaat dari kebakaran jenggot, terutama jika ini melanda pemimpin. Orang kepercayaan pemimpin menjadi pahlawan untuk “Tuannya”, dengan cara memberikan bisikan untuk melakukan tindakan yang tidak jarang tindakan yang disarankan adalah tindakan konyol; tentu saja ini menjadi bumerang bagi sang pemimpin; namun kesadaran itu timbul biasanya sudah terlambat.

Banyak peristiwa kita jumpai dalam keseharian seperti apa yang dideskripsikan di atas; sebagai contoh pada saat lalu ada pemimpin daerah yang kebakaran jenggot karena dikritik oleh anak kecil, karena ketidakmampuan memperbaiki infrstrutur jalan di wilayah kekuasaannya. Akibatnya dalam mengatasi persoalan menggunakan “jurus dewa mabok”; semua salah kecuali dirinya yang boleh memiliki kebenaran.

Lebih konyol lagi Sang Dewa Mabok dibisiki oleh para cantrik yang memiliki kepentingan ketergantungan untuk melakukan tindakan hukum. Tentu saja hukum kausalitas sosial akan muncul, yaitu manakala ombak resonansi sosial terhambat atau dihambat oleh tindakan kontradiktif, maka ombak sosial itu menjadi gelombang sosial yang dahsyat dan akan melanda siapa saja, termasuk Sang Pemimpin.

Memberikan reaksi kontraprodukrif terhadap gelombang sosial yang sedang pasang, sebenarnya akan memperparah kebakaran jenggot; oleh karena itu harus sangat hati hati dalam menanganinya. Jika tidak, maka yang akan terjadi menyelesaikan masalah dengan masalah. Tentu ini adalah tindakan konyol yang terlalu mahal secara sosial untuk diselesaikan.

Selamat melaksanakan Ibadah Puasa bagi yang menjalankan.