Opini  

Kekuasaan Tanpa Kuasa

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Budi Hutasuhut*

KISAH yang akan Panjenengan baca ini dongengan belaka. Tapi, terhadap sebuah wacana yang ditulis dengan seperangkat tanda dan kode bahasa, Panjenengan tidak boleh luput untuk menangkap makna-makna yang acap digelapkan lewat pilihan diksi yang metaforik. Tentunya Panjenengan paham betul bahwa metafora adalah alat dalam laku berbahasa, seperti pacul pada seorang petani, sehingga bila saya  menyebut kisah ini dongeng belaka, Panjenengan segera berpikir keras menangkap maksud pemakaian diksi itu.

Pengantar serupa itu sering dipakai para penulis fiksi dalam rangka menyeret pembaca agar tanpa sadar terlibat di dalam kisah itu. Begitu pula niat awal saya, supaya Panjenengan tidak merasa berjarak betul dengan Negeri Sakti yang akan saya ceritakan. Negeri ini berada di entah, dekat dengan entah, tapi jauh dari entah. Panjenengan sadar betul bahwa segala sesuatu di negeri ini  bukanlah sekadar entah, tapi sekaligus juga entah.

Jadi, begitulah, Negeri Sakti yang entah ini, sebuah negeri yang baru saja menggelar pilkada serentak untuk memilih pemimpin, akhirnya berhasil memilih seorang gadis sebagai pemimpin. Zaman memang berubah. Warga Negeri Sakti tak lagi berpikir dikotomis, laki-laki dan perempuan. Mereka juga tidak mempersoalkan identitas, termasuk perkara kelamin manusia yang  sangat ribet itu: penuh tonjolan, cekungan, dan jurang yang dalam. Warga Negeri Sakti melihat manusia sebagai manusia, hamba dengan nilai yang sama di mata Yang Maha Kuasa.

Laki-laki maupun perempuan, punya derajat yang sama. Mestinya memang begitu. Tapi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebuah negeri yang selalu tak pernah ada dalam daftar Negara yang harus dikunjungi warga Negara Sakti, warganya malah bias gender. Perempuan, sebagaimana ditulis Presiden Soekarno—itulah presiden NKRI yang paling diingat warga Negara Sakti – dalam bukunya Sarinah, selalu berada di bawah bayang-bayang laki-laki. Sebab itu, tak perlu bagi warga Negara Sakti belajar dari warga NKRI.

Kembali kepada pemimpin baru di Negara Sakti, seorang gadis yang cantik jelita, dan kita kasih nama pemimpin itu Dewi Sartika. Nama itu tak ada kaitannya dengan persoalan kultural, maka jangan dipahami bahwa gadis itu orang bersuku Jawa. Sebagai tukang cerita yang berasal dari suku Batak, tak mungkinlah aku kasih namanya Butet. Selain kurang universal, kentara betul kalau semua ini hanya dongeng belaka.

Pahami saja nama Dewi Sartika itu sebagai logos, sebagai tanda. Yang penting kita tahu bahwa dia seorang pemimpin.  Harus digaris bawahi bahwa Dewi Sartika seorang pemimpin.

Pemimpin itu pemegang kekuasaan. Tiap pemimpin punya gaya yang berbeda dalam mengelola kekuasaan di tangannya.  Ada pemimpin yang gemar marah-marah seperti Basuki Tjahaya Purnama, Gubernur DKI Jakarta, ibu kota NKRI. Orang yang dipanggil Ahok itu tidak marah sembarangan, tidak marah subyektif, tidak marah hanya untuk menunjukkan bahwa dia pemimpimpin. Ahok marah karena alasan-alasan tertentu, misalnya, terlalu banyak korupsi di DKI Jakarta dan terlalu kuat status quo membentengi dirinya.

Ada juga pemimpin yang tak mau marah. Kalem dan sepertinya tidak pernah belajar marah.  Pemimpin seperti itu sangat banyak. Namun, apabila sudah marah – sering terjadi karena dipaksa oleh kondisi – pemimpin itu tidak segan-segan memakai gergaji angin. Panjenengan tahu angin? Sejuk dan membuat nyaman. Tapi bila tiba saatnya untuk marah, angin akan jadi badai.

