Kisah Indomie

Bagikan/Suka/Tweet:

Ukim Komarudin*

Mungkin terlalu banyak nama sahabat jika diingati satu demi satu. Di setiap momen atau kesempatan, ia tampil dan punya ceritanya sendiri-sendiri. Yang jelas, ia tersimpan di lubuk hati yang terdalam dan tak lekang oleh waktu.

Ini hanya serpihan dari kumpulan sahabat. sebut saja, Oyos dan Rokhmat. Sengaja kupanggil nama pendeknya. Biar lebih “ning” dan selalu memberi getar di hati.

Aku sengaja berdekat-dekat dengan mereka karena mereka memiliki kelebihan masing-masing. Oyos, sangat cerdas. Ia sepertinya terlahir sebagai penyair. Tulisannya berkualitas, orisinil, dan mengagetkan. Mungkin karena referensinya, atau bisa jadi karena gaulnya dengan orang-orang intelek. Diduga, aku pamrih berdekatan dengannya karena ingin tertular kehebatannya. Sejujurnya, dalam urusan bersastra, aku lebih sering jadi pengekornya.

Adapun Rokhmat, orangnya Ngganteng. Badannya bagus. tangannya mirip Rian Hidayat, bintang film remaja saat itu. Ia lebih berselera modern. Ia sering cerita film Jet Li yang ditontonnya di layar lebar. lain dengan Oyos yang lebih “jawani”, Rahmat memberi saya referensi selera mutakhir. Ia mengajak kami nonton film VCD yang kala itu membuat saya sangat terbelalak. Tetapi sejujurnya, diduga, saya berdekatan dengan Rahmat karena ingin ketularan nggantengnya.

Pengikat hati kami bertiga adalah kemiripan kami. ketiganya tidak begitu pandai mengelola uang. Prinsip menjalani hidup seperti air mengalir sering diterjemahkan sebagai sikap “menolong tanpa perhitungan.” Jadilah kami saling menolong, sebagai konsekuensi tanpa perhitungan itu.

Kisah ini dimulai ketika di suatu sore, Rokhmat mendatangi kami untuk keperluan makan sore. Secara jujur ia katakan tak memiliki uang sepeser pun buat makan. Celakanya, Oyos bokek, sementara uang dikantong saya hanya sebatas untuk ongkos berangkat mengajar. Akhirnya, kami rundingan. dan seperti biasanya, hasil rundingan sering membuat saya berkesulitan.

“Sekarang kamu berangkat mengajar. Siapa tahu malam ini honormu cair!”

“Tapi, ini malam tahun baru. Mana ada murid les mau belajar di tahun baru. Nanti saya ditertawakan!” saya berusaha menolak saran mereka.

“Tolong, berangkatlah. Nanti, kalau dapet uang itu. Kita semua bisa makan!”

Mendengar penuturan itu aku lemas. Meski malas, sore itu aku berangkat juga ke Bintaro,
ke tempat tinggal muridku.

Seusai shalat Magrib, aku sampai di pekarangan rumah mewah itu. Kulihat ke dalam Adit, muridku sudah berpakaian rapi. Aku semakin nggak enak hati. Kupikir, kedatanganku tidak pada waktunya. Dan benar saja. sekeluarga kaget ketika aku muncul di hadapan mereka.

“Yah… Pak guru datang? Kok datang sih Pak? Ini kan malam Tahun Baru!”

Aku terdiam merasa bersalah.

Untunglah Pak Chandra, ayahnya Adit memberi jalan tengah.”Begini saja. Menghargai Pak guru yang sudah datang jauh-jauh dari Rawamangun, kamu belajar saja sebentar. Mungkin 15 atau 30 menit, yah!”

Aku lega. dan akhirnya kami memang belajar sebentar. Entah mengapa, saat mengajar aku berharap sesuatu yang semestinya tidak boleh dilakukan oleh seorang guru. Usai belajar, aku menemui mereka yang sudah siap pergi.

“Pak guru, ada dua pilihan untuk Bapak. Ikut kami ke hotel merayakan malam tahun baru. Atau, Pak guru mau pulang?”

“Saya pilih pulang, Pak!” jawabku cepat. sejujurnya, kata dalam hatiku bukan itu. Aku ingat Oyos dan Rahmat di rumah.Sekelebat, harapan dibayar honorku bulan ini menguat.

“Kalau begitu, ini uang honor bulan ini dan ini … hadiah malam tahun baru.”

Aku bergetar menerima dua amplop putih itu. Entah bagaimana aku merasa malam itu indah sekali. Perjalanan pulang menggunakan bis 210 juga indah. Di kemacetan yang sangat, aku malah melihat lampu-lampu jalan seolah menari-nari.

Orang-orang yang berhimpitan di bus, di pinggir jalan, bunyi terompet, orang tertawa-tawa, semuanya juga tiba-tiba terasa harmoni. Dan …di depan hotel Grand Hyatlah kudapati semua keindahan itu mencapai klimaksnya.

Lampu-lampu mengangkasa, seolah menyibak gerbang langit. Megah. Mewah. Aku ingin turun sebentar, ingin berbaur seperti orang-orang. Tetapi urung. Lagi-lagi, wajah kedua sahabatku mengelebat.

Pukul 11.30 akhirnya aku sampai di tempat kos. Oyos lagi tidur-tiduran di ubin tanpa tikar, sementara Rokhmat asyik membaca. Kedatanganku mereka sambut dengan gembira. Kantong beragam rasa indomie segera mereka sergap. Entah bagaimana, sikap mereka membuat aku merasa jadi pahlawan.

“Sekarang kita berpesta!” teriak Oyos seraya menyalakan kompor.

Aku dan Rokhmat saling menatap. Kami tertawa-tawa sembari menyusul Oyos ke dapur.

Kami menyantap masakan yang Oyos sajikan. Usai makan, sambil merokok, Oyos membaca keras-keras puisinya, semetara aku dan Rokhmat hanya bisa terkekeh-kekeh.

Di luar, dentuman petasan bersahutan. Terompet melengking-lengking, bersahutan dengan teriakan orang-orang. Rupanya jam 12.00 telah terlampaui. Semua orang menyambut gembira datangnya tahun baru.

“Terlalu banyak orang yang harus diselamatkan!” Oyos menyindir.

Kami terdiam. Hanya doa dan harap, semoga tahun baru memberi kami kemudahan.***

* Kepala Sekolah SMP Labschool Kebayoran Baru, Jakarta Selatan