Oleh Syarief Makhya
Di ujung akhir tahun 2022, di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandar Lampung diduga melakukan pungutan retribusi sampah tahun 2019 – 2022. Selisih target dengan realisasi retribusi sampah di dinas tersebut mencapai Rp34,8 miliar. Persoalannya, mekanisme pengelolaan retribusi sampah yang tidak sesuai dengan yang telah ditentukan antara lain objek retribusi yang dipungut namun tidak disetorkan ke kas negara, Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung juga tidak memiliki data wajib retribusi, pembayaran retribusi sampah dari pihak-pihak perusahaan, perumahan elit dan supermarket, terdapat selisih yang besar antara target pemasukan dengan realisasi.
Ternyata isu masalah sampah bukan hanya persoalan masalah ketaatan warga dalam menjaga kebersihan, tapi juga masalah lingkungan, pengelolaan sampah, penggunaan teknologi pengolahan sampah, penerapan sanksi bagi yang membuang sampah sembarangan, tetapi juga sampah sekarang ini menjadi potensial dalam penerimaan retribusi bagi pemerintah kota; bahkan di beberapa tempat seperti DKI Jakarta, Bekasi, Solo, dan Surabaya sampah bisa dijadikan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).
Jadi, konsep sampah tidak lagi dipahami sebagai barang busuk, barang buangan yang tidak berguna, atau barang yang tidak mempunyai nilai dan tidak berharga tetapi konsep sampah sekarang menjadi barang yang berguna dan menghasilkan secara finasial untuk pemasukan pendapatan asli daerah (PAD).
Sekarang ini pemasukan dari retribusi sampah semakin besar. Jumlah penduduk yang semakin bertambah, jumlah perusahan, perumahan elit, supermarket dan industri juga semakin bertambah maka jumlah retribusinya akan lebih besar, karena sejauh ini pembuangan sampah masih tergantung pada pelayanan yang diberikan pemerintah.
Pengeloaan sampah sekarang menjadi tanggungjawab pemerintah, sebagai bagian dari pelayanan pada masyarakat. Jika pelayanan pengelolaan sampah ini tidak maksimal maka banyak resiko buruk yang akan timbul seperti masalah lingkungan, pemandangan buruk, menimbulkan banyak penyakit, dsb. termasuk dari aspek pengolaan sampah ada potensi terjadinya korupsi karena tatakelolanya masih sangat lemah.
Di era persaingan politik, pengelolaan sampah juga menjadi isu penting dalam perebutan persaingan pemilihan kepala desa. Kepala desa yang menawarkan jaminan kebersihan dan pengangkutan sampah yang terkelola dengaan baik menjadi daya tarik terutama bagi ibu-ibu.
Pengelolaan Sampah
Jika dicermati penyebab terjadinya korupsi retribusi sampah akar persoalannya bersumber dari tatakelola yang tidak beres; pengelolan penarikan retribusi yang datanya tidak jelas atau tidak terupdate, sistem pembayaran retribusi yang tidak masuk ke kas daerah, pengawasan yang sangat lemah dan penggunaan sistem informasi yang tidak optimal.
Dalam konteks perkembangan dinamika pemerintahan sekarang ini kebutuhan kemutahiran data, penggunaan teknologi informasi, sistem pelayanan, dan masalah profesionalistas SDM sudah menjadi kebutuhan. Proses transformasi dari sistem tradisonal menuju pelayanan berbasis online, penerapan asas transparansi dan tatakelola yang terkontrol oleh sistem serta orientasinya betul-betul untuk peningkatan kualitas pelayanan sudah berlangsung lama sekitar 10 tahun yang lalu.
Jadi, perubahan transformasi pelayanan tersebut bukan persoalan ketidaktahuan atau keenganan untuk mereformasi sistem pelayanan, tetapi sengaja dibuat celah untuk melakukan praktek korupsi.
Dalam perspektif tatakelola pemerintahan, target pengelolaan sampah ada dua tujuan yaitu bersih sampah melalui pengurangan sampah 30% dan penanganan sampah 70%, tujuan lain yaitu meningkatkan PAD melalui penarikan retribusi sampah. Upaya peningkatan retribusi sampah inilah yang dijadikan praktek korupsi dengan cara tidak menyetor ke kas daerah karena secara sengaja ada pengabaian terhadap sistem pelayanan.
Jago Cari Uang?
Model pemerintahan sekarang terinspirasi oleh pemikiran Osborn dan Gaebler (1993) tentang Reinventing Government, salah satu nya pemerintah harus Earning Rather Than Spending. Artinya, pemerintah harus mampu menghasilkan pemasukan anggaran daripada jago menghabiskan anggaran.
Implikasi dari pemikiran tersebut kemudian pemerintah berlomba-lomba meningkatkan pendapatan penambahan jumlah pajak dan retribusi. Hampir semua pelayanan yang diberikan pemerintah sekarang ini diuangkan melalui penarikan retribusi dan pajak; singkat kata tidak ada pelayanan yang gratis. Buang air kecil di tempat umum seperti terminal bus atau angkot, pasar, juga parkir, fasilitas ruang publik, pengangkutan sampah dst semua dipungur retribusi.
Ada dua pendapat terhadap masalah tersebut. Pertama, penarikan retribusi dicirikan dengan ada jasa langsung yang diberikan pemerintah atau pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Jadi, retribusi dalam cara pandang ini dinilai sebagai keharusan.
Kedua, pelayanan publik, termasuk pelayanan pengangkutan sampah adalah bagian dari kewajiban pemerinhtah yang harus diberikan secara gratis. Jadi, tidak perlu lagi ada retribusi sampah. Kebersihan dan lingkungan adalah bagian dari kewajiban pemerintah. Pemerintah cukup memberikan edukasi pada masyarakat untuk disiplin dan menjadi budaya dalam membersihkan dan menjaga lingkungan.
Pada Piala Dunia di Qatar bulan yang lalu bagaimana suporter Jepang selalu membersihkan sampah di stadion setelah selesai pertandingan. Kerapian di ruang publik di Jepang dianggap sebagai kebajikan dan anak-anak diajari sejak usia sangat muda untuk membersihkan ruang kelas dan fasilitas sekolah secara teratur. Pelayanan sampah di Indonesia seharusnya mengarah seperti di Jepang.***
*Dr. Syarief Makhya, akademisi FISIP Universitas Lampung