Sastra  

Bingung Awal Tahun: ’33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh’

Bagikan/Suka/Tweet:

Tiap anggota tim memilih tokoh dan, pada dasarnya, bertanggung jawab atas pilihannya. Hal ini termaktub pada halaman xxix. Dengan demikian, Maman S. Mahayana berada di pekarangan paling aman dari polemik, meskipun tak berarti bersih dari kemungkinan perdebatan. Tokoh-tokoh pilihan pengamat dan kritikus sastra dari UI ini adalah tokoh-tokoh yang akrab di telinga, reputasi dan kiprah yang memenuhi latar pikir, rumusan pertanyaan dan kriteria tim. Tidak demikian halnya dengan Ahmad Gaus yang memilih tokoh yang sudah tiada dan yang masih hidup. Yang membingungkan saya, sekadar menyebut contoh, bagaimana cara menyejajarkan Charil Anwar dengan Denny JA.

Berbicara soal kiprah dan pengaruh, Chairil jelas berkesinambungan (tanpa diawali kata relatif), bahkan masih terasa hingga sekarang. Menyejajarkan Chairil dengan Denny JA—yang baru muncul satu-dua tahun belakangan ini—bagi saya, adalah tindakan sembrono, asal-asalan. Bahkan, sambalewa.

Belum lagi kalau kita mau melongok ke luar dari 33 tokoh terpilih: Sebagaimana dapat diduga, diskusi memilih 33 tokoh sastra berjalan dengan penuh perdebatan, dinamika dan persilangan argumentasi, sehingga beberapa tokoh sastra terpilih secara mulus nyaris tanpa diskusi, sebagian yang lain terpilih setelah melewati diskusi yang cukup alot, dan sebagian yang lain lagi terpilih berdasarkan prinsip mayoritas setelah diskusi dan perdebatan seru. [hlm. xxvii]

Tim 8 menguraikan tokoh-tokoh mana saja yang masuk dalam daftar calon terpilih—dapat dilihat pada halaman 705-720— namun, uniknya, tidak membeberkan siapa saja yang terpilih secara mulus tanpa diskusi, tokoh mana yang harus diperdebatkan dan disilang-argumentasikan, dan siapa yang harus dipilih berdasarkan prinsip mayoritas. Tidak terbabar pula skor pemenuhan kriteria, semisal tokoh mana yang memenuhi empat kriteria dan siapa saja yang hanya memenuhi sekurang-kurangnya satu dari empat kriteria.

Mungkin ini “bagian dapur” Tim 8 yang mustahil dikabarkan pada masyarakat sastra Indonesia.

Telah saya nyatakan di atas bahwa Tim 8, entah disengaja entah tidak, telah melabrak dan menabrak sudut pandang, pertimbangan, dan kriteria yang disusun sendiri oleh mereka. Pencantuman Denny JA, misalnya. Saya bingung bagaimana bisa Tim 8 menaksir karya dan/atau pemikiran Denny JA memberikan inspirasi bagi sastrawan berikutnya hanya dalam rentang satu-dua tahun. Belum lagi bila ditambah dengan karya dan/atau pemikirannya berdampak luas, berskala nasional.

Janggal bila sembilan butir (hlm. 654-655) yang menjadi patokan atau titik tolak Tim 8, khususnya Ahmad Gaus, dalam memilih Denny JA. Mengapa janggal? Buku-buku atau tulisan-tulisan dalam sembilan butir, yang disuguhkan oleh Ahmad Gaus, itu menyertakan nama-nama yang “akrab” dengan Tim 8. Pada butir pertama tertera nama Ahmad Gaus, yang menganggit Kutunggu Kamu di Cisadane sekaligus mengusung Danny JA. Penerbitnya, Komodo Books. Yang bikin pengantar, Jamal D. Rahman. Pada butir kedua tertera nama penerbit yang juga “ramah” dengan Tim 8, Jurnal Sajak. Lebih aneh lagi, dari butir satu hingga delapan tercantum nama-nama seperti Ahmad Gaus, Agus R. Sarjono, Acep Zamzam Noor, Jamal D. Rahman, dan Nenden Lilis Aisyah.

