Kembalikan Daulat Rakyat ! * (2)

Bagikan/Suka/Tweet:
Oleh Happy Sulistyadi

Keluwesan prosedur
pemilihan kepala pemerintahan daerah ini, perlu pula dengan tetap
mempertimbangkan daerah-daerah yang bersifat khusus ataupun istimewa. Hal ini selaras
dengan ketentuan Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi: Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (Hasil Amandemen kedua UUD
1945 pada 18 Agustus 2000).

Contohnya, Daerah
Istimewa Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Daerah Khusus
Ibukota Jakarta. Aceh dan Jakarta telah memutuskan sistem pemilihan kepala
daerah secara langsung oleh rakyat. Sementara itu, Yogyakarta melalui penetapan,
atau tanpa melalui pemilihan. Belakangan, UU Nomor 32 Thn 2004 tentang
Pemerintah Daerah memutuskan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh
rakyat.
4.a. Penafsiran terhadap kata-kata “dipilih secara demokratis”
pada ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 juga telah beberapa kali dilakukan
MK.
 Contohnya, pada
Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 terkait perkara judicial
review
 (pengujian) UU Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
terhadap UUD 1945. MK memutuskan bahwa Pilkada melalui DPRD adalah demokratis.
Berikut ini dikutip
sebagian dari pertimbangan hukum MK pada putusan perkara judicial
review
 itu :
Pemilihan kepala daerah tidak diatur dalam Pasal 22E UUD 1945
akan tetapi diatur secara khusus dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang
menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Menurut Mahkamah, makna frasa “dipilih secara demokratis”, baik
menurut original intent maupun dalam berbagai putusan Mahkamah sebelumnya dapat
dilakukan baik pemilihan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD.
Lahirnya kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pada
saat dilakukan perubahan UUD 1945 terdapat adanya 2 (dua) pendapat yang berbeda
mengenai cara pemilihan kepala daerah. Satu pendapat menghendaki pemilihan
kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD sementara
pendapat lain menghendaki tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat. Latar
belakang pemikiran lahirnya rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 saat itu adalah
sistem pemilihan Kepala Daerah yang akan diterapkan disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat dan kondisi di setiap daerah yang bersangkutan.
Pembentuk Undang-Undang dapat merumuskan sistem pemilihan yang
dikehendaki oleh masyarakat di dalam pemilihan Kepala Daerah sehingga
masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem perwakilan yang dilakukan
oleh DPRD atau melalui sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat. Tujuannya
adalah agar menyesuaikan dengan dinamika perkembangan bangsa untuk menentukan
sistem demokrasi yang dikehendaki oleh rakyat. Hal ini merupakan opened legal
policy dari pembentuk Undang-Undang dan juga terkait erat dengan penghormatan
dan perlindungan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya
masyarakat di berbagai daerah yang berbeda-beda. Ada daerah yang lebih
cenderung untuk menerapkan sistem pemilihan tidak langsung oleh rakyat dan ada
pula daerah yang cenderung dan lebih siap dengan sistem pemilihan langsung oleh
rakyat. Baik sistem pemilihan secara langsung (demokrasi langsung) maupun
sistem pemilihan secara tidak langsung (demokrasi perwakilan) sama-sama masuk
kategori sistem yang demokratis.
Berdasarkan dua pandangan itulah kemudian disepakati menggunakan
kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karena pemilihan kepala
daerah diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang masuk pada rezim pemerintahan daerah
adalah tepat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU
32/2004) mengatur juga mengenai pemilihan kepada daerah dan penyelesaian
perselisihannya diajukan ke Mahkamah Agung. Walaupun Mahkamah tidak menutup
kemungkinan pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang tersendiri,
tetapi pemilihan kepala daerah tidak masuk rezim pemilihan umum sebagaimana
dimaksud Pasal 22E UUD 1945.
Pembentuk Undang-Undang berwenang untuk menentukan apakah
pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat atau dipilih oleh
DPRD atau model pemilihan lainnya yang demokratis. Jika berdasarkan
kewenangannya, pembentuk Undang-Undang menentukan pemilihan kepala daerah
dilakukan oleh DPRD maka tidak relevan kewenangan Mahkamah Agung atau Mahkamah
Konstitusi untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Hal itu
membuktikan pula bahwa memang pemilihan kepala daerah itu bukanlah pemilihan
umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945. Demikian juga halnya walaupun
pembentuk Undang-Undang menentukan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan
secara langsung oleh rakyat, tidak serta merta penyelesaian perselisihan hasil
pemilihan kepala daerah harus dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Logika
demikian semakin memperoleh alasan yang kuat ketika pemilihan kepala desa yang
dilakukan secara langsung oleh rakyat tidak serta merta dimaknai sebagai
pemilihan umum yang penyelesaian atas perselisihan hasilnya dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi.
4.b. Meski MK telah melakukan penafsiran terhadap ketentuan
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, namun sebagaimana hakikat dari konstitusi (UUD
1945),
 perlu digarisbawahi
bahwa konstitusi mencerminkan pikiran dan kepentingan perumusnya, serta konteks
zaman pada saat perumusannya. Konstitusi bersifat hidup dan dinamis. Karena
itu, penafsiran terhadap konstitusi juga terkait erat dengan faktor waktu,
konteks zaman ketika penafsiran itu dibuat, serta perkembangan wawasan dan
pengetahuan dari penafsiran terhadap konstitusi.
Oleh karena itu,
penafsiran kata-kata “dipilih secara demokratis” pada ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 bisa pula
dikembalikan pada esensi utamanya, yakni demokrasi. Sebagaimana diutarakan pada
bagian awal kajian ini, demokrasi berarti kedaulatan rakyat: dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Dus, kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan pada
lembaga perwakilan rakyat ataupun wakil rakyat.
Itu berarti pula
adanya prinsip partisipasi rakyat pada aneka kegiatan demokrasi, atau demokrasi
partisipatif. Dengan demikian, kedaulatan rakyat dengan partisipasi rakyat
dimanifestasikan melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat. Bukan demokrasi
perwakilan, atau pemilihan oleh DPRD.
Penjabaran lebih
lanjut akan diuraikan pada kajian tentang kaedah fundamental menyangkut
“kedaulatan rakyat” pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dan pada kajian perihal
utama “pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat” pada Pasal 6A Ayat (1)
UUD 1945, sebagaimana tertera di bawah ini.
Selain itu, selayaknya
pula dicermati bahwa prinsip pokok tentang kedaulatan rakyat, selain ditegaskan
pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, juga diamanatkan pada Alinea Keempat Pembukaan
UUD 1945, yang cuplikannya sebagai berikut : … Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang …, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan ….
Adanya prinsip pokok
tentang kedaulatan rakyat pada Pembukaan UUD 1945 dan pada Batang Tubuh UUD
1945, tentu tidak bisa direduksi menjadi hanya “demokrasi perwakilan” pada UU,
yang nota bene merupakan norma hukum di bawah UUD.
Sebagaiman telah
disebutkan sebelumnya, ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 sepatutnya
dikaitkan dengan kaedah fundamental menyangkut “kedaulatan rakyat” pada Pasal 1
Ayat (2) UUD 1945 dan pada kajian perihal utama “pemilihan Presiden secara
langsung oleh rakyat” pada Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945.
Hal ini menjadi
penting, karena dari segi waktu, sesungguhnya pembahasan dan keputusan tentang
ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dibuat dan diputuskan melalui Amandemen
kedua UUD 1945 pada 18 Agustus 2000. Itu berarti terjadi sebelum pembahasan dan
keputusan menyangkut masalah “kedaulatan rakyat” pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945
serta pembahasan dan keputusan terkait dengan ketentuan “pemilihan presiden
secara langsung oleh rakyat”, yang dimuat pada Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945.
Kedua pasal penting dan sangat strategis ini merupakan hasil Amandemen ketiga
UUD 1945 pada 9 November 2001.
Dengan demikian,
kajian di bawah ini, selain melakukan penafsiran secara historis, juga
melakukan penafsiran secara sistematis terhadap ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD
1945.
  
