Oleh: Dr. Eng. Ir. IB Ilham Malik
Dosen tetap di Prodi PWK ITERA, Kepala Purino Infrastruktur Berkelanjutan ITERA
Setiap manusia akan menggunakan 144 liter air perhari untuk memenuhi seluruh kebutuhannya. Mulai dari mandi, sanitasi, dan termasuk air minum. Begitulah hasil riset yang dilakukan oleh Dirjen Cipta Karya pada 2006 lalu. Pertanyaannya memang apakah pada saat ini konsumsi dan penggunaan air manusia masih sama? Apakah mengalami penurunan ataukah peningkatan? Jika jumlah penggunaannya dihitung sama saja, maka jumlah penduduk Indonesia yang berdasarkan pada sensus tahun 2020 lalu, yang teridentifikasi sejumlah 271 juta jiwa, maka akan ada penggunaan air sejumlah 39 juta m3.
Jika dianalogikan dengan sejenis kendaraan pengangkut BBM miliki pertamina maka akan ada air sejumlah yang diangkut oleh 2,5 juta unit mobil tangki besar milik Pertamina per hari. Tentu saja ini adalah sejumlah penggunaan air yang sangat besar. Karenanya, adanya siklus hidrologi alam sangatlah membantu manusia. Manusia selalu diberi pasokan air bersih oleh alam. Masalahnya, sekarang ini pemenuhan kebutuhan air yang dilakukan oleh alam berhadapan dengan begitu banyak tantangan. Setiap air yang diturunkan oleh alam akan menimbulkan banjir. Sungai-sungai dipenuhi oleh sampah, limbah, dan beragam kotoran lainnya, termasuk penyempitan badan sungai. Bahkan GSS (garis sempada sungai) banyak yang menjadi bangunan. Belum lagi okupasi manusia di lereng yang menyebabkan tanah longsor atau tanah bergerak yang menimbulkan kerusakan pada aset manusia berupa rumah, kebun dan dan bahkan korban jiwa. Tentu, semua persoalan ini sudah sepatutnya diminimalkan negative impact-nya. Dengan segala cara harus diselesaikan masalahnya ini.
Intensitas hujan yang melanda seluruh wilayah di Indonesia, terutama di kawasan perkotaan, sangatlah tinggi. Bahkan, terjadi 32 bencana banjir hanya pada minggu pertama di bulan November lalu (BNPB, 2021). BNPB mencatat, sepanjang Januari hingga pertengahan Desember 2021 ada 2931 bencana terjadi di Indonesia. Dan karena kejadian tersebut, ada 8,3 juta jiwa masyarakat kita terdampak oleh bencana tersebut. Artinya, jika kita kembali melihatnya dari sudut pandang kebutuhan air, maka hadirnya air untuk memenuhi kebutuhan manusia, pada saat ini juga bisa menimbulkan bencana. Kebaikan dari adanya air juga diikuti oleh dampak negatif dari kehadirannya. Untuk konteks ini, manusia harus dapat segera mengevaluasi diri ada di faktor apa yang menyebabkan masalah muncul ketika air kebutuhan manusia tersebut datang. Dengan begitu perlu ada upaya untuk meminimalkan dampak buruknya.
Riset yang dilakukan pada sembilan kota utama di Indonesia yaitu Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Bengkulu, Pangkalpinang dan Bandarlampung, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (2010 ke 2020) terjadi peningkatkan populasi hingga 1,3 juta jiwa. Jadi, jika pada tahun 2010 lalu ada 7,3 juta jiwa penduduk Sumatera tinggal di sembilan kota tersebut, maka pada 2020 ada 8,6 juta jiwa penduduk tinggal di kota-kota tersebut. Implikasinya tentu saja sangat serius. Karena itu berarti akan ada peningkatan konsumsi air akibat peningkatan jumlah penduduk tersebut. Terhitung, ada peningkatan hingga 187 ribu m3 air per hari yang dipakai oleh manusia. Jadi, jika pada 2010 lalu ada 1 juta m3 lebih konsumsi air, kini pada 2020 ada konsumsi air sebesar 1,24 juta m3 air. Ini merupakan jumlah yang sangat besar.
Tulisan ini ingin mengatakan bahwa telah terjadi peningkatan populasi yang sangat besar di sembilan kota yang ada di Sumatera. Setidaknya pada saat ini, jika kita melihatnya dari sisi jumlah penduduk dan katagori kota metropolitan, maka ada 3 kota di Sumatera yang masuk dalam kategori ini yaitu Medan, Palembang, dan Bandarlampung (data hasil sensus BPS 2020). Dan akan ada dua kota yang akan masuk dalam kategori metropolitan baru yaitu Pekanbaru dan Padang. Jika ini tidak diantisipasi maka akan terjadi krisis air bersih pada kota-kota tersebut. Beberapa proyek strategis pembangun SPAM (sistem penyediaan air minum) di kota-kota tersebut adalah dalam rangka memenuhi peningkatan konsumsi ini. Meskipun dalam pelaksanaannya mungkin menimbulkan persoalan baru. Untuk konteks pelaksanannya, saya kira bisa telusuri melalui internet apa yang terjadi. Dan ini terjadi akibat rendahnya keamanahan untuk menjalan tanggung jawab untuk menyediakan air bersih dan air minum untuk warga kota.
Meningkatnya jumlah penduduk dan konsumsi air perlu dilihat dari kacamata kebijakan secara jernih. Kalau secara bisnis, kalangan pengusaha sudah menjadikannya sebagai peluang. Aparatur pemerintah harusnya melihatnya dari sisi tanggung jawab. Jika poin pemerintah ini bisa dijalankan dengan baik dan terintegrasi kebijakannya, maka langkah yang diambil sebenarnya bukanlah dengan membangun SPAM yang sumber airnya dari dari daerah yang jauh dan lagi-lagi sungai. Benar memang sungai adalah sumber air, tetapi bagaimana dengan pengelolaan sungainya sendiri?
Kasus di kota-kota Sumatera, langkah yang harusnya mereka ambil adalah dengan menjaga dan mengejar target 30% ruang hijau perkotaan, setiap daerah tangkapan air hujan harus terbebas dari bangunan dan eksploitasi air oleh perusahaan air minum, setiap sungai harus terbebas dari sampah dan limbah, garis sempadan sungai (GSS) harus bebas dari bangunan, semua sungai harus dinormalisasi dan naturalisasi. Setiap rawa dan penampungan air hujan alami harus dijaga dan dirawat secara alami (sebagai green area), setiap air hujan harus terukur terserap sekian persen dan ada yang masuk ke badan aliran sungai sekian persen, dan seterusnya.
Saya tulis ini dibuat seiring meningkatnya jumlah penduduk, munculnya krisis air konsumsi, melimpahnya air banjir, dan lambannya penanganan pemerintah. Ujungnya nanti, pihak swasta masuk dan melakukan komersialiasi air, yang mana ini terjadi akibat rendahnya tanggung jawab pemerintah dan rendahnya kesadaran masyarakat. Sumatera harus cepat berbenah. Kota semakin padat oleh penduduk, dan terjadi peningkatan beragam kebutuhan. Bahan pokok, energi, air, peningkatan sampah dan sanitasi, terjadi peningkatan pesat. Kegagapan pemerintah menyediakan regulasi dan saprasnya, akan membuat liberalisasi penyediaan kebutuhan masyarakat. Dalam jangka panjang ini akan menjadi persoalan serius. Karena itu harus cepat disikapi sejak awal agar masalah-masalah perkotaan tidak semakin kompleks. Termasuk air ini.***