‘Kenthir’

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Pada saat ada pejabat publik yang merupakan ketua  lembaga legislatif daerah tingkat  menolak bersalaman dengan seorang warga saat jumpa d ipintu masuk kantornya,  dunia maya pun heboh. Banyak parodi yang menirukan kelakuan sang ketua. Kehebohan itu pun menjadi perbincangan di ruang kerja  seorang doktor muda. Sohib doktor muda ini menggunakan istilah “pejabat kenthir”.

Mengingat istilah “kenthir”, sontak ingatan saya  melayang 60 tahun silam saat mendiang ibu menggunakan kata ganti itu untuk orang yang “kurang sempurna ingatannya”. Kata ganti itu sekarang membahana di  media sosial. Banyak wargamaya yang bertanya apa arti bahasa itu dan berasal dari mana. Wajar saja mereka tidak paham terutama mereka yang berasal dari generasi milenial.

Istilah “kenthir” sering tertukar dengan “kenter” atau ada yang menulis kintir yang memiliki makna hanyut. Arti harfiah keduanya sebagai berikut : secara fonologi sudah berbeda dan memiliki arti yang berbeda pula. Kata kentir berarti keli (terbawa arus). Sedangkan kenthir berarti kurang waras, tidak waras atau gila. Kata kenthir juga sering menjadi umpatan terhadap seseorang yang berperilaku tidak sesuai adab, tidak patut, atau tidak masuk akal.

Perilaku kenthir bisa melanda siapa saja, baik rakyat biasa maupun pejabat. Seseorang yang hobinya menarik pajak dan woro-woro — bahkan terkadang dengan ancaman — agar rakyat membayar pajak dengan rajin, sementara dia sendiri tidak membayar pajak, adalah kenthir. Itu kekenthiran yang luar biasa. Makin terlalu kenthir-nya jika penarik pajak ngajakali atau menipu pajak.

Perilaku kenthir ini bisa melanda siapa saja, dan kapan saja. Sebab, kecenderungan untuk melakukan kegilaan sosial seperti ini sangat banyak motivasi yang mendorongnya. Bisa saja ingin dikatakan kaya, ingin dihormati, ingin mendapat perhatian khusus, dan masih banyak lagi. Menjadi masalah selama ini tidak terungkap kepermukaan, namun begitu ada pemicu menjadi mencuat dan viral, maka baru reaksi bermunculan di mana-mana.
Meminjam istilah Oyos Saroso “anak polah bopo kepradah” yang arti bebasnya anak berulang bapak yang susah, kondisi ini menjadi pemicu untuk memunculkan “kekenthiran” pejabat pada kementerian tertentu yang selama ini dianggap lembaga pengumpul uang. Ternyata penghasilan eselon tiga di lembaga itu pendapatannya melampaui presiden negeri ini. Ini dibuktikan dari ulah anaknya yang baru gede sudah bawa otor gede, berlalu lalang pamer di jalan gede.

Menjadi semakin mengerikan departemen yang dipimpin seorang menteri terbaik kelas dunia, karena pernah memimpin Bank Dunia, bisa ditipu oleh anak buahnya dengan berperilaku kenthir. Alih-alih sang menteri mau bertanggungjawab, bahkan ada tigaratus triliun dana kenthir tidak diketahui oleh sang menteri. Hebatnya lagi uang itu diperoleh dari hasil ngenthir para anak buahnya.

Sejarah pejabat kenthir ini dapat kita simak pada cerita pembuatan jalan yang membelah Pulau Jawa. Menilik sejarah pembuatan jalan pada masa penjajahan oleh Daendels, adalah sebuah jalan Pos sepanjang 1.000 kilometer (620 mil) di Jawa yang membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Jalan ini dibangun atas perintah dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-36, Herman Willem Daendels (m. 1808-1811) sebagai salah satu langkahnya dalam memodernisasi Jawa terutama dalam bidang pertahanan dan pemerintahan.

Selanjutnya, jalan ini lebih banyak dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengangkut hasil bumi dan pos komunikasi karena dapat mempersingkat lama pengiriman surat saat itu. Saat itu Daendels dianggap kenthir oleh para pejabat Belanda karena membuat ide gila, namun sebenarnya yang lebih kenthir adalah para pejabat pribumi. Menurut penelusuran sejarah para pekerja itu dibayar oleh penjajah dengan mata uang gulden per kepala per hari, namun uang bayaran itu tidak sampai kepada para buruh. Semua uangnya dikorupsi oleh para pamong pribumi yang menyediakan tenaga kerja. Jadi pejabat pribumi saat itu juga berperilaku lebih kenthir dari penjajah karena tega makan keringat rakyatnya sendiri.

Ternyata penyakit kenthir itu tidak sembuh sekalipun kita sudah merdeka, justru tampaknya menjadi mewabah kemana-mana. Hanya karena wabah ini tidak tampak langsung korbannya seperti wabah penyakit menular, maka tindakan penyembuhannyapun tidak begitu serius; malah bisa dikatakan diabaikan. Kita masih ingat dari masa Orde Lama ada Yusuf Muda Dalam, sampai generasi Gayus, terus melaju sampai sekarang; kesan pemberantasan, pencegahan bahkan penghukuman hanya bersifat terapi sesaat. Begitu hilang dari perhatian public, semua kembali seperti sediakala, dan tampak tidak terjadi apa-apa.

Apakah perjalanan kenthir ini akan terus melaju sampai kiamat? Tampaknya bisa jadi demikian. Sebab, sejauh manusia terbius dengan dunia, maka gelap mata akan mengena. Salah satu bentuk kegelapan mata ini adalah terwujud dalam perilaku kenthir.

Semoga kita yang masih waras ini tidak ikut tertular jadi  kenthir.

Selamat ngopi pagi!