Isbedy Stiawan ZS
KABAR duka meninggalnya sastrawan dan mantan anggota Dewan Korrie Layun Rampan kubaca dari status kawan-kawan sastrawan dini hari waktu Belanda.
Segera kucari akun putri Korrie, yakni Riena Rampan–atau Iin–dan tertulis: “In sayang bapak.”
Innalillahi wa inna ilaihi roojiun, aku berucap. Setiap yang datang dari Allah akan kembali kepada-Nya. Inilah jalan menuju kembali.
Korrie lahir tahun 1953 di Kutai. Ia “jebolan” Persada Studi Klub Jogjakarta.
Bagi dunia kesastraan Indonesia, musykil tidak mengenal Korrie. Penulis novel “Upacara” ini adalah cerpenis, penyair, kririkus, dan dokumentator sastra yang baik, setelah tiadanya H.B. Jassin. Cara pendekatan terhadap karya sastra, keduanya hampir mirip.
Aku mengenal Korrie sejak awal kepenyairanku. Dia banyak mengulas puisi-puisiku, baik di Suara Karya, Swadesi, Shimponi, maupun Merdeka Minggu.
Dalam apesiasinya, ia sempat menyebut puisi-puisi awalku “terpengaruh” Abdul Hadi WM, lalu Sapardi Djoko Damono. Kemudian ia mengatakan, puisi-puisiku sudah memiliki khas aku.
Korrie memasukkan namaku dalam ensiklopedia sastra(wan) Indonesia, selain dalam barisan sastrawan Angkatan 2000.
Korrie berani memopularkan Angkatan 2000 justru saat angkatan dalam sastra sesudah 45 dan 66 dianggap tak ada lagi.
Kritik-kritik sastra Korrie, terlepas dinilai tida akademik, namun sangat dibutuhkan dan menjadi kerinduan sastrawan setelah kekosongan kritikus saatra ditinggal H.B Jassin.
Kini dunia sastra Indonesia kehilangan kritikus sastra dari luar kampus. Kita harapkan, setelah kepergian mantan redaktur majalah wanita ini, kritikus sastra Indonesia lahir dan muncul dari rahim akademik.
Dunia sastra Indonesia banyak melahirkan (karya) sastra dan sastrawan, tapi sulit mendapatkan kritikus saatra yang serius menekuninya.
Dari Belanda, kusampaikan selamat jalan Korrie, semoga mendapat tempat layak sesuai amal ibadah.
Kami akan berguru pada keuletan dan disiplin dan kepedulian pada sastra.
Selamat jalan…