Oleh: Syarief Makhya
Pemanggilan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Lampung Reihana, dan Wakil Gubernur Lampung, oleh KPK untuk diperiksa kekayaannya karena melampaui batas-batas kewajaran. Juga, sebelumnya kasus pamer harta yang dilakukan Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto, dan menyoroti Kepala Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono, yang diduga mempunyai harta kekayaan tidak wajar, menjadi perhatian publik, karena KPK tidak hanya melakukan OTT terhadap pelaku korupsi, tetapi sekarang sudah menelusuri ketidakwajaran memiliki harta kekayaan bagi seorang pejabat pemerintah.
Sekarang kekayaan pejabat bisa dilihat dan diawasi oleh institusi penegak hukum dan masyarakat karena bisa diakses melalui laman https://elhkpn. kpk.go.id,. Setiap tahun pejabat eselon 2 dan eselon 1 wajib melaporkan kekayaannya dengan mengisi LHKPN, kendati beberapa oknum pejabat tidak seluruhnya melaporkan kekayannya.
Batas-batas kewajaran kekayaan pejabat bisa dihitung secara matematis, yaitu dengan menjumlah gaji perbulan, tunjangan jabatan, renumerasi, dan tambahan penghasilan lainnya. Jika pejabat pemerintah pamer kekayaan, memiliki tanah di mana-mana, memiliki mobil mewah atau penampilannya serba branded wajar jika dinilai tidak wajar oleh masyarakat karena akan mengkaitkanyya dengan posisi jabatan yang dipegangnya.
Dalam kapasitas pejabat pemerintah sebagai bagian dari PNS atau ASN sejak memasuki prajabatan sampai menjadi pegawai dan menduduki jabatan, sudah disosialisasikan bahwa seorang ASN harus mentaati kode etik pegawai, sumpah pegawai, sumpah jabatan, tatapegaulan pegawai, disipilin pegawai dan aturan-aturan etik lainnya.
Namun, realitas perilaku pejabat pemerintah yang tersandung kasus korupsi dan perilau yang tidak sesuai dengan standar moral ASN menjadi cermin kalau sekarang terjadi kemorosotan moral etika pemerintahan. Terjadi hal-hal yang paradoks ketika pemerintah berusaha membangun etos kerja baru di lingkungan ASN dengan menerapkan teknologi informasi, standar gaji dan tunjangan dinaikkan, fasilitas kerja diperbaharui, tetapi di sisi lain muncul perilaku korup, hedonisme, dan gaya hidup ASN yang dinilai tidak wajar.
Dari aspek kebijakan Presiden Jokowi sesungguhnya sudah mengeluarkan Revolusi Mental, tiga nilai utama yaitu integritas, etos kerja dan gotong-royong adalah landasan dan prinsip dasar yang jadi arah dan tuntutan moral bagi ASN; namun lagi-lagi terjadi krisis idealisme sehingga perilaku ASN tidak sejalan dengan sipirit nilai-nilai revoluasi mental.
Persoalannya, mengapa terjadi terjadi kemorosotan moral, padahal acuan normatif standar moral sudah ada, tingkat kesejahteraan pegawai relatif sudah bagus, dan lingkungan fasilitas kerja juga sudah membaik?
Kemorosotan Etika
Kecenderungan pegawai ASN melakukan tindakan yang tidak sejalan dengan standar kewajaran terutama dari kekayaan yang dimiliki dan perilaku yang koruptif umumnya adalah pegawai-pegawai yang memiliki jabatan strategis, sering diistilahkan dalam bahasa memiliki jabatan basah. Dalam posisi menempati jabatan strategis dan memiliki jabatan penting itu melekat kewenangan dalam pengambilan keputusan, memiliki kewenangan untuk mengatur, memiliki kepiawaian teknis, dan dia dipercaya oleh atasannya.
Proses memiliki jabatan strategis kendati dilakukan melalui proses lelang dan panitia seleksi yang relatif mandiri, tetapi tetap untuk menentukan siapa yang akan dipilih ditentukan oleh kepala daerah. Pansel hanya merekomendasi tiga nama calon pejabat, tetapi tidak memiliki otoritas untuk menentukan yang direkomendasi nomor satu untuk menduduki jabatan pejabat eselon dua.
Jadi, relasi kepala daerah dengan pejabat eselon dua masih dibangun bukan murni atas profesionalisme jabatan, tapi faktor kedekatan, kolusi, dan nepotisme masih sangat kental. Dalam perspektif ini aspek ketaatan terhadap hukum dan moral/etika sering diabaikan.
Menteri BUMN Eric Thohir, pernah bercerita di media sosial bahwa di era sebelumnya dikementrian BUMN untuk menduduki salah satu Direksi harus menggelontorkan uang yang nilainya sangat fantastis. Fenomena ada hubungan jabatan di birokrasi pemerintahan dengan pejabat politik (kepala daerah) yang sarat dengan kepentingan politis dan kepentingan mencari keuntungan di proyek-proyek pemerintah hingga sekarang kendati bukan barang rahasia, tetapi aparat penegak hukum tidak bisa menembusnya untuk diproses secara hukum.
Kebiasaan di lingkungan pemerintahan memberikan pertanggungjawaban keuangan hanya cukup dibuktikan dengan alat bukti administratif, proses lelang proyek pemerintahan yang masih bisa direkayasa, kebiasaan setor ke atasan, pemborosan anggaran untuk kegiatan serimonial, dan kegiatan-kegiatan yang tidak ada alokasi anggaranya tetapi dipaksakan untuk dijalankan sampai sekarang masih berjalan.
Realitas pratik pemerintahan demikian yang menjadi persoalan besar merosotnya etika pemerintahan yang memunculkan perilaku ketidakwajaran bagi seorang pejabat, khususnya dari aspek kekayaan harta yang dimilikinya.
Pejabat pemerintah yang memiliki etika pasti perilakunya akan dikontrol oleh kekuatan moral dirinya; kendati ada peluang untuk berbuat curang atau melakukan praktek korupsi dia tidak akan melakukannya karena dalam dirinya ada kesadaran etik. Mari kita belajar dari Mohammad Hatta, beliau adalah teladan dalam penegakkan moral. Hatta diakui menjadi sosok yang memiliki integritas tinggi. Hatta, meskipun menjadi pejabat negara, tetapi hidup dalam kesederhanaan dan kejujuran.
*Dr. Syarief Makhya, M.Si, Pengajar Studi Pemerintahan FISIP Unila