Opini  

Ketika Celoteh tentang Banjir, Sampah, dan Layanan Dasar Terdengar dari Lorong-lorong Kampung Kota: Saatnya Kolaborasi Menata Permukiman di Kawasan Perkotaan Menuju SDG 11

Bagikan/Suka/Tweet:

Dr.Eng. Fritz Akhmad Nuzir. S.T., M.A.
Direktur Center for Sustainable Development Goals Studies (SDGs Center) Universitas Bandar Lampung, Wakil Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Provinsi Lampung

Di banyak kota, permukiman sering hanya dipandang sebagai urusan tempat tinggal. Padahal, di sanalah kehidupan kota benar-benar diawali. Setiap pagi dimulai dari rumah, dari gang-gang kecil yang dilalui anak-anak ke sekolah, hingga selokan yang kadang mampet oleh tumpukan sampah dan luput dari perhatian. Sayangnya, banyak kawasan permukiman, terutama yang berada di pinggiran dan kawasan informal, masih diabaikan dalam arah pembangunan kota.

Di Provinsi Lampung, pertumbuhan kota-kota seperti Bandarlampung dan Metro menunjukkan dinamika urbanisasi yang pesat. Namun, pertumbuhan ini tidak selalu diiringi dengan pemerataan pembangunan permukiman. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa sekitar 5,75% rumah tangga di Provinsi Lampung tinggal di hunian yang dikategorikan kumuh. Di Bandarlampung, terdapat 30 kelurahan kumuh dengan luas mencapai 297,25 hektar, mencerminkan ketimpangan infrastruktur dan layanan dasar di pusat pertumbuhan utama provinsi.

Kota Metro, yang dikenal lebih tertata, juga tidak lepas dari tantangan. Di sana, kawasan kumuh tersebar di kelurahan seperti Hadimulyo Barat dan Hadimulyo Timur, dengan total luas mencapai 92,27 hektar. Adapun di Kabupaten Mesuji, angka hunian kumuh bahkan mencapai 18,27%, tertinggi di antara seluruh kabupaten/kota di Lampung, memperlihatkan betapa kabupaten dengan karakter kawasan perkotaan pun tak luput dari masalah ini. Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan bahwa tantangan permukiman di Lampung bukan semata soal infrastruktur, tetapi juga menyangkut kesenjangan sosial, keterlibatan warga, dan arah pembangunan yang belum benar-benar berpihak pada kelompok rentan.

Saat ini pula tidak sedikit kawasan permukiman di Lampung yang juga berhadapan dengan risiko banjir yang makin memburuk akibat perubahan iklim dan buruknya tata kelola drainase kota. Dan, seperti yang sering terjadi di kota-kota besar lainnya, kawasan kumuh dan permukiman informal adalah wilayah yang paling rentan. Rumah-rumah berdempetan di bantaran sungai, jalan lingkungan yang tak punya saluran air layak, hingga minimnya ruang terbuka hijau menjadikan hujan deras sebagai bencana tahunan.

Di Bandarlampung, banjir tidak lagi hanya persoalan debit air, tapi juga persoalan arah pembangunan kota yang abai pada kawasan pinggiran. Sementara di Metro dan daerah peri-urban lainnya, genangan di permukiman padat makin sering terjadi, namun kerap tak masuk radar prioritas pembangunan. Ketimpangan ini menjadikan banjir bukan semata bencana alam, tapi bencana tata kelola.

Permasalahan permukiman di kawasan perkotaan Provinsi Lampung pada dasarnya bermuara pada tiga hal utama. Pertama, persoalan tata kelola yang belum kolaboratif dan partisipatif, di mana perencanaan dan pengambilan keputusan seringkali tertutup dan sarat kepentingan golongan, tidak sepenuhnya membuka ruang bagi suara warga dan kelompok rentan. Kedua, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih timpang, dengan banyak keluarga berpenghasilan rendah yang tinggal di permukiman informal tanpa kepastian hukum atas lahannya.

