Oleh: Destia Dwi Putri
Mahasiswa Magister Sains Akuntansi UGM
Fenomena kenaikan harga sembako akan selalu terjadi setiap tahun menjelang Ramadan hingga hari Raya Idul Fitri. Hal ini terjadi karena konsumtifnya masyarakat terhadap bahan pokok makanan, sehingga hal tersebut dijadikan kesempatan bagi para pedagang untuk mematok harga setinggi mungkin. Konsumtifnya masyarakat disebabkan oleh adanya “hak alami” yang dimiliki masyarakat.
Argumen tentang hak-hak tersebut dikembangkan oleh John Locke (1632-1704) yang dikutip dari buku Manuel G. Velasquez (2012) yang berjudul Business Ethics: Concept and Cases, menyatakan bahwa manusia mempunyai “hak alami” atas kebebasan dan “hak alami” atas properti (kekayaan) pribadi.
Arti dari argumen yang dicetuskan oleh Locke adalah ketika masyarakat dihadapkan pada suatu kondisi yang didalamnya tidak ada campur tangan pemerintah, maka masyarakat akan berada pada titik dimana mereka merasa bebas dari batasan-batasan. Jika dihubungakan antara argumen tersebut dengan jiwa konsumtif masyarakat, maka dapat diartikan bahwa masyarakat tidak ada batasan atau adanya kebebasan untuk memiliki seluruh bahan pokok sesuai dengan keinginannya.
Kenaikan harga sembako berdampak negatif pada masyarakat dengan kondisi perekonomian yang lemah. Gejolak yang terjadi di dalam pasar seolah-olah tidak memerhatikan masyarakat yang berada di posisi ini. Masyarakat dengan perekonomian yang lemah dihadapkan pada situasi yang sulit untuk mereka hindari. Di satu sisi mereka harus memenuhi kebutuhan pokoknya agar tetap bisa bertahan hidup, tapi di sisi lain keadaan finansial mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut. Dengan adanya kondisi seperti ini, bagaimana kacamata etika bisnis dalam memandang kondisi pasar yang terjadi pada bulan Ramadan.
Sistem Pasar Menurut Pandangan Etika Bisnis
Menurut Yasin dan Etichawati (2007) yang dikutip dari buku pelajaran Ekonomi menyatakan bahwa, pasar sembako merupakan salah satu contoh pasar persaingan sempurna tapi tidak sepenuhnya pure pasar persaingan sempurna, hanya saja pasar ini dianggap mendekati gambaran pasar persaingan sempurna. Pasar persaingan sempurna diartikan sebagai pasar dengan konsumen dan produsen yang tidak mempunyai kekuatan untuk memengaruhi harga barang yang diperjualbelikan.
Menurut Velasquez (2012) di dalam pasar persaingan sempurna, harga yang dibayar oleh konsumen akan naik jika jumlah barang yang dibutuhkan sedikit dan mendorong produsen untuk menyediakan tambahan barang yang sama. Sebaliknya, jumlah barang yang banyak akan mendorong produsen untuk menurunkan harga dan produsen akan mengurangi jumlah barang yang diproduksi. Pasar persaingan sempurna ini dianggap mampu memenuhi tiga kriteria moral yaitu utilitarianisme, keadilan, dan hak.
Kriteria moral pertama yang dicapai yaitu utilitarianisme. Pasar persaingan sempurna mencapai kriteria moral ini dilihat dari sistem perekonomian yang terdiri dari banyaknya sistem pasar dalam mencapai pasar yang efisien sempurna, jika barang yang ada di pasar dialokasi, digunakan, dan didistribusikan dengan cara yang mampu memberikan tingkat kepuasan tertinggi terhadap barang tersebut.
Kedua, pasar persaingan sempurna dapat memenuhi kriteria moral keadilan. Menurut kriteria kapitalis, keuntungan dan beban didistrubusikan secara adil apabila sesuatu yang dikeluarkan oleh konsumen setara dengan apa yang diterima. Pasar persaingan sempurna dapat dikatakan adil, karena pasar ini mengarah pada titik keseimbangan. Titik keseimbangan yaitu titik yang mencerminkan rata-rata nilai yang diterima konsumen dan produsen dari apa yang telah kedua belah pihak sepakati.
Kriteria moral ketiga, yaitu menghargai hak-hak konsumen dan produsen. Menghargai hak-hak tersebut dapat dilakukan dengan cara konsumen dan produsen bebas memasuki dan meninggalkan pasar, melakukan jual beli secara sukarela, dan tidak ada konsumen dan produsen yang mendominasi pasar.
Menurut pandangan Velazquez (2012,) adanya hal penting yang harus diperhatikan dalam menggambakan kriteria moral di pasar persaingan sempurna, yaitu tidak adanya batasan atas seberapa besar kekayaan yang dimiliki oleh individu untuk memasuki pasar ini, jadi pasar ini mengesampingkan keadilan egalitarian yang bisa menimbulkan kesenjangan terhadap pihak yang masuk di pasar tersebut.
Jadi, kondisi pasar menjelang bulan Ramadan hingga Hari Raya Idul Fitri tidak dapat dihindari oleh setiap elemen masyarakat. Bercermin pada uraian di atas, bahwa pasar ini disebut sebagai pasar persaingan sempurna yang telah memenuhi keseimbangan moral yang adil dengan mengarah pada titik keseimbangan.
Walaupun harga sembako yang relatif terus meningkat tetapi setiap elemen masyarakat masih mampu untuk membelinya, bahkan masyarakat lebih konsumtif dibandingkan dengan hari-hari biasanya. Untuk itu, kondisi pasar seperti ini dianggap adil karena kedua belah pihak telah sepakat dengan harga yang telah dipatok.***