TAJUK  

Kepala Sekolah Porno, Leher Walimurid Dicekik

Bagikan/Suka/Tweet:

DUNIA pendidikan Indonesia pernah dibuat heboh oleh adanya gambar bintang film porno Miyabi dalam Lembar Kerja Siswa yang beredar di sejumlah sekolah di Mojokerto, Jawa Timur. Selain sebagai bukti ketidakprofesionalan, beredarnya Lembar Kerja Siswa (LKS) bergambar tidak pantas itu menunjukkan bahwa bisnis LKS telah membutakan mata banyak kalangan, mulai baik itu pendidik (kepala sekolah dan guru), pengusaha (penerbit LKS), hingga pejabat (kepala Dinas Pendidikan. Pornografi yang beredar itu menunjukkan bahwa dunia pendidikan Indonesia itu memang ‘porno’. Itu kalau definisi porno diperluas menjadi ‘setiap upaya untuk korup dan menghalalkan segala cara’.

Para kepala sekolah dan guru yang selama ini melakukan bisnis LKS tentu saja tidak porno. Namun, kalau kita memakai difinisi porno seperti di atas, maka alangkah banyaknya kepala sekolah yang porno. Alangkah banyaknya kepala sekolah SD maupun SMP yang menghalalkan segala cara agar bisnis LKS tetap ‘lancar jaya’ sonder menaati aturan yang ada.

Aturan yang ada (Juknis BOS) dan surat edaran Kepala Dinas Pendidikan sudah tegas menyebutkan sekolah dilarang memperjualbelikan LKS. Namun, fakta membuktikan bisnis LKS tetap subur bak cendawan di musim penghujan. Aturan pun dilanggar. Peringatan keras diabaikan. Hal itu terjadi secara merata hampir di semua daerah di Indonesia. Ironisnya, tidak ada kepala sekolah yang mendapatkan sanksi tegas. Surat edaran berisi larangan bisnis LKS itu akhirnya ibarat anjing menggonggong kafilah tetap santai berlalu.

Banyak pihak meyakini pengadaan LKS di sekolah-sekolah lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan bisnis daripada upaya pencerdasan para siswa. Karena hanya bisnis, maka materi pun diabaikan. Tidak ada standarisasi yang jelas dan baku tentang isi atau materi LKS untuk masing-masing jenjang pendidikan dan mata pelajaran. Akibatnya, alangkah banyaknya LKS yang dari segi isi, pemakaian bahasa, gambar, maupun tata wajah tidak layak.

Jika kita ingin menempatkan buku ajar sebagai salah satu sumber literasi di sekolah-sekolah, sudah seyogianya kebijakan yang mengatur pengadaan buku diatur lebih ketat. Pemerintah pusat (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) harus lebih tegas lagi soal pengadaan buku. Bisnis buku dan LKS harus dihentikan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan harus bisa menghentikan segala bentuk bisnis literasi di sekolah.

Tanpa adanya ketegasan soal pengadaan buku, maka sekolah akan menjadi ladang bisnis yang ramai. Korbannya lagi-lagi adalah para orang tua siswa. Alhasil, pendidikan gratisa atau program Bantuan Operaional Sekolah (BOS) yang digembar-gemborkan pemerintah sejak beberapa tahun lalu ibarat iklan sampah berisi pembohongan.

Di Bandarlampung (dan juga di seluruh daerah di Indonesia) bisnis LKS terbukti memberatkan para orang tua siswa. Bisnis itu tetap terus jalan—meskipun sudah ada larangan dari Kepala Dinas Pendidikan—karena tidak adanya ketegasan dari pihak yang berwewenang. Kasus ini sebenarnya persis dengan maraknya bisnis buku ajar. Banyak kepala sekolah yang menolak memakai buku ajar elektronik (BSE= Buku Sekolah Elektronik) yang sudah disiapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan berbagai alasan. Alasan formalnya: BSE dianggap materinya tidak standar.

Tahulah kita bahwa itu adalah alasan yang dibuat-buat. Sebab, BSE yang hak ciptanya dari penerbit sudah dibeli mahal oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan itu sudah lolos uji oleh para ahli pendidikan. Para kepala sekolah menolak memakai BSE yang bisa diunduh gratis lewat internet itu karena mereka akan kehilangan kesempatan mendapatkan fee dari para penerbit buku.

Sayangnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh juga tidak tegas. Tidak ada larangan bagi sekolah yang tetap ngotot memakai buku yang diterbitkan oleh penerbit yang selama ini rajin menyetor fee kepada sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seolah-olah menutup mata sehingga bisnis buku tetap berlanjut. Dengan alasan dana BOS tidak cukup untuk membeli buku bagi semua siswa, para siswa terpaksa harus membeli buku dari penerbit yang diundang ‘berjualan’ di sekolah. Kalau stok habis, maka para orang tua harus sibuk memfotokopikan buku itu untuk anaknya.

Biaya untuk memfotokopi terkadang lebih besar dibanding kalau membeli buku baru dari penerbit. Kalau jumlah buku yang harus difotokopi itu 4 atau 5,  maka sudah jelas leher para orang tua siswa/walimurid yang perekonomian pas-pasan akan makin terasa dicekik.

Oyos Saroso HN