Feaby Handana*
Kontroversi dalam seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Lampung Utara tahun 2020 sepertinya masih akan berlanjut. Bahkan, berpotensi berakhir dengan kegagalan alias tanpa ada seorang pun yang akan menempati posisi pada sebelas JPTP yang dilelang.
Kalau ditelisik lebih jauh kontroversi itu bermula dari masalah transparansi. Beberapa hal yang memicu kontroversi dan bermula dari ketidaktransparanan panitia seleksi (pansel). Sejumlah kejanggalan tersebut antara lain adalah: dalam pengumuman hasil seleksi administrasi pada 7 Mei lalu, pansel tidak menjelaskan secara rinci mengenai standar apa yang digunakan untuk menentukan peringkat pada peserta yang memiliki nilai yang sama.
Kejanggalan dalam pengumuman ini tak ayal menimbulkan spekulasi liar di tengah masyarakat. Mereka menuding pengumuman ini hanya untuk menggiring opini bahwa hanya peserta yang duduk di peringkat pertama saja yang berpeluang besar untuk menempati setiap jabatan termasuk jabatan Sekretaris Daerah.
Imbas dari kejanggalan dalam pengumuman pertama ini membuat pansel JPTP panen kritikan. Publik dan kalangan legislatif menilai Pansel JPT kurang transparan dan profesional serta lelang JPTP dilakukan di waktu yang salah.
Panen kritikan ini jugalah yang membuat pansel JPTP kemudian meralat hasil seleksi administrasi para peserta JPTP pada 14 Mei 2020. Ironisnya, pansel kembali melakukan sebuah blunder yang terbilang fatal. Blunder itu ada di dalam ralat, yang sebenarnya dimaksudkan sebagai respons terhadap kritikan.
Blunder yang dimaksud ialah terjadinya peningkatan nilai Suwiso, peserta JPTP untuk jabatan Kepala Badan Kesatuan Politik dan Bangsa. Dalam ralat pengumumum itu, Suwisno melejit ke urutan pertama dengan nilai 50, sedangkan di pengumuman pertama peringkat Suwisno hanya empat besar dengan nilai 38. Perubahan nilai ini membuat publik semakin bersyakwasangka terkait kinerja Pansel.
Kesalahan dalam ralat pengumuman hasil seleksi administrasi ini dapat berpotensi dijadikan landasan seseorang untuk menggugat dan bahkan menggugurkan hasil keputusan Pansel JPTP hingga berujung tidak adanya pemenang JPTP kali ini. Alasannya, setiap hasil para peserta JPTP merupakan satu bagian utuh dalam ralat pengumuman itu. Jika ada satu saja yang tidak sah niscaya hasil lainnya juga tidak sah.
Kontroversi ketiga kembali terjadi saat hasil uji kompetensi diumumkan oleh Pansel JPTP pada 16 Mei lalu. Kali ini, kontrovesinya terjadi untuk jabatan Sekretaris Daerah. Hal ini dikarenakan hanya ada dua peserta saja yang dinyatakan kompeten alias memenuhi ambang batas nilai. Keduanya yakni Lekok dengan nilai 66,65 dan Dina Prawitarini dengan nilai 61,65. Padahal, jika merujuk Peraturan Menteri PAN dan RB nomor 15 tahun 2019, Pansel harus mengusulkan tiga nama untuk diajukan dan dikonsultasikan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KAS) dalam jabatan Sekda.
Meskipun ada surat edaran Menpan dan RB dengan nomor 52 tahun 2020 tentang pelaksanaan pengisian JPTP secara terbuka dan kompetitif di lingkungan instansi pemerintah dalam kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat akibat COVID-19 yang dapat dijadikan tameng, namun landasan ini tidak cukup berdasar.
Surat edaran itu hanya menjelaskan seputar jumlah calon pendaftar seleksi terbuka JPTP. Sesuai surat edaran tersebut, seleksi apat dilanjutkan meski hanya diikuti oleh dua calon setelah perpanjangan pendaftaran selama tiga hari. SE ini jelas mengatur tentang jumlah calon peserta seleksi dan bukannya jumlah peserta yang lolos seleksi. Dengan banyaknya kontroversi yang terjadi, publik bertanya – tanya: akankah hasil JPTP kali layak untuk dilanjutkan atau malah dibatalkan?
*Jurnalis Teraslampung.com