Konservasi Harimau di Hutan TNBBS Membuat Warga Dusun Way Haru Susah Cari Makan

Agam, harimau sumatera asal Aceh, berada di pusat konvervasi harimau di Tambling, 21 Juli 2008. Pagi harinya, 22 Juli 2008. Agam dan Pangeran dilepasliarkan di Taman Nasiinal Bukit Barisan Selatan kawasan Tampang-Beliimbing (Tambling). Foto: oyos saroso hn
Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N.

Sabtu, 20 September 2008. Langit masih tampak terang.  Masih sekitar satu jam lagi matahari terbenam. Namun, Idai, 40, warga Dusun Way Haru, Desa Pangekahan, Kecamatan Bengkunat Belimbing, Lampung Barat sudah meninggalkan pekerjaannya mengolah kebun kopi.

Idai harus bergegas meninggalkan kebun yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari rumahnya jauh sebelum matahari terbenam. Ia khawatir kalau terlalu asyik bekerja dan lupa hari mulai gelap. Sebab, itu berarti ia telah melanggar sebuah larangan .

Sejak Agam dan Pangeran—dua harimau jantan asal Aceh—dilepaskan  di perbatasan desa, akhir Juli 2008, pejabat kecamatan dan pengelola Tambling Nature Wildlife Conservation (TNWC) melarang warga berada di luar rumah pada malam hari. Warga dilarang berada di luar rumah pada malam hari karena dikhawatirkan mereka akan dimangsa harimau.

Dusun Way Haru kini memang jauh lebih sepi dibanding beberapa tahun lalu. Selepas magrib, tak ada aktivitas warga di luar rumah. Para ibu rumah tangga pun tak berani lagi pergi ke kebun sendirian untuk memetik biji kopi yang sudah masak.

Idai merupakan satu di antara lima ratusan warga suku Belimbing yang tidak mau pindah dari kampungnya, sebagaimana disarankan oleh pejabat Kapupaten Lampung Barat, pengelola TNWC, dan Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Sebagai warga asli Dusun Way Haru dan bersuku Belimbing, Idai meyakini bahwa meninggalkan kampong halaman dan memberikan areal kebunnya kepada pengelola TNWC berarti menghapus eksistensinya sebagai suku Belimbing.

Memasuki Februari 2010 berarti sudah satu setengah Sudah satu setengah tahun warga suku Belimbing dilanda kecemasan. Mereka tidak bisa melakukan aktivitas di luar rumah pada malam hari. Bukan semata-mata mengikuti imbauan pejabat kecamatan, tetapi mereka memang benar-benar takut menjadi sasaran mangsa harimau. Apalagi, beberapa bulan setelah dua harimau asal Aceh dilepaskan di dekat desa mereka, dua harimau itu sering masuk perakampungan dan memangsa ternah warga. Sudah puluhan kambing dan ayam warga dimakan harimau.

“Kami yakin itu harimau asal Aceh yang dilepas 22 Juli  2008. Sebab, selama ini belum pernah ada cerita ternak kami dimangsa harimau,” kata Idai.

Sejak dua harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) asal Aceh bernama Agam dan Pangeran dilepas di Tambling, 22 Juli 2008 lalu, lalu disusul harimau asal Jambi bernama Salma pada 12 Juli 2009, dan lalu disusul lagi dua harimau jantan asal Aceh (bernama Buyung dan Panti) pada 27 Januari 2010 kehidupan warga Way Haru benar-benar terancam. Mereka bukan saja merasa nyawanya selalu terancam, tetapi mata pencahariannya pun ikut terancam.

Selain punya waktu terbatas untuk mengolah kebun, warga yang biasa mencari ikan dan lobster di pantai juga terancam. Sebab, sejak Juli 2008 itu pula siapa pun—termasuk warga Way Haru—tidak boleh menangkap ikan dan lobster di pantai. Padahal, menangkap ikan dan lobster sudah menjadi pekerjaan warga secara turun-temurun sejak zaman dulu.

Nasib malang pernah dialami lima warga Way Haru. Pada 29 Oktober 2008 Henizar (25) dan Iwan (27) ditangkap anggota Security Group Arthagraha (SGA) karena menangkap ikan dan lobster di Pantai Ujungkarang Slemat—sebuah kawasan yang menurut warga suku Belimbing sebagai wilayahnya. Sehari kemudian anggota SGC menggeledah rumah warga dan menangkap Nanang (26), Didik (24), dan Dedi (23) karena mereka juga dituduh telah memasuki kawasan konservasi milik Tomy Winata.

Mereka mengaku disiksa. Kelima warga sipil yang berasal dari masyarakat adat Belimbing itu baru dilepas Minggu (2 November 2008 ). Meskipun dilepas, mereka masih wajib lapor setiap hari hingga selama sebulan. Selama wajib lapor (pukul 07.00 hingga 12.00 WIB) kelima warga itu diharuskan melakukan kerja bakti.

”Mencari lobster dan ikan di pantai merupakan salah satu mata pencaharian kami. Kalau kami tidak boleh menangkap lobster, dari mana kami bisa menghidupi keluarga. Kelima warga adat Belimbing ditangkap di luar kawasan TNWC yang dikelola PT Adhinugraha Kreasi Nusa (AKN),” kata Khusairi Gelar Raja Muda, 52, raja bagi suku Belimbing di Dusun Way Haru.

