Oleh Nusa Putra*
Tanggal 1 Oktober 2015, peringatan 50 tahun Hari Kesaktian Pancasila. Ada kehebohan yang beredar di masyarakat. Tersiar kabar Pemerintah akan meminta maaf pada keluarga PKI yang dibantai saat terjadi tragedi 1965. Muncul pula lambang PKI saat karnaval budaya di Madura. Di sosial media diributkan bahwa PKI akan bangkit. Di beberapa sudut kota Jakarta terpasang spanduk penolakan terhadap komunis dan peringatan akan bahaya laten PKI.
Di media sosial bahkan banyak orang menyebut munculnya simbol PKI pada karnaval budaya di Madura sebagai tanda kebangkitan PKI. Berkembang tuduhan bahwa Presiden Jokowi bersikap lunak bahkan memberi kesempatan bagi bangkitnya PKI.
Rasanya orang-orang yang menuduh munculnya simbol PKI pada karnaval budaya di Madura sebagai tanda bangkitnya PKI pantas diduga kurang waras atau paling kurang paranoid. Karnaval budaya di Madura itu mau tunjukkan tonggak-tonggak sejarah kebudayaan Indonesia. SMP Pamekasan mendapat tugas dari panitia untuk menampilkan tonggak sejarah pemberontakan PKI. Mereka diminta menggambarkan bagaimana sejarah pemberontakan PKI. Tujuannya untuk membangun kesadaran di kalangan generasi muda tentang bahaya komunis.
Aneh dan sangat gila, peristiwa yang justru bermaksud membangun kesadaran di kalangan generasi muda tentang bahaya komunis dituding sebagai tanda kebangkitan komunis. Jika melihat banyaknya pendapat pengguna media sosial yang menggambarkan munculnya simbol PKI di Madura sebagai tanda kebangkitan komunis, bisa diduga orang kurang waras jumlahnya tidak sedikit di negeri ini.
Mestinya dicari tahu dan dipahami kejadian itu secara benar dan komprehensif, baru diberi komentar. Agaknya, salah paham model begini kini menjadi keseharian. Makin banyak orang yang majal alias tumpul. Tidak mengasah daya kritisnya. Berkomentar seenaknya tanpa dasar fakta, pun tidak disertai argumentasi yang nalar dan nakar.
Memang terasa aneh, tiba-tiba banyak orang bicara akan bangkitnya hantu komunis dan mengaitkannya dengan Pemerintahan sekarang. Dikesankan pemerintahan ini memberi peluang pada bangkitnya komunis, meski tidak jelas apa indikatornya.
Sampai-sampai Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Panglima TNI, dan Menkopolhukam membantahnya dengan keras. Mestinya Pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap orang-orang tidak bertanggung jawab yang hanya bisa memunculkan kegaduhan dengan cara menyebarkan fitnah. Jangan sekadar meminta mereka bertobat. Negeri ini tidak bisa maju jika fitnah dijadikan cara untuk menghancurkan pihak lain.
Jika diperhatikan dengan cermat, sejak reformasi, berbagai terbitan tentang ajaran komunis, uraian tentang PKI dan buku-buku terjemahan karya Karl Marx banyak beredar dan dijual secara resmi di toko buku. Banyak buku yang dilarang selama Orde Baru seperti Madilog karya Tan Malaka dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer beredar dan dicetak berulang-ulang.
Diskusi tentang komunis dan ajarannya dilakukan di banyak tempat. Pembicaranya bahkan para bekas tahanan politik yang nyata-nyata orang komunis. Namun, saat itu suasana adem-adem saja dan tak ada ketakutan akan bangkitnya komunisme. Mengapa sekarang sejumlah orang meributkan bangkitnya komunisme, padahal suasananya tidak sebebas dan separah awal reformasi. Patut diduga memang ada pihak yang sedang “buang kotoran di air keruh”.
