Kecam Intimidasi Jurnalis, AJI Jakarta Minta Metro TV Instropeksi

Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM, JAKARTA — Aksi Damai 212 di Monas, Jakarta, pada 12 Desember 2016 ternyata tidak sepenuhnya damai. Aksi itu sedikit ternoda ketika usai aksi beberapa peserta aksi melakukan intimidasi terhadap para jurnalis Metro TV, di halaman Masjid Istiqlal dan di depan Gedung Sapta Pesona, Jalan Medan Merdeka Barat Gambir Jakarta.

Intimidasi itu diduga terkait dengan dugaan Metro TV yang dalam beberapa beritanya dinilai publik tidak berimbang.

Terhadap intidasi itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam para peserta aksi yang melakukan intimidasi. Di sisi lain, AJI juga meminta Metro TV untuk melakukan instrospeksi karena selama Metro TV sudah memakai frekuensi publik tetapi stasiun televisi itu masih sering menyiarkan berita bukan untuk publik.

Menurut AJI Jakarta, intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang menjalankan tugas peliputan tidak bisa dibenarkan dengan dalih apapun karena jurnalis bekerja dilindungi Undang-Undang Pers.

“Karena itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam keras intimidasi dan kekerasan yang diduga dilakukan oleh sejumlah peserta aksi 2 Desember 2016 (dikenal aksi 212) pada Jumat kemarin,” kata Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasim, dalam rilis, Sabtu (3/12/2016).

“Televisi secara kelembagaan juga kami imbau untuk tetap profesional, berpegang teguh pada kode etik jurnalistik, dan independen menyiarkan berita. Selain jurnalis di lapangan perlu waspada saat liputan, media televisi kami himbau juga memperhatikan keamanan dan keselamatan jurnalis di lapangan yang sedang meliput unjuk rasa yang berpotensi konflik. Televisi jangan hanya mau beritanya, tapi tidak mau memperhatikan keselamatan jurnalisnya yang mencari berita,” imbuh Nurhasim.

Dari keterangan yang dihimpun AJI Jakarta, jurnalis Metro TV yang diintimidasi oleh peserta demo 212 adalah Shinta Novita (juru kamera) dan Aftian Siswoyo ( reporter ) di halaman Masjid Istiqlal dan Rifai Pamone (reporter) di depan Gedung Sapta Pesona.

Intimidasi terhadap Shinta dan Aftian terjadi sekitar pukul 15.00 saat akan mempersiapkan siaran langsung dari depan Istiqlal pasca bubasnya aksi 212 di Monumen Nasional. Aftian sudah mengenakan seragam dan bersiap di depan kamera cek komposisi.

Melihat itu dari pinggir pagar ada satu orang yang menghujat Metro TV dan teriakannya cukup memancing beberapa orang untuk ikut menghujat kedua jurnalis. Tak selang beberapa lama massa pun berkumpul mengepung keduanya. Rain cover kamera Metro TV pun dikibas oleh mereka sehingga menutupi lensa kamera beberapa kali.

Mereka memegang bagian depan kamera dan ditutupi pakai tangan. Demonstran juga menghujat Aftian dengan kata-kata yang tak pantas. Melihat keadaan yang tidak kondusif, aparat keamanan mengevakuasi kedua jurnalis untuk menjauh dari lokasi. Sejumlah orang berupaya mengejar keduanya. Saat dievakuasi ada yang memukul leher belakang Aftianyang membuatnya sempoyongan.

Serangan serupa juga menimpa Rifai Pamone (reporter Metro TV) di depan Gedung Sapta Pesona antara pukul 8-9 pagi saat siaran langsung untuk program Breaking News. Selain Metro TV dihujat oleh demonstran, badan Rifai juga didorong dan disiram pakai air oleh massa. Tangannya ditarik, kakinya ditendang, dan sejumlah orang mengerumuninya.

Kekerasan itu terjadi setelah massa mencoba mengusirnya dari lokasi liputan tersebut. Tapi Rifai tidak mungkin menghentikan siaran langsung tersebut. Bagi Rifai, ini kasus kekerasan kedua yag menimpanya dalam sebulan terakhir. Saat meliput unjuk rasa pada 4 November lalu, dia juga menjadi sasaran kekerasan saat sedang live di Masjid Istiqlal. Saa itu dia dikejar, ditendang, dan diludahi oleh demonstran.

Selain di Jakarta, kamerawan RCTI Wara juga diintimidasi oleh anggota Brigade Mobil yang menjaga gerbang Markas Komando Brimob Depok, Jumat malam pukul 21.00. Dia mau meliput penangkapan aktivis tersangka perencanaan makar di sana. Polisi sempat menarik dan mengambil kamera yang menyorot mereka. Walau kamera sudah dikembalikan, tindakan polisi tersebut tidak bisa dibenarkan.

Nurhasim mengatakan, fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa kebebasan pers diancam oleh kelompok masyarakat dan anggota kepolisian yang tidak senang terhadap media dan liputan media.

Menurut Nurhasim, ancaman ini tidak bisa dibiarkan dan didiamkan. Dalam negara demokrasi, jurnalis dilindungi oleh UU Pers saat bekerja, mulai mencari bahan berita, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan informasi yang didapat kepada publik.

“Bila jurnalis diintimidasi dan dihalang-halangi saat liputan, hak masyarakat untuk memperoleh berita yang benar dan akurat terhambat. Bila ada masalah dengan pemberitaan disediakan ruang beradab berupa hak jawab, koreksi, dan pengaduan ke Dewan Pers,” kata Nurhasim.

AJI Jakarta mengimbau Metro TV yang menggunakan frekuensi publik, untuk tetap memproduksi siaran berita yang independen, berimbang, akurat, dan berpegang teguh kepada kode etik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) Komisi Penyiaran Indonesia.

Selain itu, AJI Jakarta juga semua pemimpin redaksi dan petinggi media untuk memperhatikan keselamatan dan keamanan jurnalisnya di lapangan yang meliput unjuk rasa atau liputan di daerah yang berpotensi konflik. Para reporter dan juru kamera adalah garda terdepan dalam proses produksi berita. Keamanan dan keselamatan mereka harus diutamakan.

AJI Jakarta meminta manajemen media harus bertanggungjawab terhadap keselamatan dan keamanan jurnalisnya yang sedang bertugas.

“Kami mendesak Dewan Pers dan KPI untuk lebih ketat mengawasi dan menegur stasiun televisi yang beritanya dinilai menabrak kode etik dan pedoman penyiaran,” kata Nurhasim.