Tomi Lebang
Gadis kecil meringkuk kaku dalam kardus, tak bernyawa, dari mulutnya meleleh darah yang menghitam. Ia digeletakkan begitu saja di pinggir jalan kecil dan gelap di Kalideres, Jakarta. Polisi menduga ia diperkosa, lalu dibunuh …. dan kita semua marah. Indonesia menangis. Tak sanggup saya bayangkan saat-saat akhir hidupnya…
Kepada siapa harus menitipkan amarah?
* * * * *
Saya ingat Lisbeth Salander.
Wartawan Swedia, Stieg Larsson mengisahkannya dalam trilogi Millenium: The Girl with the Dragon Tattoo, The Girl who Played with Fire, dan The Girl who Kicked the Hornets’ Nest.
The Girl ini, si Lisbeth Salander, dinyatakan oleh negaranya (Swedia) sebagai anak bermasalah sejak kanak-kanak, demi melindungi informan Rusia yang membelot bernama Alexander ‘Zala’ Zalachenko. Dan Zala adalah ayah kandung Lisbeth sendiri, ayah bejat yang kerap menyiksa ibu Lisbeth, mabuk-mabukan, dan menjalankan bisnis rahasia perdagangan wanita Eropa Timur di Swedia.
Sehari-hari, Lisbeth tampil urakan: rambut hitam legam dipotong spike, punggungnya dirajah dengan gambar naga, pada kupingnya menjuntai beberapa anting, hidung dan alisnya penuh tindikan. Ia kurus, bicara ketus dan seperlunya, perokok, dan sungguh tertutup.
Lisbeth sengsara sedari kecil.
Pada usia 12 tahun, Lisbeth membela ibunya yang disiksa sampai semaput, menyiramkan bensin ke wajah Zalachenko dan membakarnya sampai cacat. Tapi demi sepotong informasi rahasia, sekelompok elit Swedia yang disebut Sapo malah bersekongkol menyatakan Lisbeth mengalami gangguan jiwa. Ia dijebloskan ke rumah sakit jiwa lalu dirantai di dipan selama 381 hari atas rekomendasi dokter anggota Sapo.
Keluar dari rumah sakit, Lisbeth di bawah perwalian, dan wali .yang menanganinya adalah musang berbulu domba, seorang advokat bernama Nils Bjurman.
Lisbeth menjalani dua dunia dengan diam. Dunia yang menganggapnya perempuan urakan dengan kondisi jiwa yang labil, dan dunia lain yang luar biasa: karena Lisbeth sesungguhnya seorang jagoan komputer, seorang hacker kelas dunia dengan nama samaran @Wasp yang hanya dikenali oleh satu dua orang sahaja.
Di dunia bawah tanah, Lisbeth adalah anggota komunitas hacker internasional yang ekslusif yang hanya beranggotakan kurang dari selusin, saling bantu, juga menghasilkan uang.
Di balik tampangnya yang seperti pengamen jalanan, Lisbeth berotak encer, punya daya ingat fotografis yang rumit (bisa menebak angka sandi dari mendengar suara tombol), dan juga penggila matematika yang bisa membuktikan teori Fermat (tak ada bilangan bulat yang memenuhi persamaan a3+b3=c3).
Begitulah. Di bawah perwalian advokat Nils Bjurman, Lisbeth adalah perempuan sengsara. Wali yang ditunjuk negara untuk mengurusnya ini memperkosanya dengan brutal dan sadis.
Dan Lisbeth menyelesaikan Bjurman dengan caranya sendiri. Diam-diam ia merekam aksi perkosaan dirinya.
Suatu hari, ia datang ke Bjurman yang menerimanya dengan tatapan dan suara bernafsu. Mendadak, Lisbeth menekankan alat setrum ke tubuhnya, lalu kali ini mereka beralih peran: Lisbeth mengikatnya dengan rantai di lantai dengan telanjang, memutar film yang menunjukkan adegan Bjurman memperkosanya, lalu dengan gaya yang dingin menusukkan tongkat ke dubur lelaki itu.
Lisbeth menghidupkan mesin pembuat tattoo dan merajah perut Bjurman dengan tulisan huruf besar dan buruk: “I AM A SADISTIC PIG AND RAPIST” …. saya celeng sadis dan pemerkosa. Tulisan yang tak kan pupus seumur hidupnya.
* * * * *
Ceritanya panjang. Tapi saya mengakhirinya di sini, menitipkan kemarahan saya untuk pemerkosa dan pembunuh gadis kecil di Jakarta Barat, kepada Lisbeth Salander.
Untuk adik kecil yang meringkuk dalam kardus di pinggir jalan yang gelap di Kalideres, maafkan kami. Damailah di sana bersama Penciptamu. Bermain tanpa takut. Kami hanya bisa mengirim air mata, juga rasa sakit di ulu hati.
— Makassar, 9 Oktober 2015