Kota Pensiunan itu Bernama Purworejo

Patung WR Supratman di salah satu sudut Kota Purworejo, Jawa Tengah (Foto: dok steemit)
Bagikan/Suka/Tweet:

Catatan Lepas Gunawan Handoko

PADA AWALNYA saya mengira bahwa undangan pertemuan diaospora atau para perantau asal Purworejo, Jawa Tengah, itu sekadar untuk silaturrahmi dan temu kangen sekaligus bernostalgia saat masih sekolah dulu. Lalu dilanjutkan dengan mengadakan arisan yang akan di kocok setiap kali pertemuan.

Lebih kurang seminggu sebelum pertemuan, pihak penyelenggara melakukan konfirmasi sekaligus minta agar saya menyampaikan berbagai isu strategis dan potensi yang bisa dikembangkan serta alternatif solusinya. Berarti pertemuan diaspora Purworejo yang dilaksanakan pada 28 Juli 2018 di Kantor Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan nanti bukan sekedar kongkow-kongkow seperti yang saya duga.

Mestinya saya tidak sendirian, karena ada 2 orang lain dari Lampung yang diminta hadir yakni Prof.Dr. Sugeng Harianto mantan Rektor Universitas Lampung dan Oyos Saroso HN, jurnalis senior asal Banyu Urip, Purworejo. Sayang, keduanya batal hadir karena masing-masing ada tugas yang memang tidak bisa ditinggalkan.

Meski harus datang sendiri, saya tetap bersemangat untuk hadir dengan harapan semoga ini menjadi titik awal bagi Kabupaten Purworejo untuk bangkit dari ketertinggalan.

Entah sudah berapa puluh tahun Kabupaten Purworejo menyandang gelar sebagai Kota Pensiunan. Gelar tersebut lebih populer dibanding dengan slogan resmi yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Purworejo yakni “Berirama”, singkatan dari bersih, indah, rapih, aman dan nyaman.

Prof. Dr. Agus Sartono, inisiator pertemuan.

Purworejo disebut Kota Pensiunan karena memang banyak para purnawirawan TNI yang merupakan putera asli Purworejo, seperti Jenderal Ahmad Yani, Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal Pranoto Reksasamudera, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Jenderal Endriartono Sutarto dan masih banyak yang lainnya. Belum lagi para pensiunan dari kalangan sipil. Banyak warga asli Purworejo menjadi perantau di berbagai wilayah di Nusantara, dengan aneka profesi, dan baru pulang kampung setelah tua untuk menikmati masa pensiun.

Nama-nama besar inilah barangkali yang telah menenggelamkan slogan Berirama, yang menurut saya slogan tersebut kurang bergairah atau kurang memberi semangat untuk maju, karena gregetnya tidak ada. Asal sudah bersih dan indah lalu di tata yang rapih, semua dianggap aman dan nyaman. Semua bisa tidur pulas dengan mimpinya masing-masing. Banyak masyarakat yang bersikap skeptis dan enggan mengambil peran untuk kemajuan daerahnya. Bahkan mereka menilai bahwa sikap mengoreksi dan mengkritisi kebijakan pemimpin sebagai sikap sok-sokan.

Maju dan mundurnya daerah menjadi tugas dan wewenang Kepala Daerah, terserah Kepala Daerah mau melakukan apa. Maka harus ada perubahan mindset atau pola pikir, baik Pemerintah Daerah maupun masyarakat. Sikap skeptis dan masa bodoh masyarakat yang berpandangan sempit seperti ini justru akan menjadi penghambat kemajuan daerah, karena mereka hanya nguplek di daerahnya tanpa pernah mau melihat dunia luar. Ini yang harus dilakukan edukasi terlebih dahulu agar mereka mau belajar dan berubah demi kemajuan Purworejo.

Gagasan Prof. Dr. HR. Agus Sartono, pejabat teras di Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) untuk mengadakan pertemuan ‘Diaspora Purworejo’ perlu diapresiasi. Terlebih ada sederet nama pendukung yang saat ini menduduki jabatan penting dan strategis di berbagai lembaga Pemerintah, seperti Mayjend TNI Imam Edy Mulyono, Mayjend TNI (Purn) Djumadi, Ir. Bambang Sutrisno DPR RI.

Diharapkan goresan tinta tangan-tangan mereka akan mampu mensejajarkan Purworejo dengan kabupaten yang lain, syukur bisa melakukan lompatan untuk tampil di depan. Terlebih dalam kurun waktu tidak lama lagi Yogyakarta New Airport International di Kulon Progo sudah akan terwujud. Keberadaan bandara bertaraf internasional ini secara otomatis akan diikuti dengan tumbuhnya sektor-sektor perdagangan dan industri, khususnya di sekitar Kulon Progo dan di sepanjang Jalan Daendels yang berada di sepanjang pantai selatan.

Gunawan Handoko (kanan) bersama Mayjend TNI imam Edy Mulyono (tengah) dan Drs. H. Agus Guntur PM (kiri)
Penulis (kanan) bersama Mayjend TNI imam Edy Mulyono (tengah) dan Drs. H. Agus Guntur PM (kiri)

Wilayah Kabupaten Purworejo yang memiliki jarak sangat dekat dengan Kulon Progo harus tanggap dan trengginas untuk bisa menangkap peluang emas, jangan sampai hanya menjadi penonton. Salah satunya adalah membangun sektor pariwisata serta pengembangan kuliner. Beri kemudahan bagi para investor agar mau menanamkan modalnya, dengan memangkas birokrasi perijinan yang berbelit-belit serta memberi jaminan keamanan. Jangan dulu bertanya ‘aku entuk piro’ (aku dapat berapa), karena dipastikan investor akan lari dan mengurungkan niatnya untuk ikut andil dalam memajukan Purworejo.

Munculnya gagasan untuk membangun wisata di Purworejo bukan tanpa alasan. Dari segi obyek wisata alam yang bisa dijual, bisa dikapitalisasi Purworejo punya potensi yang luar biasa, selain wisata kuliner. Penting, karena dapat menjadi multiplier efek dalam menumbuhkan ekonomi. Contoh, Kabupaten Gunung Kidul dan juga Bantul yang di masa lalu dipersepsikan sebagai daerah yang tandus dan miskin. Untuk melepaskan diri dari kemiskinan, kedua kabupaten tersebut melakukan lompatan yang luar biasa.

Hasilnya? Kini Kabupaten Gunung Kidul dan juga Bantul telah menjadi pengungkit bagi pertumbuhan ekonomi daerahnya. Di sinilah tantangan bagi Kepala Daerah, bagaimana dapat menggerakkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dan menghilangkan sikap skeptik tadi. Setahap demi setahap, sumbangsih pemikiran dan dedikasi putra-putri Purworejo ini akan terus dipantik demi masa depan bumi tercinta Purworejo yang semakin baik dan progresif pembangunan yang memiliki jatidiri untuk mengejar ketertinggalan dari kabupaten lainnya.

Perjalanan masih panjang dan tentu akan penuh liku yang membuat kita jengkel dan bosan.***

*Gunawan Handoko adalah putera kelahiran Purworejo, Jawa Tengah; lama menjadi warga Lampung, berdomisili di Bandarlampung