4.c. Tentang penafsiran historis dan penafsiran sistematis,
khususnya kaitan antara Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dan ketentuan “pemilihan
Presiden secara langsung oleh rakyat” pada Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945
, dapat pula diuraiakan asal muasal dan proses
pembahasan yang memunculkan rumusan ”Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis” pada Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.
Munculnya rumusan
dengan kata-kata ”dipilih secara demokratis”, karena para pembentuk amandemen
UUD 1945 masih menunggu hasil perubahan pasal yang mengatur mekanisme pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden. Ketika Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dirumuskan,
sebagian besar dari fraksi di MPR sebagai pembentuk amandemen UUD 1945 sepakat
untuk mempertahankan bentuk pemerintahan presidensial. Akan tetapi, masih ada
beberapa fraksi yang belum sepakat mengenai pemilihan presiden (pilpres) secara
langsung.

Karena itu, mereka
menunggu mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang bakal disepakati.
Sebab, bagaimanapun, mekanisme pilkada dalam suatu negara kesatuan yang
memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom ditentukan oleh bentuk
pemerintahan nasional, dalam hal ini khususnya menyangkut mekanisme pemilihan
kepala pemerintahan di tingkat nasional.

Kajian ini belum dilengkapi dengan uraian tentang aspek legal standing dan kerugian konstitusional pemohon judicial review