Kisah PT Ascho Menambang Pasir Gunung Anak Krakatau (2)

Tongkamg diparkir di sekitar Gunung Kratatau pada Oktober 2009. Kepala BKSDA Lampung (saat itu dijabat Ambar Dwiyono) mengaku tidak ada tongkang yang membawa pasir dari Gunung Anak Krakatau. (Foto Oyos Saroso HN/Dok The Jakarta Post)
Tongkamg diparkir di sekitar Gunung Kratatau pada Oktober 2009. Kepala BKSDA Lampung (saat itu dijabat Ambar Dwiyono) mengaku tidak ada tongkang yang membawa pasir dari Gunung Anak Krakatau. (Foto Oyos Saroso HN/Dok The Jakarta Post)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N. | Teraslampung.com

BANDARLAMPUNG–Lewat telepon seorang warga Pulau Sebesi mengabarkan pada 21 Oktober 2009 ada tongkang mengambil pasir dari Gunung Anak Krakatau. Ketika seminggu kemudian bertemu langsung dengan saya di sekitar Gunung Anak Krakatau, nelayan itu mengaku saat sosialisasi kepada warga, perusahaan yang membawa kapal dan tongkang itu mengatakan bahwa mereka akan melakukan mitigasi bencana di Gunung Anak Krakatau.

BACA: Kisah PT Ascho Menambang Pasir Gunung Anak Krakatau (1)

“Pada 18 Oktober kami diundang acara syukuran. Katanya untuk minta berkah kepada Syekh Dapur—sosok yang hidup pada abad 19 yang diyakini sebagai ‘penunggu’ Gunung Anak Krakatau—agar aktivitas proyek lancear. Katanya hanya akan memasang alat, tapi ternyata dari alat berupa pipa besar itu kemudian keluar butiran pasir dan dimasukkan ke tongkang,” kata nelayan yang namanya sengaja saya lindungi itu.

“PT Ascho memotong seekor kambing untuk dijadikan sarana pesta syukuran. Banyak warga Pulau Sebesi yang diundang. Pengambilan pasir mulai dilakukan pada 20 Oktober 2009,” tambahnya.

Saya penasaran. Ketika bertemu Direktur PT Ascho Suharsono dia mengaku bahwa mitigasi bencana di Krakatau melibatkan ahli geologi. Saya pun mengecek kepada Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung, Prof. Dr. Surono (sekarang sudah pensiun).

Surono, yang belakangan namanya dikenal sebagai Mbah Rono,  mengaku tidak pernah memberikan izin mitigasi bencana dengan penambangan di Gunung Anak Krakatau kepada pihak mana pun.

“Yang mau menambang di Krakatau banyak.Bahkan ada yang mengaku sebagai orang dekatnya mantan Menteri  Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro. Namun, semua permintaan izin itu kami tolak karena Gunung Anak Krakatau termasuk kawasan cagar alam,” kata Surono.

“Kalau izin saya berikan, maka saya akan melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup dan dikecam masyarakat dunia. Sebab, Gunung Anak Krakatau sudah ditetapkan sebagai World Heritage Site oleh Unesco pada 1992,” tambahnya.

Manajer kampanye Walhi Pusat, Mukri Friatna, mengatakan satu-satunya cara untuk menyiasati Undang-Undang sehingga bisa melakukan penambangan pasir adalah dengan melakukan mitigasi bencana. Hal itulah yang dilakukan oleh PT Ascho Unggul Pratama.

“Jadi, mitigasi bencana hanyalah kedok untuk mengambil pasir. Kalau kasus ini tidak diungkap sejak awal maka akan ada jutaan meter kubik pasir dari Gunung Anak Krakatau yang disedot dan dijual ke Cina,” kata Mukri.

Menurut Mukri, harga jual pasir Gunung Anak Krakatau termasuk tinggi karena merupakan pasir berkualitas nomor satu di dunia. Selain mengandung bijih besi, pasir Krakatau juga mengandung unsur titan yang tinggi.

“Itulah sebabnya pengusaha di Cina berani membeli pasir dari Krakatau seharga Rp 300/kg. Bayangkan saja berapa yang akan didapatkan oleh PT AUP jika dia berhasil mengirim tiga tongkang saja ke Cina. Satu tongkang bisa memuat pasir sebanyak 10 ribu sampai 15 ribu meter kubik,” kata Mukri.

Mukri mengatakan itu pada 2009. Artinya, harga pasir Krakatau pada 2014 tentu akan lebih mahal lagi.

*Materi tulisan ini sudah pernah dimuat di koran The Jakarta Post