Negeri Jepang pernah dihantam badai angin, topan kita bilang. Badai yang berpusat di tengah laut, menggulung arus laut, mendorong kea rah kota, dan memporak-porandakan banyak harta benda. Di Banda Aceh, angin juga pernah menggergaji, membuat apa saja terbelah.

Dewi Sartika termasuk pemimpin yang tak pernah marah itu. Itulah enaknya punya pemimpin seorang perempuan. Kalau pun ia marah, maka kemarahan itu tidak subyektif. Kemarahan itu objektif. Secara psikologis perempuan dilahirkan bukan sebagai mahluk yang emosional, tapi mahluk yang mengandalkan akal. Dengan akal itu, pemimpin perempuan akan membuat segala sesuatu menjadi logis.

Mestinya begitu, tapi belakangan warga Negeri Sakti merasa ada yang tidak logis di Negara mereka. Tidak logis karena pemimpin baru yang berkuasa itu, yang memiliki kekuasaan itu, terkesan bagai tak punya kuasa.  Sebab memang, kekuasaan itu belum bekerja, belum bisa sepenuhnya bekerja karena terkekang oleh aturan-aturan yang sudah disepakati sejak Negara Sakti berdiri. Kekuasaan itu baru bisa bekerja enam bulan setelah dilantik, sehingga selama enam bulan kekuasaan itu relative hanya menjadi semacam ombudsman. Sekali-sekali memang keluarga kebijakan, tapi masih dalam batas peraturan. Menariknya, kebijakan yang dibuat itu justru bagai menentang status quo yang ada, sehingga membuat gerah banyak kalangan yang selama ini sangat berpihak pada status quo.

Para pejabatan di Negara Sakti, yang pro-status quo, merasa mulai terganggu dengan kebijakan yang baru sedikit itu. Terbayang oleh mereka akan seperti apa jadinya seandainya kebijakan itu lebih banyak. Maka, pasti, satu per satu kaki status quo mereka akan dipreteli.

Tidak bisa tidak, mereka harus membangun benteng. Mereka harus membangun strategi di dalam benteng.  Kegelisahan mereka ditangkap oleh wakil pemimpin itu. Si Wakil—yang kebetulan laki-laki—terlalu terpengaruh pada tradisi kepemimpinan yang ada di NKRI, negara tetangga yang tak terlalu memberi tempat kepada perempuan.

Maklumlah, wakil dari Dewi Sartika itu lama merantau di NKRI sekian lama, menjadi mahasiswa di sana dan dengan sendirinya mengenyam tradisi intelektual di NKRI yang post-kolonialisme. Si wakil itu, seperti pernah ditulis Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggirnya, merasa bahwa dirinya hanya akan penting belakangan apabila pemimpin sudah tidak ada.

Maka, sebagai manusia yang ingin eksistensinya punya power—apalagi dia menjadi pemimpin di tanah kelahirannya sendiri – si Wakil berusaha mengabaikan keberadaan pemimpinnya dengan menggalang gerakan bawah tanah. Gerakan politik berkelas local itu ditandai dengan mengirim tikus untuk menggerogoti kaki-kaki kursi dan meja si pemimpin dengan berbagai cara. Para pejabat yang gerah merasa satu gagasan, lalu bergabung. Berkali-kali mereka menggelar pertemuan gelap—kebetulan juga karena listrik selalu padam.

Strategi yang dipakai sangat medioker. Si Wakil menggagas cara melemahkan pemimpin dengan menggembosinya.  Berangkat dari hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan orang banyak, rombongan para penggembos ini mulai mengkomunikasi pesan yang berangkat dari teori “belah bamboo”. Teori itu biasa dipakai para politisi di negara tetangga, menciptakan satu kondisi yang membuat siapa saja merasa tidak nyaman, dan harus mulai berpikir untuk mencari sandaran yang tepat.

