Klarifikasi Ade Armando soal Potong Leher jika Jokowi Kalah Pilpres

Bagikan/Suka/Tweet:

Pengantar Redaksi: Ade Armando, dosen Fisip Universitas Indonesia, merupakan salah seorang akademikus yang selama ini dikenal getol mendukung Jokowi melalui media sosial. Ia sangat aktif mempromosikan capres Jokowi. Mengambil posisi jelas untuk mendukung Jokowi bukannya tanpa risiko bagi Ade. Sebagian koleganya mempertanyakan langkahnya. Sementara para pendukung Prabowo-Hatta  sering menjadikan Ade sebagai objek serangan (bully). Para penyerang Ade sering memanfaatkan kliping media online yang memuat pernyataan Ade Armando yang siap memotong leher jika Jokowi kalah Pilpres.


Meskipun sering menjadi objek bully, Ade tetap berkukuh mendukung Jokowi. Namun, soal isu bahwa ia akan potong leher, akhir-akhir ini Ade merasa makin risih dan perlu memberikan penjelasan. Berikut ini penjelasan Ade Armando soal informasi dia akan memotong leher jika Jokowi kalah Pilpres. Tulisan ini kami muat atas izin Ade Armando.

Redaksi 

Menjelaskan soal ‘Potong Leher Saya, Kalau Jokowi Kalah’

Oleh: Ade Armando

Ade Armando (Ist/Dok pribadi)

Melalui tulisan ini saya ingin menjelaskan tentang tersebarnya berita bahwa saya ‘bernazar’ akan memotong leher saya bila Jokowi kalah dalam pemilihan Presiden 2014. Kalau Anda tidak pernah mendengar berita ini, lewatkan saja. Namun kalau Anda termasuk orang yang bertanya-tanya apa yang sebenarnya saya katakan, saya ingin memberi penjelasan.

Saya adalah pendukung Jokowi. Saya percaya bahwa Jokowi akan mengalahkan Prabowo. Saya juga percaya bahwa kematian karena melawan seorang calon penguasa yang zalim seperti Prabowo adalah sebuah kematian yang terhormat.

Tapi saya tidak pernah menyatakan saya akan memotong leher saya atau bersedia dipotong lehernya bila Jokowi sampai kalah dalam Pilpres 2014.

Sebenarnya saya tidak terlalu nyaman membuat tulisan ini. Tapi rasanya, selama lebih dari sebulan ini sudah terlampau banyak orang bertanya melalui beragam media sosial maupun pribadi. Sampai malam kemarin, masih ada saja yang mengirimkan komentar: “Siap-siap potong leher, bla la bla”. Beberapa hari yang lalu, seorang kawan bertanya: “Betul mau potong leher kalau Jokowi kalah?”

Kalangan terdekat saya sudah saya jelaskan apa yang terjadi. Kadang, saya juga sempat memberikan jawaban pendek melalui media sosial ketika isu ini muncul begitu saja dalam percakapan. Tapi nyatanya cara menjawab semacam itu tidak efektif.

Jadi saya merasa saat ini sudah terlalu lama saya diganggu dengan pertanyaan yang terkesan sensasional  ni. Apalagi saya merasa bahwa sebagian orang memang berniat jahat. Memanfaatkan berita itu untuk menteror saya, untuk menakut-nakuti saya mengingat saya fans Jokowi sejati. Atau kadang isu ini digunakan untuk mengalihkan percakapan tatkala saya sedang berdebat tentang kejahatan HAM Prabowo atau kebohongan Prabowo.

Karena itu saya membuat tulisan ini agar bila ada yang masih ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya saya ucapkan, orang itu bisa merujuk ke tulisan ini.

Soal ‘potong leher’ itu sebenarnya cerita lama. Ini terkait dengan sebuah acara diskusi pada bulan September 2013,  di Jakarta. Ketika itu suasana politik sudah mulai memanas. Partai Demokrat sudah mulai menggelar Konvensi Capres.

Saya kebetulan diminta jadi pembicara, terutama menanggapi trend pembicaraan politik di media sosial. Kalau tidak salah, ketika itu Political Wave mempresentasikan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa tokoh yang paling banyak dibicarakan secara positif di media sosial adalah Jokowi.

Ketika giliran saya bicara, saya menyindir PDI-P yang saat itu belum mau menyatakan siapa Capres mereka. Saya katakan, apa lagi yang masih ditunggu PDI-P? Kenapa PDI-P tidak kunjung bersepakat  menyatakan bahwa mereka akan mengajukan nama Jokowi.  Dalam pandangan saya, ini adalah kesempatan yang akan menjadi sia-sia kalau tidak dimanfaatkan.

Saya bandingkan dengan partai-partai lain yang sudah berani mengajukan nama capres. Golkar sudah memutuskan ARB, Gerindra mengajukan Prabowo, PAN menetapkan Hatta Rajasa, bahkan PBB sudah memutuskan nama Yusril Ihza Mahendra. Padahal elektabilitas orang-orang itu, menurut berbagai polling, jauh di bawah Jokowi.

Saat itu, praktis semua polling yang dapat dipercaya (tidak abal-abal) menempatkan Jokowi di posisi tertinggi dalam hal elektabilitas menjadi capres. Jadi, dalam pandangan saya, adalah mengherankan bila PDIP masih terus ragu-ragu mengajukan nama Jokowi.

