Opini  

Kekeringan dan Ketahanan Air, Saatnya Berbenah!

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Muhammad Hakiem Sedo Putra*

Musim kemarau mulai terasa di berbagai wilayah Indonesia. Langit biru bersih tanpa awan mungkin terlihat indah bagi sebagian orang, tetapi bagi petani, warga desa, dan pengelola air, ini adalah pertanda awal datangnya kekhawatiran. Kekeringan bukan sekadar berkurangnya curah hujan, tetapi ancaman nyata bagi ketahanan pangan, kesehatan, dan bahkan stabilitas sosial-ekonomi di daerah yang rentan.

Indonesia dikenal sebagai negara tropis dengan curah hujan tinggi, tetapi mengapa kita masih kesulitan saat musim kemarau datang? Mengapa sungai-sungai mengering, sumur tidak mengeluarkan air, dan masyarakat harus antre air bersih? Jawabannya ada pada cara kita memperlakukan air: tidak efisien, tidak adil, dan sering kali abai terhadap prinsip keberlanjutan.

Salah satu akar persoalan terletak pada minimnya infrastruktur penampungan air. Air hujan yang turun deras di musim penghujan sebagian besar langsung mengalir ke sungai dan kemudian ke laut.

Wilayah urban pun semakin kedap air karena dominasi beton dan aspal.

Kawasan hijau yang berfungsi sebagai area resapan terus berkurang karena alih fungsi lahan menjadi perumahan, pusat perbelanjaan, atau kawasan industri. Kita kekurangan embung, kolam retensi, dan sumur resapan yang seharusnya menjadi penampung air alami.

Di desa-desa, terutama wilayah kering, banyak warga belum memiliki sistem pemanenan air hujan yang layak. Padahal, teknologi sederhana seperti talang air yang diarahkan ke bak penampung bisa menjadi penyelamat di saat sumur mengering. Di beberapa tempat, budaya menabung air belum menjadi kebiasaan, dan ini memperparah krisis saat musim kemarau panjang terjadi.

Di sisi lain, perilaku konsumtif terhadap air juga menjadi tantangan. Kita cenderung menggunakan air secara boros tanpa menyadari bahwa air adalah sumber daya terbatas. Kebiasaan membiarkan keran terbuka saat menyikat gigi, menggunakan air bersih untuk menyiram halaman secara berlebihan, atau mencuci kendaraan dengan air bertekanan tinggi adalah contoh kecil yang jika dikalikan jutaan orang, menghasilkan pemborosan luar biasa.

Masalah ini juga diperparah oleh lemahnya koordinasi lintas sektor dalam pengelolaan air. Urusan air bersih, irigasi, sanitasi, dan konservasi masih ditangani oleh instansi yang berjalan sendiri-sendiri, sering tumpang tindih, atau malah saling lempar tanggung jawab.

Dalam situasi seperti ini, integrasi kebijakan dan perencanaan menjadi kunci. Indonesia sudah memiliki Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air (RPSDA) di berbagai wilayah sungai, tetapi implementasinya sering belum optimal.

Kita juga perlu mengubah paradigma dari “penyediaan air” menjadi “ketahanan air”. Artinya, bukan hanya memastikan air tersedia saat dibutuhkan, tetapi juga menjamin bahwa sumber air tetap terjaga secara jangka panjang, adil, dan aman.

Ketahanan air tidak hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga kesiapan masyarakat, kearifan lokal, edukasi publik, serta kelembagaan yang tangguh.
Berbicara tentang solusi, pendekatan berbasis alam (nature-based solutions) menjadi alternatif yang semakin relevan.

Alih-alih membangun bendungan besar yang mahal dan memakan waktu, kita bisa mengembangkan hutan hujan sebagai area tangkapan air, memperluas kawasan mangrove yang menahan intrusi air laut, dan merestorasi rawa atau danau kecil yang telah rusak. Alam telah menyediakan sistem pengatur air paling efektif selama ribuan tahun—kita hanya perlu menjaga dan memanfaatkannya dengan bijak.

Pemerintah tentu memegang peran strategis. Perlu adanya kebijakan yang berpihak pada konservasi air, mulai dari revisi tata ruang yang berpihak pada kawasan resapan, insentif bagi masyarakat yang melakukan pemanenan air hujan, hingga penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan air. Pemerintah desa, misalnya, bisa mendorong pemanfaatan Dana Desa untuk pembangunan sumur resapan atau sistem irigasi tetes yang hemat air.

Namun, tanggung jawab ini tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah. Sektor swasta, akademisi, media, dan masyarakat sipil juga memiliki peran vital. Industri perlu memperbaiki jejak airnya (water footprint) dan tidak hanya mengejar sertifikasi lingkungan di atas kertas. Kampus-kampus teknik dan lingkungan bisa mengembangkan inovasi pemanfaatan air alternatif seperti air daur ulang, grey water, dan teknologi ultrafiltrasi. Media bisa menjadi jembatan informasi dan edukasi yang menggugah kesadaran publik.

Bagi masyarakat, kini saatnya membangun budaya hemat air. Mulailah dari rumah—gunakan air seperlunya, manfaatkan air hujan, dan jangan buang air limbah begitu saja. Di komunitas, bisa dibentuk kelompok sadar air yang mengawasi sumur bor ilegal atau menciptakan sistem distribusi air darurat saat krisis. Masyarakat yang aktif dan sadar lingkungan terbukti mampu menjaga sumber air lebih baik daripada intervensi eksternal yang tidak berkelanjutan.

Bencana kekeringan memang tidak bisa dihindari, tetapi dampaknya bisa dikurangi jika kita siap. Ketahanan air adalah bagian dari ketahanan nasional. Negara yang gagal mengelola air akan menghadapi tantangan lebih besar di masa depan—dari gagal panen, konflik horizontal, hingga migrasi lingkungan. Maka, membangun ketahanan air bukan hanya untuk hari ini, tetapi demi generasi berikutnya.

Air adalah kehidupan. Saat air menjadi langka, maka yang terancam bukan hanya tubuh manusia, tetapi juga struktur sosial dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan alam. Kini saatnya kita introspeksi, berbenah, dan menjadikan kekeringan sebagai panggilan untuk berubah.***

*Muhammad Hakiem Sedo Putra, S.T., M.T., adalah dosen di Program Studi Rekayasa Tata Kelola Air Terpadu, Institut Teknologi Sumatera (ITERA).
Ahli dalam bidang hidroogi Forensik dan Sumberdaya Air. Aktif dalam riset pengelolaan sumber daya air, konservasi lingkungan, serta edukasi kebencanaan di masyarakat.