Slamet Samsoerizal*
Pernah dengar nama Win Malukaya? Kalau belum pernah ya sangat wajar! Berselencar menyusuri jejak langkah sosoknya, lewat tol Om Google pun tak akan mampu melacak jatidirinya.
Dia cuma salah satu sahabat Mas Nakurat yang terpaksa memilih profesi sebagai kuli tenaga (sangat) murah di perusahaan kopra di kebunan, di daerah kelahiran tercintanya. Tegasnya, tugas Mas Win cuma bagian angkutangkut, jika ada kelapa turun dan dengan slongkro (gerobak) khasnya, dia angkat angkut ke gudang pabrik.
Sebelumnya, selama belasan tahun, ia merintis sebagai laskar mandiri. Ah, sebutan indah negara kepadanya nan tak elok disandang.
Anda pasti masih ingat, betapa era Orde Baru banyak fakta miris dibuat manis. Mau contoh? Gelandangan, disapa sebagai tunawisma; pembantu rumah tangga, disebut pramuwisma; dan pemulung disebutnya sebagai laskar mandiri. Lalu di zaman serba canggih penuh gombal, atas nama Hak Asasi Manusia, para pekerja kasar wong cilik pun supaya lebih mentereng dipadanpadankan dengan bahasa Inggris. Maka, sapaan OB (office boy), CS (cleaning service) cuma untuk menyebut pesuruh digunakan kedua istilah tersebut.
***
Kembali ke Mas Malukaya … Apa yang salah dari tindakan Mas Win? Jika ini menyangkut soal pilihan hidup, tak perlu kita hakimi. Jika itu soal kaitan ijasah yang dia punya dan jenis pekerjaan yang dia alami, tentu tak sepadan. Mas Win berijasah SMA lho! Masa hanya jadi kuli tarik slongkro? Jika ini soal nasib, kriteria macam apa yang digunakan untuk bincang soal peruntungan baik-tidak baik menyangkut pekerjaan?
Mas Nakurat masih ingat, ketika pernah bersamanya di bangku sekolah menengah. Sosok yang selalu tampil nyentrik nyeni ya Mas Win seorang. Nama yang selalu tampil menulis di majalah dinding dengan ragam tulisan dari esai hingga puisi, ya Mas Win. Melukis, oke .. menyanyi pun, sempat menggegerkan sekolah saat pentas seni berlangsung.
Mas Win ternyata pelantun lagu-lagu dangdut beraroma sentimental romantis. Lagu-lagu Mansyur S, Megy Z, Mashabi, dan tentu saja semua lagu raja dangdut Rhoma Irama dia kuasai dengan cengkok yang menawan.
Mas Win bahkan sempat mengamen dari kampung ke kampung baik sendiri dari rumah ke rumah maupun ikut naik pentas jika ada hajatan, nikah atau khitanan. Menurut selera penonton, kehadirannya selalu dirindukan karena komunikasinya pun selalu bikin renyah.
Entah, sejak kapan dia memutuskan untuk tak ambil peran lagi di pentas musik perdangdutan, hingga Mas Nakurat mendengar dia sudah menikah dan tinggal di perkampungan samrel (samping rel
kereta api). Profesinya pun beralih menjadi pemulung.
“Hidup memang mesti nrimo ing pandum” begitu ujarnya suatu saat sua Mas Nakurat.
Maka, tanpa sungkan ia mengambili limbah ke rumah yang ia kenal sebagai sahabat dan kerabat. Mas Win menyikapi sukses sahabat dan kerabat alihalih takdir nan elok.
Hidup selalu berwajah paradoks. Ada gelap dan terang. Maka, tontonlah bagaimana riuh orang kaya dengan agenda buang uang dan si miskin gaduh dengan perutnya yang sudah pukul 11:00, tapi kerja sudah dilakukan dan sarapan tak mampu ia santap.
***
“Masih sempat bersajak, Mas?”
“Mana sempat? Raga serasa remuk tiap pulang nguli. Mimpi pengin disentuh tangan halus berwajah ayu di panti pijat, tapi upah yang diterima gak mencukupi, hahahahaha!”
“Berdangdut ria dengan goyang dumang?”
“Pernah, tapi Chita Chitata, ternyata bohong. Katanya kalau dengan bergoyang dumang masalah jadi hilang .. Faktanya? Masalah gak hilang malah beranakpinak … Nyanyi maksudmu? Bersiul pun udah gak minat. Nafas makin megapmegap tiap angkutangkut nguli.”
(MasNakurat dan Mas Win, koor ngakak)
Mas Win Malukaya, yang paham hidup tak wajib maksa, ternyata lebih bijak dalam bersikap. Nyatanya: ia paham pula menikmati, kapan saat mengeluh dan tidak! Ia bangga punya slongkro: alat yang membantunya jadi kuli dengan status outsourching tanpa teken kontrak! Ia tak berminat korupsi, karena korupsi cuma dilakukan oleh mereka yang mengaku (masih) miskin harta!
* Pendidik dan peneliti pada Pusat Kajian Darindo