Kenapa Gagasan Membubarkan DPR dan DPRD Makin Relevan?

Oleh Syarief Makhya Minggu ini terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran di berbagai daerah. Di Jakarta, gedung DPR diserbu oleh para demonstran, yang mengakibatkan satu orang menjadi korban yaitu Affan Kurniawan, pengemudi ojol yang tewas tertabrak kend...

Kenapa Gagasan Membubarkan DPR dan DPRD Makin Relevan?
Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)

Oleh Syarief Makhya

Minggu ini terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran di berbagai daerah. Di Jakarta, gedung DPR diserbu oleh para demonstran, yang mengakibatkan satu orang menjadi korban yaitu Affan Kurniawan, pengemudi ojol yang tewas tertabrak kendaraan taktis (rantis) Brimob di Jakarta.  Di Solo, gedung sekertariat DPRD dibakar massa. Aksi serupa juga terjadi di DPRD Jawa Barat dan DPRD Yogyakarta, di mana demonstrasi besar-besaran berlangsung. Para demonstran menuntut agar DPR dan DPRD dibubarkan.

Saat terjadi dialog antara para demonstran dengan salah seorang anggota DPR, Ahmad Sahroni dengan lantang menyatakan bahwa DPR tidak bisa dibubarkan dengan berbagai alasan bahkan menyebutnya sebagai orang tolol. Ironisnya, anggota Dewan yang dipilih oleh rakyat itu tampaknya tidak memahami, atau mungkin melupakan, bahwa lembaga Dewan merupakan simbol demokrasi—mewakili kepentingan rakyat, menjadi penyalur aspirasi, dan seharusnya menjadi pejuang suara masyarakat, khususnya dari lapisan bawah. Namun, sikap yang ditunjukkan justru terkesan elitis, tidak peka terhadap perasaan dan persoalan masyarakat, serta cenderung memposisikan dirinya sebagai mitra pemerintah semata.

Sikap anggota Dewan yang lebih sering berperan sebagai legitimator kebijakan pemerintah daripada sebagai pengawas yang kritis, terlihat jelas melalui persetujuan undang-undang dan anggaran yang cenderung tidak substansi. Hal ini mencerminkan betapa jauh Dewan terlepas dari masalah-masalah mendasar yang dihadapi masyarakat. Proses legislasi dan pengawasan yang terkesan seremonial ini semakin mempertegas kegagalan Dewan dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat
Bahkan, muncul situasi yang paradoksal.

Di saat pemerintah sedang melakukan efisiensi anggaran, anggota Dewan justru mengusulkan kenaikan gaji dan tunjangan dengan angka yang sangat fantastis. Fenomena serupa juga terjadi di berbagai daerah, di mana para kepala daerah berlomba-lomba menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), bahkan ada yang kenaikannya mencapai 1000%. Di beberapa wilayah, seperti di salah satu kabupaten di Jawa Tengah , kenaikan PBB ditolak keras oleh masyarakat hingga akhirnya dibatalkan.

Potret anggota Dewan yang fungsinya tidak memberikan dampak dan manfaat nyata bagi masyarakat sebenarnya sudah lama disadari, namun dibiarkan begitu saja oleh mahasiswa dan masyarakat luas. Kekecewaan yang terakumulasi selama bertahun-tahun tanpa adanya perubahan signifikan, akhirnya meledak menjadi kemarahan besar. Puncaknya terjadi ketika massa memporak-porandakan Gedung DPRD Kabupaten Solo sebagai simbol kekecewaan terhadap lembaga yang dianggap tidak lagi mewakili kepentingan rakyat.

Aksi tersebut bukan semata-mata bentuk vandalisme, melainkan sebuah ekspresi frustrasi terhadap sistem yang dinilai mandul dan jauh dari nilai-nilai demokrasi sejati. Masyarakat sudah muak dengan wakil rakyat yang lebih sibuk menjaga kenyamanan jabatan daripada memperjuangkan nasib rakyat yang mereka wakili.

Orientasi Politik Yang Sudah Berubah ?

Secara kelembagaan formal, fungsi Dewan tidak mengalami perubahan. Fungsi pengawasan, legislasi, dan anggaran tetap menjadi tanggung jawab utama yang harus dijalankan dengan baik. Namun, bagaimana fungsi-fungsi tersebut dijalankan? Dalam realitas politik, fungsi-fungsi Dewan dibentuk oleh formasi politik yang mengkondisikan relasi kekuasaan antara Dewan dan eksekutif.

Faktor-faktor politik, termasuk keberagaman partai, dinamika koalisi, serta tekanan dari kelompok kepentingan, mempengaruhi sejauh mana Dewan dapat menjalankan fungsinya secara efektif. Interaksi antara Dewan dan eksekutif sering kali tidak hanya ditentukan oleh norma kelembagaan, tetapi juga oleh keseimbangan kekuasaan yang ada, yang sering kali berubah seiring dengan perkembangan situasi politik.

Bergabungnya partai-partai politik dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), kecuali PDIP, menyebabkan tidak adanya penyeimbang kekuasaan yang efektif di dalam Dewan. Akibatnya, fungsi kontrol Dewan menjadi melemah, dan Dewan lebih banyak berperan sebagai legitimator formal kebijakan pemerintah. Dalam situasi ini, sikap dan perilaku anggota Dewan cenderung kompromistik dan pragmatis, bahkan terhegemoni oleh dominasi kekuasaan eksekutif.

Dalam konteks ini, target utama anggota Dewan lebih fokus pada pencapaian kepentingan daerah pemilihan (Dapil) masing-masing, dengan mengutamakan pemenuhan program-program dan alokasi anggaran. Tuntutan untuk meningkatkan tunjangan serta memperoleh proyek-proyek yang dapat menguntungkan konstituen mereka semakin menguat. Hal ini berpotensi mengurangi kualitas pengawasan dan substansi legislasi yang dihasilkan Dewan, karena lebih dipengaruhi oleh kepentingan jangka pendek dan kepuasan lokal ketimbang kepentingan nasional yang lebih luas.

Bubarkan Dewan ?

Tuntutan masyarakat untuk membubarkan DPR sebenarnya lebih merupakan simbolisasi dari ketidakpuasan terhadap kinerja lembaga legislatif dan keinginan untuk perbaikan sistem politik yang lebih responsif, transparan, dan akuntabel.

Tuntututan rakyat, menunjukkan ketidakpuasan terhadap kinerja Dewan, terutama karena seringnya kebijakan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat. Kurangnya responsivitas terhadap masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi masyarakat menjadi alasan utama mengapa gagasan pembubaran DPR muncul.

Ketidakmampuan Dewan untuk merepresentasikan suara rakyat dalam pengambilan keputusan penting semakin memperburuk citra lembaga legislatif ini.
Kinerja Dewan yang seringkali diliputi oleh ketidakjelasan mengenai pengambilan keputusan dan kurangnya akuntabilitas juga semakin memperburuk citra lembaga ini. Banyak keputusan yang diambil di belakang layar, jauh dari pengawasan publik, yang memperburuk kesan bahwa Dewan hanya menjadi lembaga yang rentan terhadap praktik politik yang tidak transparan.***

Dr. Syarief Makhya, M. Si adalah staf pengajar FISIP Universitas Lampung