Menurut Khusairi saat melakukan penangkapan aparat keamanan itu sempat menggunakan senjata tajam dan melepaskan tembakan ke udara.”Kami memprotes penangkapan tersebut karena tidak sesuai dengan prosedur dan melanggar hak asasi manusia. Ketika ditangkap mereka diinterogasi di belakang pos penjagaan dan ditahan di luar pos. Kalau hujan kehujanan. Selain disabet senjata tajam, para tahanan itu ada yang diinjak, dipukul, dan dipaksa push up beberapa kali,” kata Khusairi.

Warga Belimbing yang ditangkap itu dipaksa menandatangani perjanjian untuk tidak memakai Pelabuhan Alam Belimbing yang sejak zaman penjajahan Belandai sudah dimanfaatkan mereka untuk sarana  transportasi laut.

”Warga Way Haru juga dilarang untuk melintasi jalan dan mencari ikan di daerah di luar kawasan konservasi. Daerah itu sejak zaman dulu sudah menjadi milik suku Belimbing. Sejak ada tempat konservasi harimau itu kehidupan kami makin susah. Penangkapan dan penahanan itu merupakan bentuk teror agar ratusan warga suku Belimbing segera meninggalkan desa,” kata dia.

 Khusairi mengaku tak akan pindah meskipun dipaksa atau diteror tiap hari. ”Memindahkan warga suku Belimbing berarti menghapus eksistensi suku Belimbing. Kami akan tetap bertahan,” ujarnya.

Feishol Djausal, kepala perwakilan TNWC di Lampung (salah  seorang kepercayaan Tomy Winata di Lampung)  membantah para anggota SGA melakukan penganiayaan.

”Jangan membesar-besarkan masalah. Merek memang ditangkap,tetapi langsung dilepaskan. Mereka juga tidak dianiaya. Mereka ditangkap karena memasuki kawasan konservasi di TNBBS. Kalau setiap orang bebas masuk ke daerah itu dan tidak dijaga secara tegas, nanti semuanya akan rusak seperti kawasan lain di Lampung,” kata Feishol, beberapa

Kepala Balai TNBBS (saat itu dijabat Kurnia Rauf), mengatakan memang sudah menandatangani nota kesepatakan dengan TNWC untuk melakukan pengamanan kawasan konservasi laut di sekitar kawasan Tampang-Belimbing (Tambling).

Menurut Rauf, selain diberi hak mengelola hutan di Tambling untuk konservasi harimau dan satwa liar lainnya, TNWC—operasionalnya dilakukan oleh para anggota SGA—bekerja sama dengan Balain TNBBS melakukan pengamanan terhadap 21.600 hektare kawasan konservasi laut di pantai di sekitar kawasan Tambling.

”Jadi memang siapa pun yang menangkap ikan dan lobster di pantai dekat Tambling akan ditangkap. Selain melibatkan SGA dan Balai TNBBS, pengamanan kawasan konservasi laut itu juga melibatkan polisi hutan dan Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA),” kata Kurnia Rauf.

BerubahS Sejak ada TNWC

Berada di “kaki” Pulau Sumatera, kawasan Tampang dan Belimbing—lebih dikenal sebagai Tambling—nyaris tidak pernah ditengok orang luar. Selain lokasinya yang terpencil, untuk mencapai kawasan yang masih termasuk bagian hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) itu tidaklah mudah. Pendatang harus siap-siap menaklukkan ganasnya ombak laut Tanjung Cina yang besar.

Sejak belasan tahun lalu di kawasan Tambling berdiri sebuah kawasan konservasi milik Tomy Winata yang diberi nama Tambling Wildlife Nature Conseration (TNWC). Semula kawasan ini dikelola oleh SAC Nusantara yang menjadikan areal seluas 100 hektare yang diperoleh dari hak pengelolaan kawasan sebagai taman buru. Tetapi, tahun 2003 hak pengelolaan lahan beralih ke tangan Tommy Winata melalui PT Adhiniaga Kreasi Nusa (AKN) melalui kerja sama operasional (KSO) dengan menjadikan kawasan ini sebagai kawasan konservasi.

Di lokasi seluas 100-an hektare itulah Tomy antara lain melakukan konservasi harimau sumatera, buaya, dan penyu belimbing, membangun pusat rehabilitasi harimau, membangun dermaga, membangun lapangan terbang untuk helikopter, dan mendirikan sejumlah tempat penginapan. Karena dinilai berhasil menyelamatkan satwa dan hutan, kini PT AKN diberi hak mengelola 45 ribu hektare kawasan hutan Tambling. Artinya, sekitar seperdelapan dari luas TNBBS (360 ribu hektare).

Kalau memang benar untuk kawasan konservasi dan ecotourism, para aktivis lingkungan masih bingung terhadap niat Tommy Winata melakukan pengembangan kawasan konservasi.

“Sampai saat ini pun kawasan ini tidak dibuka untuk umum maupun wisatawan. Yang biasa datang ke TNWC hanya Tomy Winata, koleganya, dan orang-orang yang diundang. Tidak ada tamu lain,” Mukri Friatna, aktivis Walhi.