Ketiga, kondisi layanan dasar yang belum merata: air bersih, sanitasi, drainase, dan akses jalan lingkungan masih menjadi masalah kronis di banyak wilayah, memperkuat karakteristik kawasan kumuh. Tanpa pembenahan yang menyentuh ketiga aspek ini secara bersamaan, pembangunan permukiman yang adil, inklusif, dan berkelanjutan akan terus tertunda.

Kolaborasi sebagai Jalan Tengah Pembangunan Permukiman

Menjawab kompleksitas persoalan permukiman di kawasan urban bukan perkara satu sektor, satu dinas, atau satu anggaran. Ini adalah persoalan lintas, yang menyentuh urusan ruang, sosial, lingkungan, hingga perlindungan hak dasar warga. Oleh karena itu, pendekatan yang dibutuhkan bukan sekadar teknis, melainkan kolaboratif. Kota tidak bisa dibangun dengan pola pikir sektoral dan mentalitas silo. Dalam konteks inilah, pendekatan kolaborasi multipihak atau pentahelix, yang melibatkan pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media, menjadi kunci utama.

Kolaborasi ini menjadi semakin relevan ketika kita menautkannya dengan Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 11: Kota dan Permukiman yang Inklusif, Aman, Tangguh, dan Berkelanjutan. Target ini tidak bisa dicapai hanya dengan membangun rumah atau merapikan drainase. Target ini menuntut pembaruan cara pandang, bahwa warga bukan sekadar penerima manfaat, tetapi subjek yang punya pengetahuan lokal, pengalaman hidup, dan kapasitas untuk terlibat. Namun, kolaborasi saja tidak cukup jika tidak menyertakan pendekatan yang sadar terhadap ketimpangan struktural yang selama ini terjadi.

Di banyak wilayah perkotaan, perempuan, penyandang disabilitas, kelompok lansia, dan komunitas marjinal lainnya masih sering tak terlihat dalam kebijakan permukiman. Di sinilah pentingnya prinsip GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion) sebagai fondasi etika dan operasional dalam setiap tahapan pembangunan. Tidak ada kota yang benar-benar inklusif jika sebagian warganya tidak punya ruang untuk menyuarakan kebutuhan dan haknya.

Belajar dari Inisiatif, Bergerak dari Lokal

Beberapa inisiatif telah menunjukkan bahwa pendekatan kolaboratif bukan sekadar wacana. Proyek Kampung Susun Akuarium di Jakarta menjadi contoh penting bagaimana komunitas lokal bisa menjadi subjek dalam proses perencanaan dan pembangunan. Kampung ini merupakan contoh transformasi kawasan permukiman informal menjadi hunian vertikal yang layak. Dengan dukungan kebijakan yang inklusif, warga yang sebelumnya tergusur bisa kembali dan tinggal di hunian yang layak serta sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya mereka.

Di tingkat global, kota Medellin di Kolombia telah berhasil mentransformasi kawasan kumuh melalui integrasi transportasi publik, ruang terbuka hijau, dan fasilitas umum yang mudah diakses. Pendekatan ini menunjukkan bahwa dengan perencanaan yang terintegrasi dan partisipatif, kota dapat menjadi lebih inklusif dan layak huni bagi semua warganya. Praktik baik yang lain, misalnya yang terjadi di Ghana Ketika pemerintah Kota Accra mengimplementasikan pendekatan kolaboratif dengan warga dalam merancang dan menerapkan pedoman pengelolaan lahan rawan banjir di permukiman informal. Upaya ini mencakup peningkatan infrastruktur dan integrasi pekerja informal ke dalam sistem pengelolaan sampah kota.

Praktik-praktik tersebut sejalan dengan tujuan SDG 11 yang menekankan pentingnya menjadikan kota dan permukiman inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. Keterlibatan berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, sektor swasta, dan akademisi, serta penerapan prinsip GEDSI, menjadi kunci dalam mewujudkan permukiman yang adil dan setara bagi semua.

