Opini  

Konflik Antar-Pemerintah Daerah dan Urusan Publik

Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Syarief Makhya

Di media online viral pernyataan Bupati Lampung Selatan Nanang Ermanto meminta warga tanda tangan penolakan pembangunan tempat pembuangan akhir (TPA) TPA milik Pemprov Lampung di Desa Tanjungsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Menurutnya, warga sekitar hendaknga menandatangani penolakan TPA di wilayah itu apabila keberadaan pembangunannya membuat dampak buruk pada sawah dan kolam ikan warga. TPA Pemprov Lampung itu ditolak dengan alasan areal seluas dua  hektare itu berada dekat permukiman warga.  Menurut Bupati Nanang Ermanto, TPA tersebut bisa berdampak buruk terhadap lingkungan sekitar.

Pernyataan Bupati Lamsel tersebut, bisa diinterpretasikan sebagai penolakan terhadap Pemprov dan menunjukkan ketidaksetujuan dengan rencana pembangunan TPA, tidak ada koordinasi, tidak ada kerjasama antara Pemkab Lampung Selatan dengan Pemrov Lampung, tidak ada alternatif pilihan kebijakan. Atau,  bisa jadi, ada motif politik tertentu.

Kasus penolakan rencana kebijakan antara pemkab dengan pemrov, bukan hanya persoalan tersebut saja. Di era otonomi daerah setiap kabupaten /kota memiliki otoritas wilayahnya yang kuat dan karena bupati/walikota dipilih langsung oleh rakyat, kerap kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki oleh bupati/walikota cenderung lebih kuat terikat pada rakyatnya daripada terikat secara vertikal ke gubernur, baik dalam kapasitas sebagai kepala daerah atau kepala wilayah.

Konsekuensi dari realitas hubungan pemkab dengan pemrov tersebut, maka kerap muncul benturan kebijakan, koordinasi tidak jalan, terjadi konflik kelembagaan pemerintahan, dan perebutan sumber daya.
Persoalan tersebut, ada yang bisa diatasi secara efektif, ada yang berbuntut konflik terus menerus, hubungan kelembagaan tidak ada koordinasi, pembangunan terbengkalai atau mangkrak, masalah publik tidak teratasi dengan baik, dst.

Fenomena tersebut, khususnya dilihat dari aspek manajemen pemerintahan menunjukkan kegagalan dalam membangun hubungan kerjasama antar pemerintahan dan penyelesaian masalah bersama. Penyebabnya, yang dominan adalah persoalan kepentingan bersama yang tidak terkelola dengan baik yang berakar dari kuatnya intervensi politik dalam wujud adanya pemaksaan kepentingan sehingga rakyat jadi korban. Jika format hubungan kelembagaan pemerintahan sarat dengan konflik kewenangan, maka hampir dipastikan problem-problem urusan publik tidak akan terselesaikan dengan efektif.

Fenomena berebut pengaruh, sumber daya, pencitraan, dan berebut dukungan akan terus berulang, konflik kelembagaan akan terus-menerus diproduksi sejauh formasi hubungan pemerintahan antara pemerintah daerah dengan mengabaikan pengelolaan urusan publik sebagai urusan bersama.

Bagaimana Seharusnya?

Dari perspekti manajemen pemerintahan, kerjasama antarpemerintahan menjadi kata kunci untuk menyelesaikan masalah publik. Konflik antarkelembagaan pemerintahan harus dikelola secara fungsional yang bisa menyelesaikan masalah. Jadi, bukan diproduksi menjadi sumber persoalan baru yang tidak produktif.
Sekarang dengan alasan otonomi daerah kewenangan pemerintahan dipahami dan ditafsirkan sebagai kewenangan absolut, sehingga konsekuensinya persoalan urusan publik sebagai persoalan bersama tidak bisa dijadikan dasar untuk menyelesaikan masalah publik; masing-masing daerah mementingkan ego kepentingannya masing-masing. Padahal, secara geografis kabupaten berada dalam wilayah provinsi.

Jadi, sangat tidak mungkin urusan publik tidak berhimpitan atau hubungan antarpemerintahan tidak bersentuhan. Misalnya, dalam konteks pengelolaan sampah. Karena di Lampung belum menggunakan teknologi pengelolaan sampah yang bisa menghasilkan sampah menjadi barang yang bermanfaat, maka cara pengeloaan sampah masih dilakukan secara tradisonal, yaitu dibuang dari mulai tempat penampungan sementara (TPS) sampai ke TPA, sementara jumlah sampah akan terus meningkat. Akhirnya, akan terjadi penumpukan sampah. Pilihan alternatifnya: butuh TPA baru.

Pengelolaan sampah dengan cara seperti itu mengharuskan sampah harus dikelola menjadi urusan bersama. Di sinilah menjadi keniscayaan adanya hubungan kerjasama antara pemerintahan, koordinasi, fasilitasi, komunikasi, menjadi kata kunci menyelesaikan masalah publik. Dengan kata lain, kepentigan publik dalam mengelola urusan bersama menjadi keniscayaan.

Hubungan kerjasama sekarang menjadi bagian sangat strategis dalam tata kelola pemerintahan. Lingkupnya bukan hanya urusan daerah, urusan skala nasional tetapi juga termasuk pada tingkat global. Misalnya, masalah lingkungan sekarang bukan hanya sebatas Lampung saja, tapi sudah masalah global, demikian halnya masalah kesehatan seperti Covid-19, masalah moneter, dsb.

Akhirnya, pengelolaan urusan publik harus menjadi bagian dari fokus manajemen pemerintahan yang membawa konsekuensi harus dihindari intervensi politik dalam pengelolaan urusan publik. Dalam menyikapi urusan publik sebagai urusan bersama, maka kolaborasi antar pemerintahan daerah dan partisipasi masyarakat persoalan urusan publik akan dapat diatasi secara lebih efektif dan keputusan yang diambil dapat mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat secara keseluruhan.***

* Dr. Syarief Makhya, Analis Pemerintahan dan Kebijakan Publik FISIP Universitas Lampung