Kereta Cepat dan Arah Baru Pembangunan Kawasan

Oleh IB Ilham Malik Kedeputian IV Kantor Staf Presiden RI, Akademisi PTN ITERA dan Perencana Transportasi-Wilayah Malcon Group Pada saat sekarang ini sedang viral kembali soal proyek utang kereta api cepat Jakarta–Bandung yang kita kenal dengan Woos...

Kereta Cepat dan Arah Baru Pembangunan Kawasan
Dr. Eng. IB Ilham Malik

Oleh IB Ilham Malik
Kedeputian IV Kantor Staf Presiden RI,
Akademisi PTN ITERA dan Perencana Transportasi-Wilayah Malcon Group

Pada saat sekarang ini sedang viral kembali soal proyek utang kereta api cepat Jakarta–Bandung yang kita kenal dengan Woosh. Isu yang kembali diangkat adalah soal besarnya hutang yang harus ditanggung atau dibayar oleh pihak Indonesia, baik itu dalam artian perusahaan maupun diasumsikan pemerintah, dan soal pembengkakan biaya pembangunan yang dianggap di luar angka yang seharusnya.

Perlu diketahui bahwa apa yang didiskusikan di berbagai platform sebenarnya sudah menjadi bahan yang didiskusikan oleh pemerintah, termasuk oleh kami di Kantor Staf Presiden. Pada saat sekarang ini pemerintah sedang menyiapkan regulasi terkait dengan masalah keuangan yang harus ditanggung oleh pengelola kereta api cepat KCJB.

Secara bersamaan juga, pemerintah sedang menyiapkan regulasi tentang kereta api cepat di Indonesia, dalam artian bahwa kalau nanti Indonesia akan membangun sistem kereta api cepat di seluruh wilayah Indonesia, sudah ada regulasinya yang diatur oleh pemerintah tentang apa dan bagaimananya kereta api cepat itu nanti.

Diskusi yang membahas tentang kereta cepat Jakarta–Bandung di media sosial maupun di media massa pada saat sekarang ini mungkin terlalu teknis, dan mungkin tidak banyak bisa dipahami oleh masyarakat. Sehingga yang dilihat hanya soal besaran hutang dan berasumsi terkait dengan pengaruh asing terhadap Indonesia dan pemerintahan. Meskipun hal ini memang ada faktanya, tetapi kita perlu memperbesar cakrawala pembahasan agar kita tidak terjebak pada hal yang bersifat terlalu teknis.

Di bidang transportasi, kita sering mendiskusikan mana yang harus disiapkan terlebih dahulu, apakah jaringan transportasi atau kegiatan, atau kegiatan apa pun sudah ada terlebih dahulu baru kemudian difasilitasi oleh sarana dan prasarana transportasi? Banyak yang mengatakan bahwa ini diskusi soal mana yang lebih dahulu, apakah ayam atau telurnya.

Mayoritas dari seluruh pihak yang memang fokus dengan isu transportasi mengatakan bahwa jaringan transportasi menjadi hal yang paling penting untuk didahulukan daripada kegiatannya. Mengapa demikian? Sebab kalau sudah begitu banyak kegiatan yang muncul di mana-mana dan kemudian menimbulkan persoalan transportasi, baru setelah itu muncul angkutan umum dengan berbagai jenis, maka bisa dikatakan kebijakan soal pengembangan angkutan umum ini sudah terlambat. Jikapun dipaksakan untuk ada, maka biayanya akan jauh lebih besar daripada menyiapkannya sejak jauh hari.

Artinya, penyediaan sarana dan prasarana transportasi, termasuk juga penyediaan angkutan umum baik dalam skala perkotaan maupun angkutan umum dalam skala regional, memang harus disiapkan terlebih dahulu untuk melayani kegiatan yang akan muncul kemudian.

Mengapa? Karena tadi sudah kita diskusikan bahwa diskursus selama bertahun-tahun mengetahui kalau kita ingin memiliki sistem transportasi yang baik, maka sarana dan prasarana transportasinya harus ada terlebih dahulu, termasuk juga angkutan umumnya harus sudah ada terlebih dahulu dibandingkan dengan kegiatan apa pun yang membangkitkan dan menarik kegiatan transportasi. Baik itu kegiatan di kawasan permukiman, kegiatan komersial, industri dan perdagangan, ataupun juga kegiatan sosial seperti kegiatan keagamaan, sekolah, atau juga hiburan.