Rekomendasi: Menata Permukiman dari Bawah, Bersama, dan Berdaya

Untuk menjawab kompleksitas masalah permukiman di kawasan perkotaan, pendekatan yang dibutuhkan tidak bisa hanya bersandar pada kebijakan top-down. Perlu langkah yang membumi, partisipatif, dan realistis, namun tetap menyuntikkan unsur inovasi agar tak sekadar mengulang pola lama yang mandek di atas kertas.

Langkah pertama adalah memastikan bahwa proses perencanaan dan perbaikan permukiman dilakukan bersama warga. Mereka bukan objek pembangunan, tetapi pemilik ruang hidup itu sendiri. Kegiatan seperti pemetaan kampung, diskusi terbuka di balai warga, hingga lokakarya kecil tentang rencana tata lingkungan bisa menjadi awal dari proses bersama yang menghidupkan rasa memiliki. Di dalamnya, suara perempuan, penyandang disabilitas, kelompok muda, hingga para penghuni yang menempati lahan tanpa status legal perlu benar-benar didengar dan diberi ruang untuk menentukan prioritas. Bukan hanya dicari dan didekati saat hendak Pilkada tiap 5 tahun sekali.

Kedua, forum-forum kolaboratif di tingkat kampung atau kelurahan perlu difungsikan secara lebih aktif. Bukan sekadar forum formal seremonial, tetapi ruang dialog yang bisa mempertemukan warga dengan perangkat daerah, pegiat lingkungan, pelaku usaha kecil, bahkan akademisi dan mahasiswa lokal. Forum semacam ini dapat menjadi simpul untuk mempercepat respons dan membangun rasa saling percaya di antara elemen pemangku kepentingan kota.

Aspek penting lainnya yang tidak boleh luput adalah pengelolaan sampah rumah tangga. Di banyak kawasan padat, sampah adalah persoalan harian yang sering diabaikan dalam rencana permukiman. Padahal, melalui penguatan ekosistem bank sampah, warga dapat didorong untuk memilah, mengelola, bahkan mengolah sampah menjadi sumber daya. Bank sampah bukan sekadar tempat menabung plastik, tetapi bisa menjadi wadah edukasi lingkungan, titik temu sosial, hingga motor ekonomi mikro berbasis komunitas. Pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat, sekolah, dan pelaku usaha daur ulang lokal dapat bersinergi untuk mengembangkan jejaring bank sampah yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Selain itu, pemanfaatan teknologi tepat guna yang murah dan relevan dengan kondisi lokal harus menjadi bagian dari strategi. Inovasi seperti pengumpulan air hujan, MCK komunal ramah disabilitas, hingga sistem peringatan dini banjir berbasis komunitas adalah contoh solusi kecil yang bisa berdampak besar jika didukung oleh ekosistem kolaboratif.

Membangun permukiman yang adil bukan tentang proyek besar atau jargon panjang. Ia dimulai dari langkah-langkah kecil yang dirumuskan bersama, dikerjakan bersama, dan dijaga bersama. Tentu, membenahi persoalan permukiman bukan perkara yang selesai dalam satu kali forum atau satu periode program. Ia menuntut keberlanjutan, keberanian, dan kepekaan, terutama untuk mendengar suara dari lorong-lorong kota yang selama ini tak terdengar.

Kita semua, baik yang duduk di lembaga, yang mengajar di kampus, yang hidup di kampung padat, maupun yang bekerja di media atau organisasi masyarakat, punya peran untuk ikut merumuskan arah permukiman ke depan. Barangkali bukan jawaban yang kita butuhkan saat ini, melainkan kesediaan untuk membuka ruang bertanya: kota seperti apa yang ingin kita huni bersama, dan siapa saja yang berhak terlibat dalam merancangnya?