Kisah Sejoli Mengembangkan Hutan Ulayat (1)

Keluarga Anshori Djausal-Herawati Soekardi
Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N.

Setelah sukses dengan taman kupu-kupunya, Herawati kini berkonsentrasi untuk mengajari penduduk asli Lampung—yang umumnya memiliki tanah yang luas—untuk melakukan konservasi dan penganekaragaman tanaman.

Selama ini, kata Herawati, masyarakat Lampung asli yang tinggal di kampung banyak menelantarkan lahannya. Kalaupun lahan itu ada tanamannya, isinya biasanya hanya lada atau kopi yang nilai ekonomisnya terbatas.

Karena kebetulan Anshori Djausal, suami Herawati, adalah salah satu pemuka adat suku Bunga Mayang (terdiri atas 72 kampung di kabupaten Lampung Utara), pergaulan Herawati dengan warga kampung termasuk sangat dekat. Bersama suaminya Herawati sering datang ke desa-desa. Herawati sedih ketika menyaksikan warga desa memiliki tanah yang luas tetapi kehidupannya memprihatinkan. Warga Bunga Mayang, kata Herawati, rata-rata memiliki tanah  di atas 5 hektare. Bahkan, banyak yang lahannya mencapai belasan hektare.

Sejak beberapa tahun lalu, mulailah Herawati memulai memberikan penyuluhan kepada para warga di daerah Bunga Mayang. Selain mengajarkan arti pentingnya konservasi lahan, Herawati juga mengajari warga cara melakukan penganekaragaman tanaman di atas lahan milik  penduduk.

“Alhamdulillah, sekarang banyak warga yang sudah sadar. Mereka tidak lagi membiarkan berhektare-hektare tanahnya menganggur, tetapi sudah ditanami dengan aneka macam tanaman sehingga lebih produktif. Perlahan-lahan warga desa bangkit dari keterpurukan,” ujarnya.

Bersama warga Bunga Mayang, Herawati.juga menanam 200 ribu bibit yang terdiri dari 50 jenis tanaman. Mulai  rambutan, sirsak, alpukat, jeruk nipis, duku,  mangga, hingga durian. Herawati dan warga sekitar mulai melakukan pembibitan dari jumlah kecil. Mulai sepuluh, seratus, hingga mencapai ribuan bibit.

BACA: Kisah Sejoli Mengembangkan Hutan Ulayat (2)

Menurut Herawati, biaya untuk pembibitan sebenarnya sangat murah karena bibitnya mudah didapatkan. Dengan cara pembibitan seperti itu, biaya pembibitan tidak sampai Rp 100/batang karena pengisian tanahnya per polybag (berisi satu biji bibit) hanya Rp 50.

“Untuk membibit durian, misalnya, tinggal mengumpulkan saya biji buah durian di tempat penjualan durian. Kalaupun beli, lima ribu rupiah sudah dapat ribuan biji durian. Kalau ingin membibit sirsak juga tinggal pesan kepada penjual es canpur yang menyediakan sirsak,” ujarnya.

Setelah punya ratusan ribu bibit, Herawati pun bingung mau ditanam di mana. Kalau ditanam di lahannya jelas tidak cukup. Untunglah kemudian dia bertemu dengan pemimpin PT Bunga Mayang—sebuah perusahaan gula—di Kabupaten Lampung Utara.  Perusahaan itu mau menampung bibit itu untuk ditanam di sekitar danau-danau di areal perkebunan tebu. Kebetulan di areal kebun tebu perusahaan itu terdapat puluhan danau kecil yang tidak ditanami tebu. Di sekitar danau-danau kecil itulah bibit aneka tanaman itu ditanam.

Perusahaan gula itu tidak membeli, tetapi hanya menanam bibit aneka pohon buah itu, dengan perjanjian hasilnya akan dibagi bersama. Ketika panen Herawati mendapatkan jatah 10 persen, warga 50 persen, perusahaan 40 persen dari total hasil panen.

Budisantoso Budiman, salah seorang anggota Tim 13—lembaga asistensi advokasi konflik tanah yang dibentuk Pemda Lampung—mengatakan sistem kerja sama yang diterapkan warga Bungamayang dengan PT Bungamayang bisa mengurangi terjadi konflik lahan. Selama ini, kata Budi, warga sering merasa dirugikan karena masalah ganti rugi tanahnya yang dulu diambil oleh perusahaan gula dinilai belum tuntas.

Herawati mengaku, baik “proyek” taman kupu-kupu maupun upayanya untuk melakukan konservasi di tanah ulayat bukanlah proyek yang mendatangkan uang baginya.

”Kalau taman kupu-kupu, selain karena hobi, itu juga karena saya tertantang untuk menyelamatkan aneka spesies kupu-kupu dan melakukan konservasi lahan Gunung Betung. Sementara dalam program konservasi tanah ulayat, itu murni karena keinginan saya dan suami untuk membantu masyarakat meningkatkan perekonomiannya,” ujarnya.

BACA JUGA: Herawati Soekardi Djausal, Doktor Kupu-Kupu dari Gunung Betung