
Dari rangkaian kalimat di atas saja saya sudah merasa ditohok: Didasarkan pada kegelisahan atas makin terpinggirkannya posisi dan peranan sastra yang sama sekali tidak patut bagi bangsa yang hendak beradab, maka kami 8 orang yang terdiri dari sastrawan, kritikus, akademisi, dan pengamat sastra—karena itu disebut Tim 8—mengambil prakarsa untuk memilih 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. [hlm. xix-xx].Akibat penyingkiran tentulah tersingkirkan.
Di sini pula kebingungan saya bertambah-tambah. Inilah
latar pertimbangan Tim 8 dalam memilih 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.Pertimbangan awal, karya dan/atau pemikiran sang tokoh. Rumusan pertanyaan meliputi: (1) seberapa penting karya dan/atau pemikirannya; (2) karya dan/atau pemikirannya memberikan inspirasi bagi sastrawan berikutnya; (3) karya dan/atau pemikirannya berdampak luas, berskala nasional, sehingga melahirkan semacam gerakan, baik yang berkaitan dengan sastra maupun dengan kehidupan sosial budaya yang lebih luas; (4) karya dan/atau pemikirannya
membuka jalan bagi munculnya tema, gaya, pengucapan baru yang jejaknya dapat dikembalikan pada tokoh tersebut; (5) karya dan/atau pemikirannya menjadi semacam monumen; dan (6) karya dan/atau pemikirannya menjadi semacam pemicu lahirnya pemikiran tentang kebudayaan, kemasyarakatan, bahkan kebangsaan.
Lalu, pertimbangan berikutnya adalah kiprah dan kegiatan sang tokoh. Rumusan pertanyaan yang melatari pertimbangan ini mencakup: (1) seberapa penting kiprah dan kegiatannya; (2) kiprah dan kegiatannya berdampak luas, sehingga memengaruhi perkembangan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia; (3) kiprah dan kegiatannya melahirkan semacam gerakan yang sama atau berbeda; dan (4) kiprah dan peranannya mendapat dukungan luas sehingga membentuk semacam aliran atau komunitas atau, sebaliknya, menciptakan semacam perlawanan yang cukup besar? Dan, pertimbangan ketiga adalah sejauh mana pengaruh sang tokoh khususnya bagi kehidupan sastra dan umumnya bagi kehidupan sosial, budaya, dan politik di
tanah air.
Berangkat dari latar pemikiran dan rumusan pertanyaan di atas, sebagaimana tertera di halaman xxiii-xxiv, Tim 8 membongkar dokumen-dokumen, menelusuri jejak kesusastraan Indonesia, dan melacak rekam jejak tokoh-tokoh sastra. Tentu bukan pekerjaan mudah. Pelik. Dan, saya membayangkan akan bertambah pelik tatkala Tim 8 duduk semeja memperdebatkan mengapa Si A memilih Si B, kenapa tokoh A dinilai lebih berpengaruh dibanding tokoh B, dan silang-sengkarut lain yang berkepanjangan. Saya juga membayangkan terjadi kebuntuan. Si A berkeras menyebut tokoh B tidak lebih berpengaruh dan Si B menandaskan yang sebaliknya. Boleh jadi ada pemungutan suara, meskipun saya tak dapat menduga-duga bagaimana sebuah tim dengan angka genap mencari selisih suara.
Hasil dari kerja keras Tim 8 itu kemudian dibukukan dan, kelak, akan tiba pada generasi kesekian setelah Tim 8. Dapat direka-reka adegan perdebatan sengit generasi kesekian itu ihwal siapa tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh, dan mereka jadikan buku setebal 768 halaman ini sebagai salah satu rujukan. Bayangkan mereka adu-lidah dengan alasan “dulu Pak Acep memilih Sapardi”, atau “aneh juga kenapa Pak Ahmad Gaus lebih memilih Denny JA dibanding Wiji Thukul”, atau “Pak Maman enak, beliau memilih tokoh-tokoh yang sudah wafat”, atau kalimat lain yang menunjukkan bahwa buku ini, pada suatu ketika, bisa jadi acuan perkembangan kesusastraan Indonesia.
Beranjak dari latar pikir dan rumusan pertanyaan di atas, Tim 8 menyusun kriteria-kriteria untuk memilih tokoh sastra yang paling berpengaruh. Saya tidak bingung soal mengapa 33 jadi pilihan jumlah, bukan 1, 10, atau 100. Saya juga tidak bingung kenapa pada bagian akhir Mencari Tokoh bagi Sastra ada kilah pembela diri. Wajar saja. Kami menyadari, bukan tak mungkin akan muncul sejumlah kritik, keberatan, dan bahkan penolakan terhadap pilihan kami.