Opini  

Kepercayaan: Anugerah yang Menuntut Tanggung Jawab

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh : T.H. Hari Sucahyo*

Menjadi orang yang dipercaya adalah sebuah peristiwa eksistensial. Ia bukan semata pemberian dari luar diri, melainkan juga pencerminan dari karakter terdalam manusia. Ketika seseorang memilih untuk mempercayai kita, yang sejatinya diberikan bukan hanya urusan atau tugas, melainkan sebuah harapan, kadang juga seluruh dirinya, keraguan, ketakutan, dan kebutuhannya untuk merasa aman. Maka, menjadi pribadi yang dipercaya adalah suatu kehormatan besar. Namun, di balik kehormatan itu, tersembunyi suatu beban yang sunyi, yang tak selalu disadari atau bahkan dimengerti oleh banyak orang.

Dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan ketidakpercayaan, kepercayaan menjadi semacam mata uang langka. Ia lebih berharga dari kekayaan materi dan lebih sulit didapat daripada kekuasaan.

Kita bisa membeli pengaruh, menyuap otoritas, atau memanipulasi persepsi, tetapi kepercayaan tidak bisa dipaksakan. Ia tumbuh dari konsistensi dan integritas. Ia bersemi dalam waktu, bukan sesaat.

Maka, ketika kepercayaan diberikan, ia datang dengan harapan bahwa kita akan menjaga sesuatu yang rapuh, namun sangat vital: rasa aman manusia atas relasi dan keberlangsungan nilai.

Mari kita renungkan lebih dalam: apakah setiap kepercayaan adalah sesuatu yang kita sanggupi untuk emban? Apakah kehormatan menjadi orang yang dipercaya selalu sejalan dengan kapasitas batin kita untuk menanggungnya? Di sinilah paradoks mulai bekerja. Dalam tradisi filosofis Timur, dikenal adagium bahwa “berbuat baik belum tentu benar, dan yang benar belum tentu nyaman.”

Menjadi orang yang dipercaya kerap mengharuskan kita menanggalkan kenyamanan pribadi demi memikul amanah yang bukan milik kita. Kita diminta menjadi perpanjangan tangan dari nilai, kesetiaan, bahkan harapan orang lain.

Kepercayaan mengikat. Ia menuntut lebih dari sekadar tindakan lahiriah. Ia menuntut totalitas jiwa. Seorang pemimpin yang dipercaya oleh pengikutnya akan merasa tertuntut untuk selalu tampil sebagai teladan, bahkan ketika ia sedang rapuh. Seorang teman yang dipercaya untuk menyimpan rahasia akan merasa gelisah karena membawa beban yang bukan berasal dari dirinya.

Seorang anak yang dipercaya orangtuanya untuk menjadi penerus harapan keluarga mungkin mengalami tekanan batin untuk tidak mengecewakan. Semua itu bukan beban kecil. Kepercayaan tidak hanya menyinari; ia juga bisa membakar.

Dalam pemikiran filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre, manusia adalah makhluk bebas, tetapi kebebasannya selalu disertai tanggung jawab. Menjadi pribadi yang dipercaya adalah bentuk pengakuan atas kebebasan kita. Kita dipercaya karena kita dipandang mampu memilih, bertindak, dan mempertanggungjawabkan. Tapi pengakuan itu sekaligus adalah panggilan moral. Begitu kita dipercaya, kita tidak bisa lagi hidup hanya untuk diri sendiri. Kita tidak bisa lagi bersikap netral, diam, atau menghindar.

Kita telah dibentuk oleh liyan yang mempercayai kita. Dalam relasi kepercayaan, “diri” menjadi arena pertemuan antara hasrat personal dan tuntutan etis. Tentu, menjadi orang yang dipercaya bukanlah beban yang harus selalu dilihat sebagai penderitaan. Dalam banyak kasus, beban itu justru memurnikan kita. Ia mendewasakan. Ia membuat kita menakar ulang apa arti tanggung jawab, loyalitas, dan bahkan cinta. Orang tua, misalnya, dipercaya oleh anak-anaknya tanpa syarat.

Anak tidak berpikir apakah ayah dan ibunya pantas dipercaya; mereka hanya percaya. Maka, kepercayaan itu menggerakkan orang tua untuk menjadi versi terbaik dari dirinya bukan karena takut, melainkan karena cinta yang melahirkan kesadaran. Dalam konteks itu, kepercayaan bukan beban, melainkan jalan menuju pertumbuhan spiritual.

Namun, tidak semua orang mampu memikulnya. Sebagian justru menyalahgunakan kepercayaan.

Di sinilah kita menyaksikan keretakan dalam tatanan etis. Ketika kepercayaan dikhianati, yang runtuh bukan hanya relasi antarindividu, melainkan juga pondasi kepercayaan sosial. Politik korup, relasi kerja yang toksik, keluarga yang penuh manipulasi; semua berakar dari pengkhianatan atas kepercayaan. Maka, kepercayaan yang dilukai bisa menjadi luka eksistensial yang dalam. Tak heran jika banyak orang hari ini menjadi skeptis, sinis, bahkan apatis terhadap kepercayaan. Dunia yang terlalu sering dikhianati cenderung memilih untuk tidak lagi percaya.

Dalam suasana seperti itu, menjadi orang yang dipercaya adalah bentuk perlawanan. Ia adalah aksi keberanian untuk hidup dalam integritas di tengah arus ketidakpedulian. Ia bukan soal menjadi sempurna, tetapi menjadi setia.

Dalam khazanah kebijaksanaan spiritual, kita diajak untuk melihat bahwa tanggung jawab atas kepercayaan bukan soal seberapa besar kemampuan kita, tetapi seberapa sungguh niat kita untuk menjaga yang dipercayakan, bahkan dalam keterbatasan.

Kepercayaan sejati bukanlah tuntutan untuk selalu berhasil, melainkan ajakan untuk selalu jujur dan bertanggung jawab, apa pun hasilnya.

Maka, ketika kita merasa terbebani oleh kepercayaan yang dititipkan, jangan buru-buru menolaknya. Tanyakan pada diri: apakah ini beban yang bisa membentukku? Apakah ini jalan yang mengasah jiwaku? Beban yang menyucikan tidak akan membunuh, ia justru membangkitkan sisi terdalam dari kemanusiaan kita. Menjadi orang yang dipercaya adalah perjalanan seumur hidup. Ia menuntut kita untuk hidup tidak hanya dalam kerangka ego, melainkan dalam simpul-simpul relasi yang saling menopang.

Pada akhirnya, kepercayaan adalah cermin. Ia mencerminkan siapa diri kita, siapa orang lain, dan siapa kita dalam mata orang lain. Ia adalah anugerah yang tak bisa dibeli, sekaligus beban yang tak bisa diabaikan. Ia adalah kehormatan yang memanggil kita menjadi manusia seutuhnya: yang tahu batas, tapi juga tahu makna. Yang berani menyangkal diri, tapi tidak kehilangan jati diri. Yang tahu bahwa setiap kepercayaan adalah kemungkinan untuk menjadi lebih bertanggung jawab, lebih tulus, dan lebih manusiawi. Karena menjadi orang yang dipercaya bukan hanya soal mampu, tetapi juga soal siap untuk selalu hadir dengan hati yang jernih, jiwa yang terbuka, dan kesetiaan yang tak mengenal pamrih.

* Pegiat di Cross-Disciplinary Discussion Forum “Sapientiae”