Kopi Pagi: Setya Novanto dan Muhammad Ali

Bagikan/Suka/Tweet:

Tomi Lebang

Setya Novanto akhirnya memilih jalan terang: mengundurkan diri dari jabatannya sebagai orang nomor tiga di republik ini. Desakan publik, pembelotan kolega di mahkamah kehormatan, dan tentu saja hitung-hitungan politik dan masa depannya, membuat ia mendahului sanksi yang menantinya.

Dan kita? Saya tak perlu bersorak, tak juga ingin menimpali kejatuhannya dengan cela-celaan seperti saat ia masih jumawa di posisinya dan tak menunjukkan rasa bersalah.

Saya ingat sosok ini, legenda hidup tinju dunia yang kini 73 tahun: Muhammad Ali. Dulu, ia bernama Cassius Clay dan sungguh bermulut besar. Ia kemudian menekuni ajaran agama seraya tetap bertarung di ring.

Saat datang ke Jakarta di awal tahun 1996 dan berkunjung ke Rumah Sakit Dharmais, ia ditanya seorang wartawan: apa bedanya Anda saat bertinju sebagai Cassius Clay dan sebagai Muhammad Ali?

Ali menjawab: “Sebagai Clay saat memukul jatuh musuh, saya berteriak “I kill you”. Tapi sebagai Muhammad Ali, saya menjatuhkan lawan di ring sembari bergumam “I love you”.”

Kini terserah Anda. Mengiringi kejatuhan Setya Novanto ini, salah satu petinggi negeri, dengan rasa muak kepadanya atau dengan sepenuh cinta kepada Indonesia.