Kota Metro, Mengubah “Desa Besar” Menjadi Kota Pendidikan

Walikota Metro Lukman Hakim saat membuka Festival Hijau, beberapa waktu lalu. (dok teraslampung.com)
Bagikan/Suka/Tweet:

METRO, Teraslampung.com — “Kalau ingin melihat perkampungan Jawa, datanglah ke Kota Metro!” Begitulah orang Lampung sering berkata kepada tamunya yang yang berasal dari luar Lampung.

Tidak hanya bentuk kotanya yang hampir sama persis dengan kota-kota di Pulau Jawa, bentuk rumah penduduk, adat istiadat, dan bahasanya pun sama persis dengan kota-kota di Jawa. Di tengah-tengah kota terdapat lapangan luas menghijau atau alun-alun yang dikelilingi bangunan masjid, kantor Pemerintah Daerah, dan beberapa bangunan penting lainnya.

Metro merupakan kota yang dibentuk oleh kolonial. Sebagian besar (lebih 80 persen) dari 200-an ribu penduduk Kota Metro adalah warga bersuku Jawa. Mereka adalah anak keturunan orang Jawa yang didatangkan Belanda dalam program kolonisasi pada abad 19.

Pemerintah Kolonial Belanda melakukan penataan daerah kolonisasi ini dengan baik, yaitu dengan mengadakan pengaturan untuk daerah pemukiman, daerah pertanian, tempat-tempat perdagangan, jaringan jalan raya, tempat-tempat untuk pembangunan berbagai fasilitas sosial, jaringan saluran irigasi, untuk perkantoran, lapangan, taman-taman dan bahkan “rute” pembuangan air hujan.

Pemerintah Kolonial Belanda telah menggariskan land use planning”daerah. Itulah sebabnya, di antara kota-kota lain di Lampung, Metro merupakan kota yang paling rapi. Tak mengherankan jika kota kecil ini sudah beberapa kali meraih pengharagaan Adipura sebagai kota kecil terbersih di Indonesia. Tahun ini Metro juga berhasil mendapatkan penghargaan terbaik nasional Pos Pemberdayaan Keluarga (Pos Daya).

Dibentuk menjadi kota dan memisahkan diri dari Kabupaten Lampung Tengah pada 27 April 1999, kini kota yang berjarak sekitar 50 km sebelah tenggara Kota Bandarlampung ini sedang berjuang keras untuk benar-benar menjadi kota. Maklum, meskipun berbentuk sebuah kota, sebelumnya Metro lebih sering disebut sebagai “desa besar”.

Meskipun kotanya teratur rapi, menjadikan Metro benar-benar sebagai sebuah kota—yang berbeda dengan kota kabupaten—bukanlah hal mudah. Sebab, meskipun sebuah kota, sebagian besar penduduk Kota Metro pada 1999 (lebih dari 30 persen) sebenarnya hidup dari hasil pertanian. Saat ini dari sekitar 200 ribu penduduk Kota Metro, 23,97 persennya hidup dari sector pertanian, 28,18 persen di sector perdagangan, 28, 56 di sektor jasa, 9,84 persen sektor komunikasi, dan 5,63 persen di sektor konstruksi.

Kota dengan enam kecamatan dan 22 kelurahan ini kini terus  gencar untuk mewujudkan Metro sebagai Kota Pendidikan. Untuk mewujudkan visi sebagai Kota Pendidikan, bukan hanya didukung oleh adanya 14 perguruan tinggi dan fasilitas pendidikan yang bagus, tetapi juga sikap hidup warga Kota Metro tentang arti pentingnya pendidikan. Antara lain dengan membiasakan para pelajar dan mahasiswa untuk tetap berada di rumah untuk belajar pada saat jam-jam belajar (pukul 18.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB).

“Kami memiliki aturan tak tertulis yang disebut ‘Jam Belajar Masyarakat. Tiap pukul 18.00 sampai pukul 21.00 WIB warga Metro diimbau untuk mematikan pesawat televisi. Para orang tua diimbau mendampingi anaknya belajar,” kata Wali Kota Metro Lukman Hakim.

Sebelum mencanangkan diri sebagai Kota Pendidikan pada 2007 lalu, Metro sebelumnya terkenal sebagai Kota Walet. Itu karena di kota kecil itu terdapat 500-an bangunan rumah dan gedung sarang walet. Selain toko-toko di pusat kota yang berubah fungsi menjadi rumah walet, banyak areal persawahan di sekeliling Kota Metro yang berubah fungsi menjadi bangunan walet.

Menurut Lukman Hakim, untuk mejadi Kota Pendidikan citra Metro sebagai Kota Walet juga harus diubah. “Itulah sebabnya, kami meminta para pemilik rumah toko yang berubah fungsi menjadi rumah walet mengembalikan fungsi ruko sebagaimana awalnya. Kami pun mengganti Patung Walet di tengah kota menjadi Patung Pendidikan,” kata dia.

Meski patung sebagai ikon kota sudah diganti, maraknya bangunan sarang walet di seluruh penjuru kota dan areal persawahan produktif tetap menjadi persoalan di Metro. Ironisnya, sebagian besar bangunan walet itu milik orang luar kota dan tidak menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup berarti bagi Kota Metro.

Lukman mengaku dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar dan suku yang hampir homogen (mayoritas Jawa) baginya relatif  mudah untuk mengajak warga membangun Kota Metro. Untuk menjadikan Metro sebagai kota bersih dan sehat, misalnya, Walikota Lukman Hakim tiap hari Sabtu turun langsung ke kelurahan-kelurahan untuk kerja bakti membersihkan saluran air yang mampet atau sampah yang berserakan.

“Seluruh aspek hidup masyarakat juga harus memiliki perspektif pendidikan. Dalam menata kota menjadi kota yang bersih pun saya melakukannya dengan perspektif pendidik. Termasuk juga dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),” kata Lukman.

Sejak 2006 lalu penyusunan APBD di Kota Metro memang dilakukan dengan melibatkan masyarakat di tingkat kelurahan. Sebelum APBD disusun, Walikota Metro Lukman Hakim dan Wakil Walikota Djohan berkeliling kelurahan untuk menggelar “bedah anggaran”. Dalam forum itu warga kelurahan dimintai masukannya tentang program apa yang akan dilaksanakan masing-masing kelurahan setahun mendatang.

“Dalam forum itulah kami bisa mengajukan anggaran untuk membangun kelurahan.Kami sekaligus juga bisa mengadukan langsung persoalan yang ada di tingkat kelurahan .Sebagai kota kecil, APBD Kota Metro awalnya hanya Rp 350-an miliar. Makanya, kami bersyukur ada program bedah anggaran bisa menekan pemborosan. Lama-lama dana APBD naik, tetapi penghematan terus berlanjut,” kata Lukman.

Mas Alina Arifin

BACA JUGA:  Metro, Belantara yang Menjadi Kota Pendidikan