Jadi kalau kita sudah sepakat bahwa angkutan umum itu harus ada terlebih dahulu dibandingkan dengan kegiatan yang membutuhkan angkutan umum, maka soal kereta api cepat, dan termasuk juga jalan tol serta mungkin bandara, tidak boleh kita lihat sebagai sebuah entitas sendiri yang kemudian kita persalahkan karena dia ada tetapi belum ada kegiatan penggunaannya.

Sekarang energi yang seharusnya kita alokasikan adalah bagaimana mengembangkan kawasan dalam skala kecil, menengah, maupun besar dengan berbagai macam kegiatan, baik itu kegiatan industri, perdagangan, pemukiman, dan lain sebagainya, termasuk juga budaya dan pariwisata, yang berada di sekitar fasilitas transportasi tersebut yang harus dikembangkan secara bertahap dari waktu ke waktu.

Karena kita tahu bahwa jumlah penduduk akan terus meningkat, kegiatan ekonomi akan semakin beragam, dan keinginan orang untuk tinggal di mana pun juga semakin tinggi, ditambah juga dengan perilaku mobilitas yang semakin meningkat, sudah pasti hal ini akan membutuhkan fasilitas transportasi yang memadai.

Karena kita dulu tidak ingin bangsa ini terlambat dalam menyediakan infrastruktur transportasi, maka berbagai macam sarana dan prasarana tersebut dibangun. Bahwa sekarang ini ada kesan terbengkalai, maka sesungguhnya bukan terbengkalai, tetapi sarana dan prasarana ini menunggu adanya kegiatan yang akan dibangun oleh berbagai pihak di kawasan sekitarnya, baik dalam skala kecil, menengah, maupun skala besar, untuk dilayani oleh infrastruktur transportasi tersebut.

Jadi cara pandangnya bukan soal eksistensi infrastruktur transportasi, tetapi isunya adalah bagaimana mengakselerasi pengembangan kawasan yang ada di sekitar infrastruktur tersebut agar dapat berkembang dan bertambah nilainya, termasuk nilai dari ruang dan kegiatan yang ada di dalamnya.

Kalau kita sekarang ini memperdebatkan soal adanya infrastruktur transportasi tersebut, maka ini berarti kita kembali ke cara pandang lama kita, di mana perhatian pada transportasi baru ada ketika sudah muncul permasalahan akibat adanya keragaman kegiatan yang tersebar di mana-mana dan tidak ada pengendalian pemanfaatan ruangnya, yaitu sarana dan prasarana transportasi.

Dulu banyak pihak yang memiliki perhatian pada sektor transportasi mengatakan bahwa pemerintah sangat lambat dalam merespon kebutuhan kegiatan transportasi masyarakatnya. Karena di situ kita melihat begitu banyak persoalan transportasi mulai dari kemacetan lalu lintas, kerusakan jalan dan banjir, dan tidak adanya angkutan umum yang maju dan modern.

Dan sekarang semua sudah di-ada-kan secara bertahap, dan tentunya ada yang dibangun oleh pemerintah dan ada yang dibangun oleh pihak swasta, atau gabungan keduanya. Karena itu, mari kita manfaatkan keberadaan infrastruktur tersebut.

Energi kita jangan dihabiskan soal eksistensi transportasi, tetapi energi kita perlu kita gunakan untuk membicarakan pengembangan kawasan yang ada di sekitarnya.

Karena jika kita membicarakan soal eksistensi transportasi, maka itu sudah tidak relevan lagi dan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan dulu. Sekarang masanya bagi kita untuk mendorong berbagai pihak agar dapat mengembangkan kawasan yang ada di sekitarnya, karena kalau kawasan sekitarnya berkembang maka akan ada penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang sangat besar, baik itu pada saat pembangunan dan apalagi pada saat beroperasi.

Juga akan mengakselerasi harga lahan yang akan berefek pada peningkatan pajak bumi dan bangunan, dan pada akhirnya akan secara bertahap dapat menurunkan tingkat kemiskinan. Sehingga target pemerintah, di mana Indonesia akan dapat memiliki pertumbuhan ekonomi hingga 8%, akan bisa tercapai.

Jadi kita harus hentikan diskursus soal eksistensi transportasi, jikapun ada, itu dalam skala yang kecil saja. Diskursus besar kita harus mengarah kepada pengembangan kawasan yang berada di koridor jalan tol, jalur kereta api, pelabuhan maupun bandara.

Harus dipikirkan bagaimana caranya mempercepat pertumbuhan kawasan tersebut agar dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, membantu menurunkan tingkat pengangguran, menaikkan jumlah investasi, dan pada akhirnya akan memacu pertumbuhan ekonomi dengan angka yang tinggi.***