Opini  

Kelompok Minoritas dan HAM di Lampung

Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Syarief Makhya

Lampung dikenal sebagai masyarakat multikultur, yaitu masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, bahasa, dan agama yang hidup berdampingan secara harmonis. Keanekaragaman ini mencakup berbagai suku, seperti suku Lampung, Jawa, Minangkabau, Bali, dan lainnya, yang masing-masing membawa kebudayaan dan tradisi yang berbeda.

Secara sosiologis, hubungan interaksi sosial relatif terjaga dengan baik selama puluhan tahun kendati pernah terjadi konflik antar etnis, namun konflik tersebut dapat diselesaikan dan tidak berlanjut menimbulkan perpecahan baru. Namun, seiring dengan perkembangan dinamika sosial-politik dan perubahan sosial yang begitu cepat, muncul hubungan sosial yang tidak hanya berkaitan dengan interaksi antar kelompok etnis atau agama, tetapi juga melibatkan persaingan dan perebutan sumber daya. Hal ini dapat memunculkan ketegangan dan konflik baru dalam masyarakat.

Selain itu, faktor lain seperti demokrasi (kebebasan), tuntutan hak asasi manusia (HAM), tuntutan hak-hak minoritas, dan persoalan ketimpangan (inequality) juga menjadi isu yang semakin mendalam dan kompleks, yang dapat memperburuk keadaan sosial dan memicu konflik lebih lanjut.

Salah satu isu yang dibahas dalam tulisan ini yaitu ada tiga persoalan yang terkait dengan isu HAM di Lampung yaitu hak minoritas masyarakat yaitu penduduk Bali, penduduk asli Lampung dan hak beragama pemeluk non Islam. Tiga persoalan terkait dengan isu HAM di Lampung tersebut mencakup berbagai persoalan sosial, kultural, dan politik yang memengaruhi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.

Pertama, hak minoritas masyarakat Bali, masyarakat Bali yang bermigrasi ke Lampung pada abad ke-20, adalah kelompok yang dikategorikan minoritas dari aspek etnis dan agama. Salah satu persoalan yang yang dirasakan masyarakat non Bali yang sampai sekarang belum bisa diterima yaitu orang yang terbiasa melakukan perternakan babi.

Bagi masyarakat Bali babi merupakan salah-satu hewan yang digunakan untuk upacara adat serta sebagai mata pencarian masyarakat desa terkhususnya masyarakat yang menganut kepercayaan agama Hindu.
Selain masalah peternakan babi, masyarkat Bali juga sering menghadapi kesulitan dalam menjalankan ritual agama. Masyarakat Bali dikenal sebagai daerah yang mayoritas beragama Hindu, terkadang mengalami marginalisasi dalam hal pengakuan terhadap tempat ibadah, hak untuk mengembangkan budaya Bali, serta hak untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang setara dengan masyarakat lainnya.

Perbedaan tradisi, budaya dan agama seringkali memicu terjadinya konflik dan memperburuk hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat lainnya di Lampung.

Kedua, penduduk asli Lampung jumlahnya tahun diperkirakan ada sekitar 13-20 % dari 9,6 juta penduduk Lampung. Di beberapa tempat. Penduduk asli masih jauh tertinggal dibandingkan masyarakat pendatang (masyrakat transmigrasi). Saat Oemarsono menjadi Gubernur Lampung, sempat ada proyek kampung tuha, sebagai salah satu program pemerintah Provinsi Lampung untuk memberdayakan dan membebaskan masyarakat Lampung dari persoalan kemiskikan.

Kampung Tuha yang diluncurkan oleh Oemarsono bertujuan untuk memberikan perhatian khusus kepada masyarakat adat Lampung, terutama di daerah-daerah yang terisolasi, agar mereka bisa mengakses berbagai program pembangunan. Namun, seiring berjalannya waktu, masalah kesenjangan antara penduduk asli dan pendatang tetap masih belum diatasi secara efektif. Kesenjangan ini menjadi isu penting yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah provinsi maupun pusat. Penduduk asli Lampung, meskipun memiliki warisan budaya yang kaya, masih menghadapi hambatan dalam memperoleh akses terhadap layanan dasar, pendidikan, dan pekerjaan yang layak, yang menghambat potensi mereka untuk berkembang secara optimal.

Ketiga, isu hak beragama di Lampung masih menjadi persoalan terutama bagi kelompok minoritas yang menganut agama selain Islam, seperti Kristen, Hindu, dan Buddha. Pada tahun 2023, sebuah insiden terjadi di Kota Bandar Lampung, yaitu Gereja Kristen Kemah Daud di Kota Bandar Lampung dilarang melaksanakan ibadah di gereja mereka oleh Ketua RT dan warga setempat.

Ketiga persoalan tersebut menunjukkan ada persoalan terhadap pemenuhan hak asasi manusia di Lampung, baik untuk kelompok minoritas maupun untuk penduduk asli.

Pemenuhan Hak Asasi Manusia di Lampung

Prinsip dasar dalam melihat persoalan pemenuhan hak-hak kelompok minoritas dalam perspektif HAM dan multikulturalisme yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap keberagaman serta penghormatan terhadap hak asasi manusia yang setara, tanpa diskriminasi. Dalam konteks ini, pemenuhan hak kelompok minoritas tidak hanya mencakup hak sipil dan politik, tetapi juga hak ekonomi, sosial, dan budaya yang memungkinkan kelompok minoritas untuk mempertahankan identitas, adat istiadat, serta bahasa mereka, sekaligus berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi secara setara dengan kelompok mayoritas.

Di Lampung, dalam realitas sosial-politik dan interaksi sosialnya persoalan hak-hak minoritas sulit diwujudkan karena berbagai faktor struktural, sosial, dan budaya yang masih mendalam dalam masyarakat.

Pertama, adanya ketimpangan penguasaan sumber daya antara kelompok mayoritas dan minoritas sering kali menyebabkan kelompok mayoritas mendominasi kebijakan publik dan pengambilan keputusan, sehingga hak-hak minoritas terabaikan atau tidak diprioritaskan.

Selain itu, masih ada stigma negatif dan stereotip terhadap kelompok minoritas sering kali memicu diskriminasi, baik secara terbuka maupun terselubung, dalam kehidupan sehari-hari. Banyak masyarakat yang masih terjebak dalam pandangan sempit tentang identitas universal, yang memandang kelompok minoritas sebagai ancaman atau sebagai pihak yang harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai mayoritas

Untuk mengatasi persoalan tersebut, harus ada kebijakan inklusif yang menghargai perbedaan budaya, etnis dan keyakinan beragama serta perlindungan terhadap kelompok minoritas dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan penindasan. Pemerintah jangan hanya fokus pada isu-isu yang condong pada pembelaan kepentingan kelompok mayoritas semata karena hal ini akan membawa konsekuensi pemenuhan hak-hak kelompok minoritas menjadi terpinggirkan.***

*) Pengajar di Program Doktor Studi Pembangunan Pascasarjana FISIP Universitas Lampung