Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Artikel ini ditulis bertepatan dengan dicanangkannya hari pertama kampanye untuk Pemilihan Umum 2024. Tentu saja dengan slogan klasik “Pemilu Damai” yang menyeruak didorong kepermukaan. Semua elemen masyarakat diajak untuk berpartisipasi oleh pemerintah maupun orang-orang partai, agar menggunakan hak pilihnya pada waktu yang telah ditentukan. Bebagai cara dilakukan untuk menyebarluaskan informasi, baik yang tradisional maupun yang modern, dilakukan oleh yang berkepentingan untuk mensukseskan pemilihan umum.
Situasi seperti saat ini, mengingatkan masa pemilihan umum di era Orde Baru. Saat itu banyak orang berkepala plontos. Situasi seperti ini adalah lahan mencari cuan pada jamannya. Mereka tidak terorganisir seperti sekarang, hanya kejelian saja dalam melihat peluang yang ada. Setiap partai, yang pada waktu itu ada dua partai dan satu golongan (golongan ini waktu itu belum berlabel partai), akan melakukan konvoi memerlukan banyak orang.
Para orang suruhan mereka mengajak pada teman-teman berkepala plontos untuk ikut konvoi dengan mengecat kepala mereka sesuai lambang partai atau golongan tadi. Dan, jadilah konvoi kepala plontos dengan yel-yel yang sudah disepakati; tentu makin lama durasi maka logistic nasi bungkus dan cuan akan semakin banyak diperlukan, dengan alasan ongkos transport dan ongkos beli sabun.
Sahabat plontos ini hafal betul jadwal dari masing-masing pengguna, jadi hari ini kepalanya bercat Banteng, besok berubah bercat Ka’bah, terakhir bergambar Beringin. Selanjutnya mereka memiliki catatan organisasi mana yang royal kasih uang dan nasi bungkus. Bagi mereka nyoblos tidak penting, yang penting konvoi dan uang.
Ada yang unik, satu peristiwa ada yang salah gambar; gambar yang dia gunakan di kepala itu jadwalnya besok, tetapi karena lupa hari, dia gunakan hari ini. Tentu saja barisan itu menjadi heboh, yang bersangkutan jadi bulan-bulanan oleh teman-temannya. Namun semua berlangsung gembira, hal itu dianggap biasa; mereka tetap saja membagi pendapatan kepada yang salah kostum.
Menarik lagi saat hari pemilihan berlangsung, mereka juga ikut menjadi panitia local tidak resmi, maksudnya bantu-bantu pejabat kelurahan angkat kursi, susun meja, buka tenda; semua mereka lakukan, walaupun ujungnya ya Cuan dan Nasi Bungkus. Begitu selesai pencoblosan, dan ditanya mereka coblos yang mana, mereka sebut salah satu lambang terbesar dananya saat itu, dengan alasan duwitnya paling banyak. Ternyata, penyakit ini tampaknya ikut lestari antargenerasi.
Seiring perjalanan waktu, semua menjadi berubah; hanya seperti apa perubahan “Kepala Plontos”, sampai hari ini baru terditeksi bentuk wujud fisik yang sudah tidak ada. Namun, bentuk perilaku, diduga justru mengalami metamorphose ke yang lebih canggih. Kalau dulu Kepala Plontos tidak terorganisir secara baik dan rapi. Kini, kepala tidak harus plontos, namun pengorganisasian melalui tim sukses, dan “Radio Canting”, menjadi semacam “bentuk baru” dari metamorphose tadi.
Untuk sekarang, biaya menjadi besar dan mahal karena sistem pengorganisasian yang rapi ternyata memerlukan biaya tinggi. Belum lagi tingkat kecerdasan dalam tanda kutib masyarakat yang juga berubah, sehingga jelas politik “wani piro” tidak bisa dihindari. Slogan di televise justru ditanggapi dengan senyum manis berjuta makna.
Pendidikan politik belum sepenuhnya menyentuh akar rumput manakala sistem transaksional masih terbuka, dan ini justru menumbuhsuburkan praktik “barter” dalam bentuk lain. walaupun dalam tataran teoritik akademik memang sudah jauh lebih baik dibandingkan awal-awal dahulu. Akan tetapi seiring dengan peningkatan harapan, maka masyarakat belum bisa membedakan antara “butuh dan kebutuhan”. Akhirnya secara tidak sengaja peningkatan kualitas mutu teknik kepemilihan, ikut berimbas pada tingkat pelanggaran etika dalam menentukan pilihan. Sisi lain iming-iming kebendaan lebih memberikan harapan nyata bagi mereka, jika dibandingkan dengan harapan masa depan sebagai cita-cita.
Salam waras.