Sastra  

Bingung Awal Tahun: ’33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh’

Bagikan/Suka/Tweet:

Khrisna Pabichara Marewa*

Rasanya saya sedang memasuki pekarangan bingung. Gara-garanya, sebuah buku. Judulnya megah, 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Kalimat itu ditata dengan mengawinkan warna hitam dan merah: hitam pada 33 dan Indonesia, merah pada Tokoh Sastra dan Paling Berpengaruh.

Makna hitam pada Indonesia pasti bukan perwakilan nasib sastra Indonesia yang “rada suram”, sebagaimana dikeluhkan oleh Jamal D. Rahman saat peluncuran buku ini. Dan, saya juga tak hendak bertanya kepada Asia Salsabila, perancang sampul dan isi, perkara mengapa 33dan Indonesia harus hitam sementara Tokoh Sastra dan Paling Berpengaruh dimerahkan.

Paling alasannya agar menarik dan enak dipandang. Lagi
pula, bukan itu yang memicu kebingungan-kebingungan saya.
Paling. Inilah kata yang memancing agar bingung merojol dari benak saya. Secara holofrasis, kata paling tampak dominan dalam sekalimat judul itu. Artinya, kata ini sangat menentukan makna keseluruhan kalimat. Apalagi paling diikuti oleh kata megah, berpengaruh. Artinya, tokoh yang terpilih mestilah memiliki pengaruh” atau “ada pengaruhnya”.

Dengan demikian, paling berpengaruh dapat dimaknai sebagai “yang paling memiliki pengaruh” atau “yang terkuat pengaruhnya”. Tentu ada alasan mengapa dan bagaimana seseorang dipilih menjadi yang paling. Ini bukan tabiat sambalewa—tindak kurang hati-hati atau sembrono—karena harus melewati fase tidak berpengaruh, agak berpengaruh, berpengaruh, dan sangat berpengaruh.

Kebingungan saya sedikit menguap tatkala mengeja nama-nama para pemilih. Tilik saja, pada halaman iv tersebut nama-nama beken—Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Jamal D. Rahman, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis—yang, boleh jadi, sebagian di antara mereka tak kalah mentereng dengan 33 Tokoh Sastra yang mereka pilih. Tentu saja, tak kalah mentereng tidak berarti lebih atau paling berpengaruh. Kalaupun ada nama yang asing bagi saya, di antara Tim 8, hanya Berthold Damshauser.

Tak dinyana, kebingungan itu merojol lagi. Kali ini terjadi ketika saya membuka halaman v-viii yang memuat Daftar Isi. Halaman ini memajang siapa saja tokoh yang paling berpengaruh bagi sastra Indonesia dan siapa yang memilihnya. Tetapi, saya tidak berlama-lama di halaman daftar isi. Saya penasaran ingin segera mengetahui bagaimana seorang tokoh dapat dipilih.

Dan, saya sangat tertarik pada bagian pengantar: Setelah
kemerdekaan, saat kehidupan bernegara goyah dan nyaris hilang arah, kembali para sastrawan bersuara lewat karya mereka hingga di antara mereka harus masuk penjara. Dan sastra tetap ditulis, disingkirkan maupun dibaca. Para sastrawan tetap bersikeras menjaga nurani bangsa, meski sebagian besar sastrawan kini disingkirkan terutama oleh pasar dan industri ke ruang-ruang sunyi. [hlm. xviii-xix]