Kesaksian Nelayan yang Selamat: Tsunami Diawali Suara Letusan Gunung Anak Krakatau dan Runtuhan Lahar
Zainal Asikin |Teraslampung.com LAMPUNG SELATAN — Puji (29), nelayan warga Desa Kenali, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan (Lamsel) merupakan salah satu nelayan selamat dari maut dari terjangan gelombang tsunami setinggi 10-12 meter yang meng...

Zainal Asikin |Teraslampung.com
LAMPUNG SELATAN — Puji (29), nelayan warga Desa Kenali, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan (Lamsel) merupakan salah satu nelayan selamat dari maut dari terjangan gelombang tsunami setinggi 10-12 meter yang menghantam perahunya bersama nelayan lainnya di di kawasan Gunung Anak Krakatau (GAK), Sabtu malam,22 Desember 2018.
Saat ditemui di Pelabuhan Canti, Kecamatan Rajabasa, Puji menceritakan, peristiwa gelombang tinggi tsunami itu, diawali dengan suara letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) dan adanya runtuhan lahar. Berselang lima menit kemudian, tiba-tiba gelombang tinggi tsunami itu langsung menerjang perahu yang ditumpanginya bersama nelayan lainnya.
“Para nelayan yang saat itu mencari ikan, ada sekitar 15 orang yakni dari Desa Kenali dan Sukarja. Kami menangkap ikan menggunakan perahu jukung, dan posisinya juga saling berdekatan,”ucapnya, Senin 24 Desember 2018.
Puji mengaku, ketika gelombang tinggi tsunami itu datang, ia bersama para nelayan lainnya sedang menangkap ikan di kawasan perairan Gunung Anak Krakatau (GAK).
“Jarak kami mencari ikan dari GAK itu, ya sekitar 2 Km itulah,”ujarnya.
Puji mengutarakan, terjangan gelombang tinggi tsunami pertama, membuat perahu jukung yang ditumpangi para nelayan tersebut oleng dan hilang kendali. Taklama kemudian, datang lagi hantam gelombang kedua dan saat itulah perahu terguling dan terbalik hingga semua nelayan tercebur ke laut.
“Saat hantaman gelombang yang ketiga setinggi 10-12 meter, kami semua langsung terbawa arus ombak dan terpencar hingga tak tahu lagi arahnya ke mana,”bebernya.
Setelah terseret arus ombak, kata Puji, malam itu ia berusaha mencoba untuk tetap tenang sembari mencari pegangan kayu berharap agar bisa terapung di tengah lautan meski suasana malam itu gelap gulita dan begitu menakutkan.
“Malam peristiwa itu, saya berusaha untuk tenang dan mencari pegangan. Alhamdulilah, saya dapat pegangan kayu supaya bisa tetap terapung selama beberapa di tengah lautan,”ungkapnya.
Kemudian keesokan harinya, Minggu 23 Desember 2018 siang sekitar pukul 11.15 WIB, ia terdampar ke sebuah Pulau yang tidak diketahui nama dari pulau tersebut. Ternyata di pulau itu, sudah ada tiga orang rekannya yang juga ikut terdampar.
“Ya di pulau itu, hanya ada saya dan juga tiga orang teman nelayan saya yang selamat,”katanya.
BACA: Krakatau, Laboratorim Alam di Tengah Laut
Sementara untuk 12 orang rekannya yang juga nelayan, tidak diketahui keberadaannya. Karena saat peristiwa gelombang tinggi tsunami itu datang, semua yang ada di dua perahu itu tergulung ombak dan sudah tidak tahu lagi seperti apa dan ada dimana.
“Saya tidak tahu nasib ke-11 teman kami itu, apakah mereka selamat dan masih hidup atau sudah meninggal. Saya berharap, mudah-mudahan mereka juga selamat,”harapnya.
Selanjutnya, ia bersama ketiga orang temannya diselamatkan oleh nelayan yang melintas di pulau tempatnya terdampar menggunakan perahu motor dibawa ke Pulau Sebesi. Hingga akhirnya, ia bersama rekannya dan juga warga Pulau Sebesi yang sempat mengungsi saat peristiwa gelombang tinggi bisa menyeberang menuju ke Pelabuhan Canti.
“Kapal motor yang membawa saya dan temannya serta warga Pulau Sebesi itu, bisa keluar dari Pulau Sebesi baru siang ini tadi. Kalau sebelumnya, katanya tidak ada sama sekali,”terangnya.