Kenapa Donald Trump Terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat?

Fadli Zon selfi dengan Donald Trump (Foto: @fadlizon)
Fadli Zon selfi dengan Donald Trump (Foto: @fadlizon)
Bagikan/Suka/Tweet:

Made Supriatma

Pemilihan Presiden Amerika: Saya masih mengunyah kenyataan pahit ini. Kenyataan adalah bahwa dia yang terpilih menjadi presiden Amerika tabiatnya mewakili semua sisi buruk masyarakat Amerika. Ada banyak hal yang sangat baik dari masyarakat Amerika yang pantas diapresiasi.

Mengapa dia bisa terpilih? Ada dua kesimpulan saya. Pertama, orang-orang kalah bisa menang dalam demokrasi elektoral. Kita tahu bahwa pemilih yang keluar dalam pemilihan kali ini adalah kulit putih, kelas pekerja, tidak tamat pendidikan universitas. Ini adalah golongan yang kalah dalam semua hal di dalam masyarakat Amerika modern.

Amerika kehilangan banyak pekerjaan dari industri manufaktur mereka. Pabrik-pabrik sekarang berkarat. Kota-kota industri Amerika, seperti Detroit, adalah kota mati. Batubara yang dulu pernah menghidupkan industri ini juga mati. Orang beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan.

Ekonomi baru menendang orang-orang ini keluar. Dari ekonomi baru, lahir kebudayaan baru. Masyarakat menjadi lebih liberal. ‘Political correctness’ menjadi standar pergaulan dan percakapan. ‘Correctness’ mengatur semua aspek kehidupan. Ia menjadi seperti hukum agama — ini tidak pantas, itu tidak dosa, dan lain sebagainya.

Kebudayaan baru itu adalah hal yang sesungguhnya baik. Namun dia menjadi representasi atau perwakilan dari kaum elit, liberal, intelek, dan sok pinter. Berlawanan dengan kebudayaan kelas pekerja yang kasar dan merasa tertindas. Kebudayaan kelas pekerja ini tidak direpresentasikan dalam media Amerika. Tidak ada dalam ruang-ruang kelas. Namun hidup sebagai ‘silent majority.’

Kedua, orang-orang kalah ini sangat rentan dimanupulasi. Retorika populis yang tampaknya membela mereka akan segera menarik perhatian. Mereka membutuhkan pembela. Mereka membutuhkan pemimpin yang bisa mewakilinya.

Ketika ada politisi yang bisa memanipulasi mereka — seolah-olah berjuang untuk mereka maka si elit ini segera menjadi ikon perjuangan mereka. Disinilah lahir pemimpin-pemimpin ‘populis.’

Para politisi populis dengan cerdik memanipulasi ketakutan orang-orang kalah ini. Mengingatkan mereka akan kiamat — kekalahan yang abadi. Namun kemudian disertai dengan janji: ‘I will make it great again!’
(Saya kira ilmu politik dalam beberapa tahun ke depan akan banyak diwarnai oleh kajian-kajian tentang populisme).

Ini kerap terjadi dalam sejarah. Kita melihat Hitler di Jerman, Juan Peron di Argentina, Silvio Berlusconi di Itali, dan masih banyak lagi. Beberapa diantara mereka adalah demagog yang kejam.Namun mereka adalah ‘masters of manipulators.’

Bisa kita bayangkan, Donald J. Trump, yang seumur hidupnya barangkali tidak sekalipun pernah mengayunkan martil untuk memaku kayu, tiba-tiba mengaku mewakili semua pekerja kasar.

Sialnya, orang-orang kalah yang mengharap politisi dan elit-elit populis untuk mewakili mereka seringkali berakhir dengan kekalahan yang lebih dalam. Tapi setidaknya, politisi populis yang mereka pilih mampu menyalurhkan kemarahan atas kekalahan mereka. Sekalipun kemudian mereka menjadi tergilas olehnya.

Relevansi untuk Indonesia? Perhatikanlah di sekeliling Sodara. Siapa yang berbicara atas nama umat yang seolah-olah sangat tertindas? Yang menceritakan kiamat di dunia? Yang menyodorkan potret buram dan kemudian akan memberikan jalan ke surga?

Memang mereka belum sebesar dan sekaliber Hitler, Trump, atau Berlusconi. Namun, pada suatu saat, pada waktu yang tepat, mereka akan di sana.***

* Pengamat politik, WNI, tinggal di Amerika Serikat