Nusa Putra
Pilpres yang dimenangkan JKW-JK telah melahirkan dua kubu
koalisi yang saling berhadapan yaitu Koalisi Indonesia Hebat lawan
Koalisi Merah Putih. Keduanya bertarung habis sampai-sampai menimbulkan
kehebohan luar biasa di parlemen. Mereka bukan saja memproduksi
kata-kata yang tak pantas, bahkan sampai menendang meja. Mirip preman
jalanan, tetapi dilakukan di dalam gedung dewan perwakilan rakyat yang
terhormat.
pemerintahan JKW-JK. Setiap kebijakan pemerintah selalu dianalisis
secara kritis. Terkadang dikuahi dan dirempahi dengan berbagai
kecaman,bahkan ancaman.
Itulah sebabnya sampai kini, banyak orang masih percaya memang terjadi
perseteruan antara dua kubu koalisi ini. Seperti musuh bebuyutan. Saling
ledek dan serang.
Mungkin itulah ciri perpolitikan kita yang paling menonjol. Saling
serang dan memunculkan kegaduhan. Setiap kesempatan dan peristiwa yang
bisa dimanfaatkan untuk saling menjatuhkan, dilakukan dengan terbuka,
kasar dan memuakkan.
Saat Setya Novanto dan Fadli Zon, dua pentolan Koalisi Merah Putih,
melakukan tindakan yang memalukan bangsa dan negara ini di Amerika.
Lawan politiknya Koalisi Indonesia Hebat langsung melakukan serangan.
Mengadukannya ke Majelis Kehormatan Dewan. Politisi dari Koalisi
Indonesia Hebat melakukan serangan gencar melalui media. Tak mau kalah,
Koalisi Merah Putih mempersoalkan kader PDIP yang sudah jadi menteri,
tetapi tidak mundur sebagai anggota DPR. Pastilah saling serangnya jadi
sengit.
Namun, koalisi politik yang berhadap-hadapan itu memang tidak dapat
dipertahankan dalam jangka panjang. Waktu berjalan, kepentingan
berkembang, tawar-menawar, transaksi, dan saling pengertian di antara
partai terus meningkat. Akibatnya koalisi politik berubah secara
dinamis. PAN menyatakan diri sebagai bagian dari pemerintah. Sebelumnya
berada di luar pemerintah dan bersikap sangat kritis bersama Koalisi
Merah Putih.
Inilah fakta politik kita. Kawan dan lawan bisa berubah dan bertukar
secara sangat dinamis dan cepat. Dasarnya adalah kepentingan. Tentu saja
kepentingan terkait dengan kuasa dan kekuasaan, serta apa yang bisa
didapatkan dengan dan di dalam kekuasaan.
Apapun rumus dan teorinya, partai politik itu dibangun untuk dan demi
kuasa. Meskipun diembel-embeli dengan memperjuangkan kepentingan,
aspirasi dan kesejahteraan rakyat. Faktanya yang didahukukan adalah
kepentingan, aspirasi dan kesejahteraan orang-orang yang ada di dalam
partai.
Bila kepentingan, aspirasi dan kesejahteraan rakyat yang didahulukan,
mengapa ribut meminta dan memaksa kenaikan tunjangan anggota DPR saat
rakyat berada dalam kesulitan dan kesusahan karena pelambatan ekonomi?
Mengapa tetap melakukan studi banding dengan biaya mahal ke luar negeri?
Padahal rakyat semakin tidak berdaya secara ekonomis?
Dalam kaitan inilah kita menyaksikan bagaimana buruknya perilaku partai
politik yang dicerminkan oleh perilaku para kadernya. Partai-partai itu
bisa saja mempertontonkan sikap saling serang di depan publik sebagai
partai yang berseberangan. Tetapi berkoalisi “merampok” uang rakyat.
Paling kurang inilah yang kita saksikan antara kader PKS dan NASDEM
dalam kasus “penggorokan” bantuan sosial (bansos) di Sumatra Utara.
Di tingkat pusat, PKS berada dalam Koalisi Merah Putih yang berada di
luar pemerintahan, dan NASDEM berada dalam Koalisi Indonesia Hebat yang
merupakan bagian dari pemerintahan. Keduanya saling berhadapan, bahkan
saling serang. Namun saat “merampok” bansos, mereka berkoalisi. Inilah
sebenarnya koalisi sejati partai politik. Karena kepentingan mereka sama
dan sebangun yaitu memperoleh kekuasaan dan sama-sama “merampok” uang
rakyat. Mereka sama sekali tidak peduli bahwa bansos itu adalah uang
yang diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu.
