Oyos Saroso H.N.
KALAU Anda masih percaya bahwa politik itu suci, datanglah ke Warung Kopi Caca Marica Hehe atau di Pos Ronda Bah Liong Marmut. Kalau terlalu jauh, Anda bisa tongkrongin laptop dan berselancar di Faceobook dan Twitter. Di sana akan Anda jumpai sumpah serapah berserakan seperti sampah di TPA Bantar Gebang Bekasi dan TPA Bakung Bandarlampung.
Penyampah tidak hanya makhluk jenis seperti saya yang memang tidak makan bangku sekolahan. Para penyampah juga datang dari kelas masyarakat yang disebut sebagai kelas menengah, kaum terpelajar. Sumpah serapah itu selalu sama motifnya: ingin membuktikan bahwa dirinya Ada.
“Aku menyerapah maka aku Ada!” demikianlah adagium yang dipinjam dari Pak De Rene Descartes. Mereka meminjamnya beramai-ramai. Sadar maupun tidak.
Adagium itu pula yang dipinjam buruh tusuk sate untuk menghna Jokowi–konon tidak sengaja dan baru mengenal dunia maya–hingga mengantarnya berurusan dengan polisi. Lalu, masyarakat ramai berteriak sambil memaki, membelanya beramai-ramai.
Di antara para penyerapah itu adalah politikus yang selama ini dicitrakan sebagai Wong Agung, orang suci dari partai suci ahli surga. Juga para akademikus yang kenyang mengunyah diktat hingga gelar S2 dan S3 menempel di depan atau di belakang namanya. Sampah yang dihamburkan dari mulut mereka akan sama dengan sampah yang berhampur dari mulut saya, mulut Mang Kusni, dan John Baleng yang memang tidak pernah makan bangku kuliah.
“Kalau mulut politikus suci tak lagi bersih, bagaimana mungkin bisa disebut politik itu suci?”
Itulah pertanyaan–atau mungkin pernyataan–yang diuarkan Karto Marmut pagi ini di Warung Kopi Caca Marica Hehe.
Seisi warung tidak merespons.
Mungkin mereka menganggap percuma. Atau, mungkin mereka khawatir akan terjadi debat kusir, Hilang debatnya, tinggal kusirnya yang mengamuk melembu buta. Kalau sudah begitu, mungkin gelas kopi di warung akan beterbangan. Caca Marica Hehe akan rugi besar karena gelasnya banyak yang pecah.
Ya, memang, kemarin waktu pilpres beberapa gelas kopi beterbangan gegara pendukung dua kubu capres saling ngeyel dan saling menjelek-jelekkan.
“Politik memang brengsek!” ujar Karto Marmut, sehabis menyeruput kopi lanang.
Mas Dandy melirik. Cuma dengan sudut matanya.
“Kotor tapi mengasyikkan. Bisa bikin kawan kita kaya raya!” timpal Mang Yunus.
“Jadi kita mulai debat lagi nih? KMP versus KIH?” Mas Dandy mencoba memancing Karto Marmut.
“Boleh mulai lagi, tapi bukan Koalisi Merah Putih. Kita ganti jadi Karto Marmut Plus!” kata Mang Yunus diiringi derai tawa.
Karto Marmut cuma tersenyum kecut. Ia seruput lagi kopi yang tinggal separo cangkir.
“Percuma saja kita berdebat. Bikin kita berantem saja. Lagi pula, sekarang ini sudah ada kembarannya KMP,” kata Karto Marmut.
“Apa kepanjangan KMP satunya lagi?” tanya John Baleng.
“Kalla, Mega, Paloh…” ujar Karto Marmut, lirih.
“Hua hahahahhaa….Pas sekali! Tampakmnya Jokowi memang mulai limbung karena dikeroyok dua KMP! Jokowi gak ngaer” Yunus masih menahan tawa.
“Setelah tak bisa menggeser Rini Sumarno dalam susunan kabinet, kini Jokowi juga tak mampu menolak tawaran Surya Paloh untuk menerima alumnus Unila itu jadi Jaksa Agung! Hahaha…. alumnus FH Unila…. kakak kelas gue tuh….”
“Ditambah gerombolan Mak Brengoh di Senayan dan di luar parlemen, maka Jokowi benar-benar terancam dong?” Mang Kusni nyeletuk.
Tiba-tiba warung senyap.
Karto Marmut tersenyum kecut.