Hanya butir kesembilan yang agak berbeda, diterbitkan oleh Renebook. Buku Imaji Cinta Halima, karya Novriantoni, diyakini Ahmad terpengaruh puisi-esai Denny JA. Dan, penulis yang murah senyum ini juga tergolong “lingkar dalam” Denny JA.

Jangan-jangan Denny JA hanya paling berpengaruh bagi Ahmad Gaus, yang memilihnya. Atau, lingkar Jurnal Sajak, yang menerbitkan buku-buku yang ditengarai terpengaruh oleh “aliran baru” yang dicetuskan oleh konsultan politik itu. Saya berharap tidak demikian. Sayangnya, fakta yang disuguhkan oleh Ahmad Gaus amat dangkal. Hal ini dapat dengan mudah menumbuhkan syak-wasangka, dan anggota Tim 8 yang lain bisa dengan mudah “cuci tangan” dan berkilah bahwa itu tanggung jawab pemilih.

Catatan kaki yang disajikan pun tak jauh berbeda. Masih berkutat pada nama-nama yang sama. Kalau bukan Agus R. Sarjono, ya, Jamal D. Rahman. Kalau bukan Jurnal Sajak, ya, Komodo Books. Salah satu, kalau bukan satu-satunya, catatan kaki yang terbit di luar itu adalah yang bernomor 10, perihal posisi puisi esai yang dimuat di Kompas pada 30 Desember 2012. Baru setahun lalu. Artinya, belum bisa dijamin akan tidak temporal atau tidak sezaman belaka. Setahun, di mana pun, bukanlah sezaman. Meski demikian, tulisan yang diuarkan di luar lingkar Jurnal Sajak tersebut ternyata ditulis oleh anggota Tim 8 juga, Maman S. Mahayana.

Tampaknya Ahmad Gaus ngos-ngosan mencari data untuk memperkuat alasan keterpilihan Denny. Atau, bisa jadi, memang hanya sebegitu data yang tersedia menyangkut pengaruh Denny terhadap sastra Indonesia. Dalam keadaan bingung, saya menangkapnya sebagai ketergesaan dan keterpaksaan.

Akan berbeda apabila kita—dengan sudut pandang, -pertimbangan, dan kriteria Tim 8—menilik kiprah dan pengaruh Y.B. Mangunwijaya, Seno Gumira Ajidarma, Wiji Thukul, Kuntowijoyo, atau nama-nama lain yang diterakan di bagian belakang buku. Pengaruh Wiji Thukul masih terasa sampai sekarang. Seno juga sama, banyak penulis dari generasi setelahnya yang mengikuti gayanya. Atau, Umbu Landu Paranggi yang disebut sekali (hlm. 718).

Jangan lupa ada nama Sitok Srengenge (hlm. 718). Entah siapa di antara Tim 8 yang menyebut atau mengusulkan nama pesyair dengan kumpulan puisi Persetubuhan Liar itu. Dan, untung saja, tidak terpilih.

Di sinilah mengapa sehingga pada awal tulisan ini saya menyatakan bahwa bisa saja, dengan sengaja atau tidak, Tim 8 telah meminggirkan tokoh yang sebenarnya layak dipilih sebagai yang paling berpengaruh. Tahkik yang disuguhkan Ahmad Gaus malah melemahkan keberpengaruhan Denny JA, alih-alih menguatkannya.

Sebaiknya, supaya lebih benderang, Tim 8 menyusun buku 33 Alasan Mengapa Denny JA Terpilih sebagai Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Nah, kalau buku ini diluncurkan, barulah tepat konferensi pers hanya dihadiri oleh satu tokoh.

Sampai tulisan ini rampung, saya masih bingung bagaimana buku yang, mestinya, bagus dan layak-acu ini jadi terkesan serampangan. Hanya saja, saya tidak menganggap riset tandingan sebagai sesuatu yang penting untuk dilakukan, apalagi bila hanya gara-gara tantangan salah seorang tokoh paling berpengaruh yang merasa kebakaran jenggot—lantaran kiprahnya disorot banyak pihak. Kalaupun kemudian lahir buku serupa, lebih karena keinginan menyuguhkan buku berbeda.

Saya bayangkan, buku itu dijuduli 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling [Tidak] Berpengaruh, agar saya bisa keluar dari pekarangan bingung. []

*Cerpenis dan penulis biografi