Komunisme memang bisa tumbuh kembali. Tetapi berdasarkan jejak sejarah muncul, tumbang dan matinya komunis, dapat disimpulkan bahwa ada sejumlah prasyarat bagi tumbuhnya komunisme.
Pertanyaan yang harus dijawab terkait dengan munculnya komunis adalah, apakah komunisme bisa tumbuh kembang dan menjadi besar dalam negara demokratis dengan tingkat kesejahteraan dan pendidikan yang tergolong baik? Adakah negara yang menjadi komunis melalui pemilihan demokratis? Bukankah Sovyet, Tiongkok, dan sejumlah negara Amerika Latin menjadi komunis melalui revolusi bersenjata yang penuh darah dan pembunuhan sadis? Bukankah Eropa timur menjadi komunis karena ekspansi bersenjata Uni Sovyet? Bukankah komunisme rontok begitu rakyat diberi kebebasan memilih? Adakah rezim komunis yang demokratis? Bukankah negara komunis hanya dapat dipertahankan dengan kekejaman rezim otoriter yang pasti menindas rakyat?
Semuanya menegaskan bahwa komunis hanya bisa tumbuh dengan kekejaman dan penindasan, dan bisa bertahan berkat kekejaman rezim tak berperikemanusiaan. Itulah sebabnya tak ada sejengkal pun tanah di Indonesia yang bisa menumbuhkembangkan komunisme bila kita berhasil memerangi kemiskinan dan kebodohan. Karena itulah, meski di Eropa Barat komunisme dibiarkan tumbuh, namun tak pernah bisa menjadi kekuatan yang dominan dan menentukan.
Oleh sebab itu energi bangsa ini lebih baik diarahkan untuk memerangi kemiskinan dan kebodohab daripada meributkan bangkitnya komunisme. Ideologi ekstrim yang didasarkan pada agama seperti yang dianaut ISIS pun tak dapat tumbuh kembang, bila kita berhasil menumpas kemiskinan dan kebodohan. Ajaran radikal, baik itu didasarkan pada ideologi duniawi maupun agama, tak akan pernah mekar, tumbuh kembang dalam masyarakat yang terdidik dan sejahtera.
Dengan semangat seperti itulah seharusnya kita memperingati 50 tahun Kesaktian Pancasila. Namun entah apa sebabnya, energi sebagian dari bangsa ini menguap karena meributkan kembali bangkitnya komunis dengan menghembuskan isu-isu yang kembali memecah belah masyarakat.
Peringatan ini menjadi terasa agak terganggu karena kekurangtelitian Kompas TV yang menampilkan teks bergerak berisi kalimat: PERINGATAN KESAKTIAN PANCASIAL KE-50, PRESIDEN JOKOWI BERTINDAK….
Kesalahan sangat manusiawi. Sekretariat Negara juga bisa lakukan kesalahan saat tidak tepat memanjangkan singkatan BIN. Secara pribadi saya yakin Kompas TV pasti tidak sengaja lakukan kesalahan ini. Namun kita harus mengingatkan agar KOMPAS TV lebih hati-hati. Kompas grup memiliki reputasi yang tidak perlu diragukan. Mereka terkenal hati-hati, objektif dan jujur. Pastilah ada mekanisme standar untuk menampilkan berita dan teks di televisi. Sampai bisa terjadi kesalahan fatal ini tentu sangat mengecewakan.
Kesalahan KOMPAS TV ini mestinya membuat kita hati-hati dan menyadari bahwa terkait dengan urusan ideologi dan prinsip-prinsip kenegaraan, kita harus fokus. Tidak boleh lengah.
WARGA NEGARA YANG BAIK, TIDAK BOLEH BERMAIN-MAIN DENGAN IDEOLOGI NEGARA YANG MEREKATKAN KITA YANG SANGAT BERAGAM.
* Dr. Nusa Putra, M.Pd adalah dosen Universitas Negeri Jakarta