Opini  

Komunitas Gelembung Sabun dan Isu Indonesia Mutakhir

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Khaidir Asmuni*

Pulang dari Amerika, sekitar tahun 2000-an, Bang An (Anshori Djausal, Red) membawakan buku “Chaos Theory”. Saat itu, reformasi baru terjadi dan sejumlah peristiwa mengagetkan di masyarakat. Dari aksi brutal membakar begal, konflik horizontal, dan sejumlah perubahan masyarakat yang sangat menyolok di mata Bang An. Sekecil apa pun peristiwa yang terjadi di masa itu adalah sebuah efek dari era sebelumnya.

Indonesia dihadapkan pada situasi anomalie: tata nilai baru belum tercipta sementara tata nilai lama ditolak masyarakat. Akibatnya dalam era pencarian pembentukan tata nilai baru terus terjadi. Percaya atau tidak, “Revolusi Mental” yang kini digaungkan embrionya telah banyak tercetus awal 2000 an, namun bahasanya tak se-“ekstrim” sebutan “revolusi”. Masyarakat menemukan nilai-nilai baru dan ingin menerapkannya, seperti halnya dalam “revolusi mental.”

Apa manfaat buku “Chaos Theory” yang dibawa Bang An? Salah satunya menjelaskan segala hal yang kecil jangan dianggap remeh karena dia justeru akan menciptakan nilai-nilai, yang nanti akan disukai atau tidak. “Kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian” (lebih lengkap bisa lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Efek_kupu-kupu).

Refleksi “Chaos Theory” dalam kehidupan sosial salah satunya, misalnya, jangan menganggap remeh budaya antri. Orang yang tak mau antri bisa berpeluang besar melakukan “korupsi”. Memang sederhana. Korupsi bisa disebabkan karena orang tak menghargai hal terkecil: antri. Dia ingin cepat dan berani mengeluarkan uang. Hal yang sebelumnya dianggap remeh menjadi bagian yang rumit dan sulit diubah di kemudian hari.

Bang An menggambarkan sikap-sikap masyarakat yang instan (yang kemudian disebutnya seperti gelembung sabun, terbang ke atas dan pecah tak berarti). Budaya instan telah membentuk masyarakat Indonesia di tengah pencarian tata nilai baru. Itulah sebabnya, pada saat itu tercetus pemikiran Bang An tentang “Komunitas Gelembung Sabun”, yang dibukukan Media Presindo Yogyakarta, 2001). Obsesi besarnya, jika mungkin bisa “menyelamatkan generasi dari antiklimaks perubahan” yang terjadi di negeri ini. Ini menjadi tagline buku, yang diharapkan menyumbangkan pemikiran secara sosiologis pada bangsa.

buku-konunitas-gelembung-sabunBuku ini sempat didiskusikan di Taman Kupu-Kupu Gita Persada, dengan digagas Syafarudin Rahman, dan Oyos Saroso H.N., menjadi salah satu yang mengkritik pedas buku ini saat itu (kangen juga dengan kritikan Oyos).

Sekitar tahun 2004, ketika perubahan masih terus terjadi, saya sempat bertemu Hardi Hamzah. Saya katakan padanya supaya melanjutkan buku “Komunitas Gelembung Sabun”-nya Bang An. Bukan apa-apa, Hardi menjadi salah satu yang “memahami” buku yang konon sulit untuk dicerna (karena bahasanya yang memang tidak populer; mungkin terlalu “ilmiah” dan teoritis). Entah mengapa, karena kesibukan jadi redaktur politik di Lampung Post, saya pun seperti tak memiliki waktu untuk kembali mengumpulkan bahan. Padahal, saat itu, Bang An mengatakan perubahan terus terjadi dan tata nilai baru harus segera dicatat dan dianalisis, karena sifat ilmu pengetahuan itu terakumulasi. Bang An siap dengan analisisnya sementara saya bergelut dengan berita-berita politik yang memabukkan.

Kesadaran itu tergugah ketika revolusi mental digaungkan. Nilai-nilai yang dulu dicari mulai diformulasikan. Saya agak malu ketemu Bang An karena pemikirannya ternyata benar. Tapi, yah, bukankah ini salah satu godaan terbesar reformasi: terciptanya masyarakat instan.

Namun, akhir-akhir ini saya kembali digelisahkan oleh banyak kejadian yang menurut saya menjadi catatan tersendiri di tengah pencarian bangsa Indonesia pada tata nilai baru, yaitu topeng-topeng yang membuat kita masuk dalam kondisi hipokrasi dan irrasional. Dari masalah Mario Teguh yang berteriak soal kesuksesan tapi berhadapan dengan nilai-nilai. Irman Gusman yang meneriakkan hukum mati koruptor tapi berhadapan dengan nilai-nilai. Ataupun Marwah Daud Ibrahim yang sangat rasional berhadapan dengan nilai-nilai, yang justeru irrasional. Ataupun fenomana Mukidi yang konon katanya menjadi singkatan dari “muka kita sendiri” yang lantas kita tertawakan. Ada apa sebetulnya dengan bangsa ini? Dibilang lucu? Ya, bahkan sudah difilmkan, alangkah lucunya negeri ini?

***
Kini Bang An bertanya: mana “Komunitas Gelebung Sabun Jilidi 2”? Saya kembalikan pada Syafarruddin, Oyos, Hardi dan lain-lain. Ini tantangan dari Bang An.

* Esais, jurnalis, dan guru spiritual. 

Tulisan ini juga dimuat di indonewsinc.com