Oleh Syarief Makhya*)
Menjelang peringatan 77 tahun Indonesia merdeka, Pemerintah Kota Bandarlampung bersama Forkopimda gelar ikrar dan penandatanganan kesetiaan jamaah Khilafatul Muslimin kepada NKRI (15/8). Dalam acara itu dilakukan ikrar yakni mencabut bai’at, dari pimpinan Khilafatul Muslimin dan berjanji setia, kepada pemerintah dan negara kesatuan republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang dasar 1945.
Ikrar setia kepada NKRI itu sebagai fakta bahwa selama 77 tahun Indonesia merdeka masih ada sekelompok masyarakat di Indonesia yang masih mimpi atau bercita-cita untuk menentukan pilihan idiologi lain atau tidak mau tunduk terhadap konsensus atau kesepakatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Kendati pemerintah melakukan tindakan keras terhadap sekelompok masyarakat atau pada jamaah tertentu yang tidak loyal terhadap Pancasila dan UUD 1945, dan secara kelembagaan dibentuk BNPTuntuk melakukan pencegahan dan penindakan, tapi fakta politik gerakan tersebut kerap muncul.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini misalnya pemerintah melarang ormas seperti HTI, ISIS, Aliansi Nasional Anti Syiah (Annas), Jamaah Ansarut Tauhid (JAT), Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), dan terakhir gerakan Khilafatul Muslimin.
Apakah dengan keberadaan dan peran BNPT, ikrar kepada NKRI, ormas-ormas Islam garis keras tersebut akan loyal terhadap NKRI, Pancasila dan UUD 1945 ataukah akan tetap muncul gerakan Islam garis keras tersebut? Para ahli mencoba mencari akar persoalan tersebut bahwa gerakan tersebut sebagai konsekuensi dari logis bagi kebebasan yang ada dan radikalisme dan terorisme tumbuh karena dua faktor fundamental yakni deprivasi ekonomi dan ketidakadilan politik. (Fatkhuri,2017)
Dalam konteks ekonomi, faktor kemiskinan mendorong orang berbuat radikal karena rasa frustasi berkepanjangan dan kesenjangan ekonomi masyarakat yang diakibatkan oleh kebijakan diskriminatif pemerintah juga berkontribusi terhadap tindakan radikal. Sementara konteks politik, penolakan terhadap sistem politik sekuler memicu kelompok radikal berupaya untuk mengganti sistem politik tersebut dengan syariah Islam. (Fathuri, 2017).
Masalah kemiskinan, pemerataan ekonomi dan penguasaan sumberdaya oleh segilitir orang serta persoalan akses ekonomi-politik yang dikuasai oleh mereka yang memiliki kedekatan dengan penguasa menjadi persoalan mendasar di negri ini yang menjadi pemicu munculnya gerakan-gerakan politik yang radikal dan eksklusif.
Persoalan tersebut hingga sekarang masih menjadi persoalan yang sulit untuk diatasi, tetapi bisa ditelusuri penyebabnya.
Sikap partai politik yang pragmatis dan mekanisme pencarian dukungan terhadap penguasa masih sangat tergantung pada mayoritas masyarakat yang tidak rasional dan emosional menjadikan daya tahan rezim yang berkuasa menjadi sangat tergantung kekuatan masyarakat tersebut. Kondisi inilah yaitu persoalan profesionalitas, merit sistem, kememilikan sumber daya, jenjang sesorang karier birokrasi pemerintahan dan kampus prosesnya menjadi tidak netral dan sangat politis. Dampaknya menjadi tidak sehat dalam persaingan; siapa yang memiliki akses politik, merekalah yang diuntungkan.
Isu Agama
Faktor lain yaitu masalah persoalan pilihan idiologis atau keyakinan dari jamaah tertentu yaitu mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung.
Kelompok ini, jumlahnya secara kuantitas tidak banyak, ormas Islam yang berketetapan mengambil pilihan Islam Wasyatiyah atau Islam moderat semisal NU dan Muhammadiyah, serta ormas Islam lain jumlahnya jauh lebih besar. Artinya, di level masyarakat, Islam garis keras tidak menjadi kekuatan nyata dalam mempengaruhi masyarakat secara luas, namun karena gerakan politiknya sangat radikal dan berhadapan langsung dengan negara sehingga dianggap mengancam stabilitas politik dan menjadi ancaman serius bagi kepentingan kelompok masyarakat non-Islam.
Keberadaan ormas Islam garis keras, secara idiologis tidak mudah untuk diberangus. Pemerintah sudah mengeluarkan UU Penodaan Agama, UU Ormas, UU Tindak Pidana Teorisme, dan aturan lainnya termasuk dibentuknya BNPT adalah upaya untuk mengambil tindakan, mencegah dan mengantisipasi munculnya gerakan Islam radikal. Namun, gerakan Islam radikal kerap muncul. Terakhir, misalnya di Lampung muncul gerakan Khilafatul Muslimin.
Upaya untuk menghentikan gerakan Islam radikal dengan melakukan dialog di antara ormas Islam atau dengan kelompok akademisi, dan di lapisan masyarakat relatif tidak terlalu intens dilakukan. Juga, menyebarluaskan pemikiran Islam Wasyatiyah atau moderasi beragama tidak dilakukan secara meluas khususnya pada kelompok ormas Islam garis keras. Padahal, dengan cara dialog ini adalah metoda yang cukup efektif untuk berdebat dan mendiskusikan faham-faham radikal dalam perspektif membangun keberagaman, negara bangsa, dan Pancasila sebagai bagian dari konsensus berbagai elemen bangsa.
Melumpuhkan Islam garis keras atau Islam radikal, tidak boleh institusi negara melakukan intervensi terlalu jauh pada ranah kepercayaan yang dinilai prinsip, semisal menganalogikan Tuhan itu sama saja dalam pemahaman ajaran agama.
Mendialogkan pemahaman bernegara dan bermasyarakat yang sifatnya urusan duniawi dari sudut pandangan pemahaman masing-masing agama jauh lebih efektif untuk membangun kesadaran kolektif dalam membangun negara bangsa. Selain itu, Pancasila harus betul-betul diimplementasikan, tidak seperti sekarang yang mengalami krisis idealisme, sehingga Pancasila bukan hanya sebatas simbolik tetapi hadir nyata dalam berbagai aspek ekonomi, politik, kebudayaan dan kemasyarakatan.***
*) Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Lampung dan Wakil Ketua PW Muhammadiyah Lampung