Oleh: Budi Hutasuhut
Gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Sulit menolak nomenklatur perkara itu, apalagi mengabaikannya. Jadi, ketika Gubernur memerintahkan agar pemerintah daerah kabupaten/kota merevisi peraturan daerah (perda) atau malah mencabut perda yang ada, suara yang digemakan itu adalah suara perintah pusat. Kekuatannya jelas dan tegas, diatur dalam konstitusi yang ada. Apapun alasannya, kabupaten/kota harus mematuhinya.
Salah satu kewenangan Gubernur berkaitan dengan perkara pengelolaan keuangan negara di kabupaten/kota yang direkam dalam APBD. Sebelum Perda tentang APBD disahkan oleh legislatif di kabupaten/kota, Tim APBD (TAPBD) harus mengirimkannya ke provinsi. TAPBD provinsi segera menganalisisnya, item per item.
Biasanya, tidak semua APBD yang diajukan TAPBD kabupaten/kota akan langsung disetujui. Selalu ada perbaikan, terutama menyangkut kaitan setiap tahapan penyusunan APBD itu dengan RPJMD kabupaten/kota, RPJMD provinsi, dan RPJM nasional.
Sering, TAPBD kabupaten/kota pusing tujuh keliling. Revisi berkali-kali, tapi tetap tidak mendapat persetujuan provinsi. Revisi lagi, lagi dan lagi. Akhirnya, setelah kepepet, APBD kabupaten/kota kemudian disetujui. Tak jarang kabupaten/kota berkeluh kesah.
Provinsi acap lelet mengevaluasi dan menganalis APBD yang diajukan. Tapi mesti dimaklumi, karena APBD kabupaten/kota sering datang serentak pada waktu bersamaan. Penyebabnya, TAPBD kabupaten/kota sering telat menyusun KUA-PPAS, dan baru melakukannya di akhir tahun anggaran.
Walaupun begitu, sekaitan dengan keluarnya Surat Keputusan Gubernur Lampung Nomor : G/29/VI.02/HK/2017 tentang Pembatalan beberapa materi dalam Peraturan Daerah Kota Bandarlampung Nomor 13 Tahun 2016 tentang APBD Tahun Anggaran 2017 dan Peraturan Walikota Bandarlampung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penjabaran APBD tahun anggaran 2017, kita pantas ikut bermenung.
Hal pertama yang penting direnungkan adalah memaknai kalimat “pembatalan beberapa materi dalam Perda Nomor 13 Tahun 2016 tentang APBD Kota Bandar Lampung Tahun Anggaran 2017”. Kalimat itu ada dalam surat keputusan Gubernur Lampung, di dalam sebuah peraturan yang akan dipakai membatalkan APBD Kota Bandar Lampung Tahun Anggarran 2017. Padahal, saat ini Januari 2017, sudah lewat batas waktu revisi APBD sebagaimana dalam aturan yang dibuat pemerintah pusat. Artinya, kalimat “pembatalan beberapa materi…” itu bukan pilihan diksi yang tepat untuk dijadikan peraturan mengikat. Itu lebih menunjukkan sikap meragu Gubernur Lampung dalam membuat peraturan.
Gubernur Lampung mestinya membuat peraturan yang tegas dan mengikat. Misalnya, Gubernur Lampung mengeluarkan keputusan yang isinya mencabut Perda tentang APBD Kota Bandar Lampung Tahun Anggaran 2017 dan menyatakan APBD 2017 itu tidak bisa dipakai.
Mencabut seluruhnya itu lebih kesatria daripada memakai alasan “pembatalan beberapa materi…” Sebab, sebagian atau keseluruhan materi, sama saja berarti membatalkan APBD. Jika tidak, taruhannya adalah tindak kriminalitas dalam mengelola keuangan negara.
Sudah tentu, setiap keputusan punya resiko. Begitu Gubernur membatalkan APBD Kota Bandar Lampung, maka APBD tersebut tidak bisa dipakai. Dengan sendirinya, Kota Bandar Lampung harus kembali ke APBD tahun sebelumnya. Sangat pasti, kekacauan baru akan muncul. Ada ketidakharmonisan pada target-target pembangunan daerah. Lebih parah lagi, TAPBD Kota Bandar Lampung mesti mengatur ulang segala sesuatunya.
Pada akhirnya, rakyat yang dirugikan. Gubernur Lampung yang mesti bertanggung jawab. Tapi, dengan keluarnya Surat Keputusan Gubernur Lampung Nomor : G/29/VI.02/HK/2017, ada kesan Gubernur Lampung tidak memikirkan dampak kebijakannya kepada rakyat Kota Bandar Lampung.Kenapa Gubernur Lampung harus setengah hati!?