Karena itulah, saya katakan dalam forum itu, PDIP harus segera mengajukan nama Jokowi sebagai Capres. Saya katakan, kira-kira begini: “PDIP harus segara ajukan nama Jokowi sebagai Capres. Dijamin menang. Potong leher saya kalau Jokowi sampai kalah, kalau Jokowi maju sekarang!”.

Kapan seseorang diajukan, menurut saya, sangat menentukan. Karena itu saya menekankan, kalau Jokowi maju saat itu (September 2013), pasti dia akan menang karena dukungannya terhadapnya saat tinggi dan masih banyak waktu untuk menyiapkan diri.

Ketika itu saya adalah pendukung Konvensi Demokrat dan pendukung Gita Wirjawan. Tapi saya percaya kalau Jokowi maju, semua perhitungan dalam Konvensi Demokrat mungkin dipertimbangkan ulang. Terus terang, banyak pihak saat itu berani mengajukan diri karena melihat bahwa bila Jokowi tidak maju dalam kompetisi pilpres 2014, peluang bagi calon alternatif masih terbuka luas. Bila PDIP mengajukan nama Megawati, misalnya, pertarungan pasti tidak akan mengerucut menjadi hanya dua calon seperti yang terjadi saat ini.

Jadi itu adalah berita September dan harus dipahami dalam konteks September.

Lalu kenapa orang sekarang menangkapnya secara berbeda?

Salah satu soal memang ada pada berita yang ditulis oleh media. Atau lebih spesifik lagi, pada judul berita mengenai pernyataan saya tersebut.

Dalam berita tertanggal 25 September 2013, liputan6.com menulis seperti ini:

“Ade juga yakin jika Jokowi maju sebagai calon presiden, kader PDIP itu sudah dapat dipastikan akan memenangi pemiihan presiden (Pilpres) 2014. Bahkan ia berani bertaruh. ‘Potong leher saya jika Jokowi kalah! Jika dia maju saat ini,’ cetus Ade.”

Jadi, wartawan media tersebut sebenarnya menulis dengan benar. Sayangnya memang judulnya disingkat menjadi: “Pengamat: Jika Jokowi Kalah Pilpres 2014, Potong Leher Saya!”

Tentu saja penyingkatan itu bisa dipahami, mengingat ruang untuk judul memang relatif terbatas. Karena itu, untuk memahami peristiwa secara penuh, pembaca diharapkan membaca isinya.

(Catatan: Bukan liputan6.com saja yang memberitakan pernyataan saya itu. Kantor berita Antara dan Kompas.com juga meliputnya dengan menyajikan penjelasan saya lebih lengkap dan dengan judul yang tidak bombastis. Judul Antara adalah: “60% Percakapan di media Sosial adalah Soal Jokowi”; sementara judul Kompas adalah: “PDI-P Didesak Segera Tetapkan Capres”).

Anehnya, berita liputan6.com itu kemudian disebar kembali pada sekitar akhir April.  Tiba-tiba saja, di berbagai media sosial, tersebarlah berita bahwa saya siap dipotong leher bila Jokowi kalah. Celakanya, si penyebar berita tidak menunjukkan bahwa itu sebenarnya berita September. Juga tak ada penjelasan bahwa pernyataan saya sebenarnya bersifat kondisional. Berita itu disebarkan begitu saja. Mereka yang menshare berita itu rupanya juga tak merasa perlu membaca dulu berita secara lengkap sebelum menyebarkannya.

Saya curiga bahwa memang ada pihak-pihak yang dengan sengaja menggandakannya dengan niat jahat. Yang disebar misalnya bukan lagi link beritanya, melainkan hanya judulnya atau penggalan beritanya yang diubah-ubah sedemikian rupa sehingga saya  nampak sebagai seorang kafir laknatullah.

Apalagi ada sebagian kalangan yang kentara memang tidak siap untuk berdiskusi dan mendengar. Dalam diskusi di wall Facebook saya saja, jika saya sudah mulai mengeritik Prabowo dan kubunya yang memang senang menyebar fitnah, bisa saja tiba-tiba muncul komentar seperti: “Siap-siap asah golok ah buat potong leher…” atau “Potong lehernya, potong lehernya sekarang juga, sekarang jugaaaa…”

Reaksi orang memang berbeda-beda. Ada saja juga teman atau para mahasiswa saya yang mengatakan dengan berseloroh: “Kami akan memilih Jokowi supaya leher bang Ade tidak dipotong”. Mereka adalah orang-orang baik. Tapi di kalangan penjahat kutipan itu benar-benar digunakan untuk mengancam saya.

Selama ini saya cenderung tidak mau membuat klarifikasi secara resmi, karena saya tidak ingin nampak ketakutan dengan ancaman-ancaman seperti itu. Saya semula berharap, orang toh akhirnya akan diam dan memperoleh kebenaran dari sumbersumber lain.

Namun, perkiraan saya agaknya meleset. Saat ini, ketika saya semakin sering mengeritik perilaku kubu anti-Jokowi yang terkesan menghalalkan segala cara, serangan soal ‘potong leher’ ini pun menjadi-jadi. Sejalan dengan itu, semakin banyak pula orang yang tahu dan mempersoalkannya pada saya.

Jadi, begitulah penjelasan saya. Mudah-mudahan cukup terang.  Bagi saya, kalau toh akhirnya kaum fasis itu masih hendak mengancam saya dengan urusan ‘potong leher’ ini, saya tidak takut. Hidup saya cuma sekali, dan harus diisi dengan mengikuti perintah Allah untuk menegakkan kebenaran dan melawan kezaliman.   Tapi paling tidak, orang perlu tahu apa yang sebenarnya saya ucapkan.