ICW mencatat salah satu bentuk koalisi sejati itu dilakukan dengan,
Penggelembungan Anggaran Jadi Modus Korupsi DPRD [29/07/04]. Karena yang
melakukannya DPRD, pastilah dilakukan oleh banyak partai politik yang
ada di DPRD. Mereka bisa berbeda dalam sejumlah hal, tetapi selalu
bersepakat bila menyangkut “merampok” uang rakyat, menggunakan kuasa
anggaran yang mereka miliki.
Itulah sebabnya kasus korupsi yang melibatkan pimpinan dan anggota DPRD
secara berjamaah banyak terjadi. Nyaris semua DPRD melakukan korupsi.
Aktivis ICW menjelaskan,
Emerson mengatakan, dari data ICW hingga akhir 2004, setidaknya ada 102
kasus korupsi yang melibatkan 1.437 pimpinan dan anggota DPRD dengan
perkiraan total kerugian negara sebesar Rp772 miliar. Dari 102 kasus
korupsi DPRD yang terungkap, paling tidak sebanyak 1.437 anggota DPRD di
seluruh Indonesia yang telah diproses secara hukum, baik dalam tahap
penyelidikan, penyidikan, hingga yang telah diputus oleh pengadilan,
ujar Emerson.
Saat ini, tambah Emerson, masih ada 1.115 anggota DPRD dengan 77 kasus
dugaan korupsi yang menjalani proses pemeriksaan oleh kepolisian dan
kejaksaan.
Sementara itu Republika On Line (28.02.2013) membuat rincian sebagai berikut: sejak dihelat pemilukada pada 2004, hampir
3.000 anggota DPRD provinsi serta kota/kabupaten di seluruh Indonesia
terjerat hukum. Tindak pidana korupsi mendominasi kasus hukum yang
menjerat anggota DPRD.
Sebanyak 431 anggota DPRD provinsi terjerat kasus hukum. Berdasarkan
surat izin pemeriksaan yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) pada akhir 2012, sebanyak 137 (35,49 persen) orang
diperiksa kepolisian dan 294 orang (64,51 persen) diperiksa kejaksaan.
Dari 431 kasus, sebanyak 83,76 persen terjerat kasus korupsi, dan
lainnya kasus pidana, pemerasan, dan perzinahan.
Jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang terseret kasus hukum lebih besar
lagi mencapai 2.545 orang. Namun, hingga kini aparat kepolisian dan
kejaksaan baru memeriksa 994 orang saja. Dari 2.545 anggota dewan,
terdapat 1.050 orang (40,07 persen) teridentifikasi kasusnya adalah
korupsi. Dengan kata lain, selama delapan tahun terakhir, setidaknya
2.976 anggota dewan terjerat kasus hukum yang didominasi kasus korupsi.
“Jumlah data itu terus bertambah karena anggota dewan yang tersangkut
kasus hukum, ada saja setiap harinya,” kata Staf Ahli Mendagri
Reydonnyzar Moenek, Kamis (28/2).
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua KPK, Bambang Widjayanto
menegaskan bahwa korupsi yang melibatkan DPRD sungguh mengerikan.
Kompas.com mencatat,
Berdasarkan data Djohermansyah Johan (Direktur Jenderal Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri), kepala daerah yang kena kasus korupsi 290
orang. Data kita, DPRD yang kena itu sudah 3.600-an. Waduh berarti 1
tahun 300 tuh dengan jumlah kabupaten dan kota yang sama. Artinya yang
paling korup DPRD-nya dong?” kata Bambang dalam sebuah diskusi di
Jakarta, Kamis (25/9/2014) malam.
Banyaknya pimpinan dan anggota DPRD tersangkut kasus karopsi karena
dilakukan secara berjamaah lintas partai. Jadi, koalisi sejati partai
politik ternyata adalah korupsi. Koalisi yang lain hanya ecek-ecek,
karena itu tidak pernah permanen.
SELAMA PARTAI POLITIK KORUP, NEGARA BANGSA INI AKAN TERUS TERSANDERA