Sementara si pemimpin, Dewi Sartika, tak terlalu pusing. Ia sengaja membiarkan situasi agar setiap orang merasa bahwa kekuasaannbya tak punya kuasa. Ia paham betul bagaiman membangun strategi itu, membuat dirinya seakan-akan minimalis—efek kekuasaannya terlihat sangat kecil– padahal sesungguhnya dia punya daya—bahkan adidaya—untuk memecahkan ragam persoalan yang dihadapi masyarakat. Dia tak takut pada tekanan apapun: sosial, politik, ekonomi, hukum. Dia juga tidak memberi tempat kepada siapapun untuk bertarung kepentingan di dalam tubuh pemerintah yang dipimpinnya.

Tentu saja dia tidak subyektif soal itu. Sewi Sartika seorang yang berpendidikan, punya pengalaman politik yang luar biasa. Dia tahu bahwa ”kekuasaan”, seperti ditulis  Boulding (1989), adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, untuk mencapai sebuah tujuan, atau singkatnya kemampuan melakukan perubahan. Dia paham bahwa kekuasaan adalah kemampuan merealisasikan apa yang dijanjikan atau mencapai sebuah tujuan bersama melalui jalan perubahan.

Dia juga terbiasa menghatam buku-buku Foucault, yang menyebut kekuasaan sebagai kemampuan untuk mengawasi, mengoreksi, mengendalikan, mendisiplinkan, dan menciptakan kepatuhan.

Kekuasaan di dalam rezim Dewi Sartika bukan tak berfungsinya kekuasaan, tapi diciptakan seakan-akan tak berfungsi.  Dengan begitu, Dewi Sartika ingin memastikan apakah aparatus negara sudah berfungsi sesuai bidang dan kapasitasnya. Ternyata, beberapa aparatus di Negara Sakti tampak tak mampu menjalankan fungsi memodelkan dan mengarahkan tindakan atau menahan dan mencegah aneka tekanan, gejolak, dan krisis. Ketimbang menjalankan fungsinya secara profesional di bidang masing-masing, yang amat kentara dari apparatus adalah kecenderungan setengah hati karena ragu akan pengetahuan sendiri tentang siapa sesungguhnya yang jdi pemimpin di Negara Sakti. Mereka selalu bertanya, apakah Dewi Sartika atau wakilnya.

Bagi Dewi Sartika, sikap apparatus Negara itu sebuah kebodohan. Sikap itu bagian dari penilaiannya.  Padahal, seandainya para aparatus Negara itu mengerti, seharusnya mereka tahu bahwa Dewi Sartika bukan tipe pemimpin dengan karakter otoriter. Dia punya langgam dan kultur kekuasaan sendiri dengan nilai-nilai yang jelas. Dia punya karisma, ketegasan, kekuatan batin, kecerdasan, pesona diri, atau kecakapan. Dengan semua itu dia bisa menciptakan disiplin dan kepatuhan bukan atas dasar ketakutan.

Tapi, begitulah, kisah yang hanya dongengan belaka ini, bisa diketahui ujungnya. Bagi Dewi Sartika adalah happy ending, tapi bagi apparatus Negara akan menjadi sad ending. Mereka yang bergolak, yang mencoba membangun gerakan anti-pemimpin, akhirnya paham bahwa pemimpin sesungguhnya di Negara Sakti adalah Dewi Sartika. Jika Dewi Sartika tidak pernah menonjol-nonjolkan dirinya sebagai pemimpin, hal itu dilakukannya karena memang tidak perlu menonjol-nonjolkan diri. Tanpa semua itu—juga tanpa perlu heboh soal meningkatkan citra diri – Dewi Sartika tetap pemimpin di Negara Sakti. Tanpa iklan di media massa, tanpa perlu mengintervensi laku para apparatus Negara, Dewi Sartika tetap diakui sebagai pemimpin.

Di akhir dongeng ini, si Wakil—orang yang terlalu berhasrat ingin jadi pemimpin dalam waktu singkat – akhirnya sadar bahwa dirinya harus belajar banyak tentang demokrasi.  Dia menjadi tahu, bahwa demokrasi bukan sekadar urusan partai politik, bukan pula urusan berteriak-teriak kemana-mana dan menyebut diri sebagai pemimpin.

 *Seorang nadliyin